MIRACLE DOES HAPPEN! Anak Lumasebu bisa pergi ke Jakarta!

Diastri Satriantini 20 Oktober 2011

And when you want something, the entire universe conspires in helping you to achieve it.”

- Paulo Coelho -

 

Keajaiban malam hari ini bermula dari 2 bulan yang lalu.

Saat itu bulan Agustus, kira-kira sudah 2 bulan saya menikmati peran baru sebagai ibu guru yang dalam sehari bisa mencapai puluhan kali saya dipanggil-panggil oleh makhluk-makhluk kecil yang tingginya tak melebihi bahu saya ini. “Ibu, ada yang menangis!” atau “Ibu, Sole pukul beta!” atau “Ibu, anak kelas 6 lari-lari!” atau “Ibu, Feri angkat buku beta!” atau “Ibu, ada yang angkat buku dari kantor!” atau “Ibu, ada yang berkelahi!” atau “Ibu, anak-anak keluar kelas!” dan sebagainya dan sebagainya…

Di balik chaos seperti yang tersebut di atas, terselip juga memori akan raut wajah malu-malu yang mengiringi tangan terulur menyerahkan buku tulis lusuh sambil bibir mereka berkata, “Ibu, beta su selesai. Kasi beta kali-kali lagi.” Atau, takkan terlupa juga gigi-gigi putih yang tersungging kontras dengan kulit gelap mereka, saat melodi-melodi lagu anak-anak mulai dilantunkan di kelas kami.

Singkatnya bisa dirangkum dalam tiga kata: SAYA JATUH CINTA.

Ya, sekitar dua bulan sejak saya memulai lembaran baru sebagai penduduk Desa Lumasebu, saya sudah mulai jatuh cinta pada anak-anak ini.

 

Seperti layaknya orang jatuh cinta pada umumnya, waktu itu saya pun mulai berkhayal.

Saya berkhayal bisa mengajak anak-anak ini melihat dunia. Saya berkhayal menggandeng tangan anak-anak ini menyusuri jalanan Surabaya, menyaksikan kelip lampu perkotaan di malam hari, mengamati air mancur, mengajak mereka naik kereta api, nonton bioskop, menjilati es krim, bahkan sekedar menaiki lift di pusat pertokoan―pokoknya melakukan hal-hal kecil yang tidak pernah mereka ketahui ada sebelumnya.

Khayalan saya pun melebarkan sayapnya ke area otak saya yang bertanggung jawab atas logika dan analisis. Saya kemudian berpikir: kira-kira kapan ya saya bisa mengajak mereka ke Jawa? Oooh, nanti waktu saya cuti saja! Saat itu mereka juga liburan semester, jadi mereka bisa ikut. Berikutnya, saya berpikir: hmmm tidak mungkin mengajak semua anak itu, sepertinya harus dipilih satu saja untuk saya ajak ke Jawa. Duh, lalu bagaimana cara memilih salah satu tanpa menyakiti perasaan yang lain? Apa harus dibuat macam perlombaan cerdas cermat begitu? Lalu yang menang akan ikut saya liburan ke Jawa? Kira-kira warga desa lainnya akan memandang sinis atau tidak ya? Eh tapiiiiiii…. Libur semester nanti kan jatuh di bulan Desember, naaahh tidak mungkin mereka bisa ikut. Orangtua pasti tidak mengizinkan, pasti mereka harus merayakan Natal di sini bersama keluarga. Wah… Susah juga ya, tidak ada jalan keluar yang bisa memungkinkan saya membawa mereka liburan.

Kira-kira seperti itulah perdebatan yang terjadi di dalam kepala saya. Saya pun dipaksa untuk mengakui kekalahan: membawa satu anak Lumasebu untuk liburan 2 minggu bersama saya di Jawa adalah ide yang tidak mungkin diwujudkan.

Tanpa saya ketahui, Allah SWT telah merancang jalan-Nya sendiri untuk dapat membolak-balik segala kemungkinan dan ketidakmungkinan.

