info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Ibu Senti, perintis sekolahku

Daniel Naek Chrisendo 27 November 2011

Namanya Ibu Senti Tampubolon, beliau adalah tetanggaku di desa Indraloka II, kecamatan Way Kenanga, Kabupaten Tulang Bawang Barat. Ibu Senti adalah orang Batak Kristen ditengah mayoritas suku transmigran Jawa Islam dan beberapa keluarga Bali Hindu di daerah Lampung ini. Sesuai dengan karakter Batak pada umumnya, beliau cukup keras, suka bekerja, dan jujur blak-blakan. Perbincangan saya dengan Ibu Senti yang hanya berlangsung sekitar dua jam saat saya bertandang ke rumahnya, membuat saya berkesimpulan bahwa Ibu Senti adalah sosok yang menarik, seorang pamong yang cukup disegani oleh masyarakat, dan darinya saya banyak dapat informasi mengenai banyak hal, mulai dari sejarah kampung, hubungan masyarakat, sampai gosip-gosip yang beredar di kampung.

Ibu Senti lahir dan besar di Sumatra Utara. Beliau menempuh Sekolah Pendidikan Guru (seperti SMK dengan keahlian guru). Setelah Ia lulus, Ia pindah ke Bandung dan akhirnya bertemu dengan suaminya yang merupakan seorang pendeta, Bapak Rudi. Karena satu dan lain hal, Bapak Rudi pun pindah ke Lampung untuk melayani jemaat Kristen di Lampung dan Ibu Senti sebagai istri mengikuti sang suami.

Berdasarkan cerita Ibu Senti, saya mengetahui bahwa penduduk Indraloka II yang ada sekarang sebenarnya adalah penduduk pindahan yang rumahnya digusur. Para penduduk disini sebelumnya tinggal di daerah transmigran. Di daerah tersebut mereka hidup dengan cara bertani tanaman pangan dan hidup makmur karena lahannya yang subur. Sampai suatu ketika, permasalahan sengketa tanah pun terjadi antara para transmigran dan sebuah perusahaan penghasil karet. Akhirnya yang berhasil memenangkan tanah tersebut adalah perusahaan karet yang membuat para penduduk transmigran ini dipindahkan secara paksa masuk ke daerah Indraloka II ini. Ibu Senti pun turut pindah. Saat itu, sekitar tahun 1991, daerah Indraloka II adalah kawasan hutan yang lahannya belum dibuka. Para transmigran inilah yang menjadi perintis membuka lahan menjadi lahan karet yang hasilnya mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Saat itu banyak terdapat anak-anak di Indraloka II. Tidak bersekolah karena saat itu belum ada sekolah. Ibu Senti, yang diketahui sebagai lulusan SPG pun diminta oleh para tetangganya untuk membuat sekolah untuk anak-anak mereka. Tujuannya adalah agar anak-anak ini memiliki kegiatan dan setidaknya bisa membaca dan menulis. Ibu Senti pun merintis sekolah tanpa ruang kelas, meja, dan kursi. Beliau mengajak teman-temannya mengajar dan meminta kompensasi dari perusahaan karet atas penggusuran lahan yang dilakukan. Beliau berhasil mendapatkan sekotak kapur dan papan tulis untuk digunakan mengajar. Saat itu para siswanya belum memiliki buku, sehingga mereka menggunakan tanah untuk menulis. Atas kebaikannya ini, Ibu Senti menerima bayaran di setiap akhir tahun ajaran dari para orang tua siswa berupa karungan beras atau makanan dalam rantang.

Pemerintah pun melihat perjuangan keras Ibu Senti dalam mengadakan pendidikan di daerahnya. Untuk jasanya tersebut Ibu Senti pun diangkat menjadi guru pegawai negeri sipil dan ditempatkan di SD N 01 Indraloka II, yang artinya Ibu Senti harus pergi meninggalkan sekolah yang telah didirikannya untuk mengabdi di sekolah lain milik pemerintah.

Melihat status sekolah sebelumnya yang belum diakui oleh pemerintah, Ibu Senti, walau sudah hidup enak sebagai pegawai negeri sipil di sekolah lain, berusaha membuat sekolah tersebut menjadi sekolah negeri yang diakui pemerintah agar kehidupan sekolah dan guru-gurunya terjamin. Bersama dengan tiga orang lainnya, Ibu Sumiyani, Ibu Saminten, dan Pak Yamin, mereka merintis perjuangan tersebut. Dengan pro dan kontra dari masyarakat dan banyaknya pengorbanan waktu, tenaga, pikiran, dan uang, akhirnya sekolah tersebut pun diakui pemerintah pada tahun 1999 dan memiliki nama baru yaitu SD N 04 Indraloka II, sekolah dimana saya mengajar sekarang sebagai pengajar muda. Tiga orang perintis lain saat ini, Pak Yamin berhasil menjadi kepala sekolah SD N 04 Indraloka II yang pertama dan sudah meninggal, Ibu Sumiyani telah menjadi guru pegawai negeri sipil di SD N 04 Indraloka II, dan Ibu Saminten telah meninggal dunia.

Sore itu di rumah Ibu Senti, saya mendengar kisah perjuangannya mendirikan SD N 04 Indraloka II. Beliau berharap sekolah yang Ia dirikan tidak sia-sia dan bisa menjadi titik awal masa depan yang cerah bagi generasi penerus bangsa. Betapa kesal dan marahnya beliau jika melihat ada guru yang mengajar dengan malas-malasan dan jarang datang ke sekolah. Ibu Senti merasa jerih payahnya mendirikan sekolah dan membuka kesempatan kerja bagi guru menjadi sia-sia karena tidak dimanfaatkan dengan baik oleh para guru.

Sore itu, saya merasakan perjuangan, kepuasan, dan rasa sakit hati yang dialami Ibu Senti. Cerita di sore itu meneguhkan hati saya untuk mengajar. Saya akan memberikan yang terbaik untuk anak didik saya dan tidak ingin mengecewakan Ibu Senti yang telah mendirikan SD N 04 Indraloka II, tempat dimana saya mengajar.


Cerita Lainnya

Lihat Semua