Celoteh Ibu Guru

Erma Purwantini 8 November 2011

Saya memang bukan penulis unggul seperti mas Andrea Hirata yang pernah saya temui di Pelatihan Pengajar Muda II di Jakarta. Ataupun sutradara ulung setenar kakaknya teman SMA saya mas Hanung Bramantyo. Saya hanyalah seorang guru SD di daerah terpencil di salah satu dusun di Kabupaten Aceh Utara. Tak banyak huruf yang mampu saya rangkai menjadi kata, sedikit saja kata yang mampu memberi makna pada kalimat-kalimat yang terangkai menjadi paragraf sederhana.

 

Dalam bahasa Jawa, guru itu “digugu lan ditiru”. yang artinya dalam Bahasa Indonesia yaitu diteladani dan dicontoh. Tentu berat rasanya ketika hal tersebut menjadi suatu beban tanggung jawab yang harus diemban. Lebih dari itu, bagi saya guru itu orang yang mampu berbagi. Berbagi apa saja. Ilmu tentunya, dan yang terpenting adalah motivasi. Motivasi untuk berfikir ke depan, motivasi untuk maju, motivasi untuk menjadi orang yang bermanfaat, motivasi untuk selalu berfikiran positif, dan semua hal yang berkaitan dengan kebaikan. Bolehlah, ilmu-ilmu yang ada di buku tersebut menjadi acuan ilmu yang akan disampaikan seorang guru kepada murid-muridnya. Namun, tak akan pernah lupa seorang guru memberikan energi-energi positif kepada murid-murid di celah-celah memberikan pelajaran.

Disini, saya tak hanya merasakan bagaimana serunya menjadi guru dalam memberikan pelajaran di kelas. Anak-anak gaduh, tidak fokus dalam belajar, bahkan tidak mendengarkan guru berbicara di depan. Itu semua menjadi hal seru dalam mengatasinya. Seringkali saya merasa gagal dalam membuat mereka konsentrasi belajar. Tapi tak apalah, namanya juga anak-anak. Maunya bermain dan melakukan apa yang menjadi kesukaan mereka.

 

Saya pun tak mau rugi tidak mengalami serunya menjadi anak-anak. Selepas sekolah, saya menyempatkan diri untuk masuk di dunia mereka. Dunia yang penuh dengan canda tawa. Kring....kring....”Ibu, ayo ke sungai” anak perempuan yang bernama Lidya mulai memanggil saya untuk ikut dalam hangatnya suka cita. Di tengah padatnya apa yang menjadi tugas saya, saya tak bisa tahan dengan godaan anak-anak itu. Mulai dari melihat dengan muka tercengang mereka menyeburkan badan ke sungai dengan gaya saltonya, hingga berebut buah belimbing yang pohonnya dipanjat salah satu anak yang sangat lihai menggerakkan tangan dan kakinya ke atas pohon. Tak hanya buah belimbing, buah markisa pun menjadi santapan segar di siang hari, di tengah teriknya matahari.

 

Sepeda roda dua milik Lidya menjadi sarana saya dalam mengarungi medan pegunungan sawit yang banyak tanjakan dan bisa dibilang sedikit turunan. Meski harus “dituntun” ketika jalan naik dan berteriak riang ketika jalan menurun. Tak menjadi kendala anak-anak untuk mendapatkan apa yang menjadi hak mereka. Saya juga tak mau kalah dengan membeli 1 buah pianika yang sengaja saya dapatkan di kota. Ketika nada “La si la sol la si la sol la si do si do....” terdengar, anak-anak segera berkumpul untuk mendekati saya dan bersenandung lagu daerah kebanggaan mereka “Bungoung Jeumpa”. Anak-anak ini terpesona melihat jari tangan saya memencet alat yang berbunyi ketika ditiup ini. Wajah mereka penuh ingin tahu bagaimana agar bisa memainkannya. Saya pun tak keberatan mereka berebut 1 alat yang menjadi favorit mereka itu. Keranjang sepeda menjadi wadah si pianika ketika kami asyik dengan sepeda.

 

 

Hmm....terkadang saya merasa apa iya saya ini guru?mengajar di kelas iya saya laksanakan, tapi itu hanya kurang lebih 4 jam dalam satu harinya. Di luar jam itu, saya menjadi bagian dari mereka, canda tawa, bermain, bersuka cita bahkan ber”euphoria” asyiknya menjadi anak-anak. Yah, disini...berdiri sendiri jauh dari orang-orang yang saya sayangi...membuat saya berani untuk berbagi mimpi...

 

Sekian

Salam Pengajar Muda di Aceh Utara,

Erma Dwi Purwantini


Cerita Lainnya

Lihat Semua