 

Tidak lebih dari 3 hari setelah saya mengakui “kekalahan” tadi, kebetulan saya harus pergi ke Saumlaki untuk membeli barang-barang kebutuhan lomba 17 Agustus. Berada di daerah bersinyal, tentu saya tidak melewatkan kesempatan untuk mengecek email dan berbagai akun jejaring sosial milik saya. Salah satu email dari Ibu Evi Trisna, Manajer Rekrutmen dan Kemitraan IM, mengabarkan bahwa akan diadakan Konferensi Anak Indonesia 2011, kerjasama antara Majalah Bobo dan Indonesia Mengajar. Konferensi ini akan dilangsungkan di Jakarta selama 6 hari, sekitar pertengahan November 2011. Akan dipilih 36 anak dari seluruh Indonesia, seleksinya dilakukan dengan cara mengirimkan karangan tentang Kejujuran.

 

Harapan saya pun merangkak naik satu level.

Ini dia.

Ini kesempatan saya memperlihatkan dunia pada murid-murid saya.

 

Saya pun pulang ke desa dengan semangat baru. Langsung saya instruksikan pada 7 anak kelas V yang sudah bisa baca-tulis dan ditambah anak-anak kelas VI untuk membuat karangan pendek. Saya cuma mau menilai dulu, seberapa tinggi kemampuan mengarang mereka. Hasilnya? Amburadul.

Mereka banyak yang belum mengerti format S-P-O-K, belum bisa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, bahkan tidak mengerti kegunaan tanda koma maupun tanda titik. Meski begitu, seperti biasa, saya mendapati karangan Foni (anak kelas V yang paling pintar di kelas) terbilang acceptable meski masih sangat jauh dari status “karangan yang bagus”.

 

Saya pun mencanangkan program Menulis Cerita (ini ikut kata anak-anak, lho J). Tiap kali mereka submit cerita untuk saya periksa, saya pun dengan telaten menunjukkan apa saja yang masih belum benar dari tulisan mereka, sekaligus menekankan kewajiban menulis huruf besar di setiap awal kalimat. Saya jelaskan kegunaan dari tanda petik, sekaligus penjelasan tentang apa itu “kalimat langsung”. Dan karena tidak ada buku cerita dalam bentuk apapun di desa ini, maka saya print cerita-cerita anak yang saya kumpulkan dari berbagai buku pelajaran Bahasa Indonesia, lalu saya bagikan pada anak-anak ini, supaya mereka bisa melihat contoh penulisan cerita yang benar.

Hari-hari berlalu, tanggal deadline pengumpulan karangan untuk seleksi Konferensi Anak sudah semakin dekat, namun belum banyak improvement yang dihasilkan oleh anak-anak ini. Meski demikian, ada satu karangan yang sudah menggelitik hati saya sejak pertama kali membacanya, yakni karangan Foni tentang pengalamannya menginjak tanaman di kebun orang. Ceritanya, pada suatu hari ia dan teman-temannya pergi mencari kayu bakar di hutan. Dalam perjalanan pulang, salah satu dari mereka tidak sengaja menginjak tanaman Keladi di kebun milik Pak Batlajangin. Mereka pun memutuskan untuk diam saja, dan tidak mendatangi pemilik kebun untuk mengaku bersalah. Satu kalimat tulisan Foni di karangan itu berbunyi: ‘Aku mau kasih tau Pak Batlajangin, tapi aku tidak suka melihat temanku dipukul orang, aku jadi sedih melihat mereka sedih.’ I thought it was a pretty powerful sentence.

Jadilah saya memutuskan untuk memilih mengirimkan karangan itu ke Redaksi Majalah Bobo. Terus terang, banyak pula perbaikan yang harus dilakukan atas tulisan Foni ini, mengingat awalnya cerita tsb hanya sepanjang satu paragraf. Saya membimbing Foni menggali aspek-aspek cerita tentang kejadian itu untuk ditulis di karangan. Hasilnya, saya mengirimkan karangan sederhana sepanjang 278 kata (ketentuan panitia maksimal 500 kata) ke Redaksi Majalah Bobo melalui pos pada tanggal 17 September 2011; tiga hari sebelum deadline cap pos 20 September 2011.

Malam sebelum saya berangkat ke kota untuk mengirimkan karangan itu, saya bilang pada Foni, “Foni, kita sudah berusaha semampunya, sekarang tinggal berdoa yaa… Karena Foni masih belum tentu berangkat ke Jakarta. Kalau Foni tidak jadi pergi ke Jakarta tidak apa-apa yaa, yang penting kita sudah berusaha dan berdoa.” Dan dia pun mengangguk, “Iya Ibu.”

 

Dengan banyaknya kegiatan yang harus kami lakukan pada minggu-minggu setelahnya, saya pun dengan cepat melupakan Konferensi Anak ini, meski dalam hati masih selalu memimpikan untuk bisa memperlihatkan dunia pada murid-murid saya.

Hingga pada malam ini saat saya, Matilda, dan Ratih sedang berkumpul di Saumlaki, BBM di Blackberry Ratih memberitakan bahwa muridnya Angga (PM Fak-Fak) terpilih sebagai delegasi Papua Barat di Konferensi Anak. Perasaan saya biasa saja mendengarnya, dalam arti ikut senang untuk Angga tapi tetap tidak memikirkan harapan atau peluang terpilihnya Foni, mengingat karangan yang kami kirimkan sangat sederhana. Saat beberapa menit kemudian Blackberry Ratih kembali berbunyi, saat itulah dunia saya mulai berubah (haha lebay :p). Masuk satu pesan BBM dari Mas Susilo IM yang berbunyi: “ada delegasi yang dari MTB juga lhoo…”

 

Langsung kami heboh!

Kebetulan, kami bertiga adalah 3 PM MTB yang mengirimkan karangan murid kami ke Bobo, sementara 4 PM MTB lainnya tidak sempat mengirim.

Matilda pun menelepon Mas Susilo, menanyakan siapa nama anak MTB yang terpilih itu. Seolah memang diharuskan untuk kami senam jantung dulu, Mas Susilo meminta kami untuk menunggu sebentar sementara ia mencarikan data nama-nama delegasi yang terpilih. Ia berjanji untuk menelepon kami kembali jika sudah mendapatkan nama lengkap delegasi Maluku. Telepon pun ditutup.

Kami bertiga saling bertukar argumen bahwa kalau anak ini memang benar dari MTB (jangan-jangan sebenarnya maksudnya NTB dan Mas Susilo cuma salah baca???), maka sudah pasti dia adalah salah satu dari murid kami bertiga, secara di sini tidak ada Majalah Bobo.

 

Ehm, lalu bagaimana perasaan saya saat itu?

I was busy telling myself bahwa murid Ratih atau Matilda-lah yang terpilih. Saya takut sedih kalo sudah berharap lalu kecewa, hehe.

Kira-kira 30 menit kemudian, Mas Susilo menelepon ke HP Matilda. Posisi saya waktu itu berdiri sandar di tembok, memandangi Matilda yang duduk di kasur dengan HP menempel di telinga.

“Gimana Mas, namanya sudah ada?” tanya Matilda.

Secara refleks, bibir saya lalu berbisik, “Alfonsina…? Alfonsina…?”

Dan Matilda pun memandang saya seraya mengucapkan kata yang sama: “Alfonsina... Alfonsina Melsasail.”

 

Jantung saya mencelos.

 

Ya, rasanya seperti saat kita turun tangga dan kelupaan satu anak tangga. Atau seperti saat kita terbangun dari tidur dengan kaget karena mimpi jatuh ke jurang.

Seperti itu rasanya.

 

Alfonsina Melsasail, murid kelas V SD Kristen Lumasebu, akan berangkat ke Jakarta sebagai delegasi Konferensi Anak Indonesia 2011 mewakili Provinsi Maluku.

 

 

Dan Tuhanmu berfirman: Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu……”

(QS. 40 : 60)


Cerita Lainnya

Lihat Semua