Bagaimana mungkin Aku menyerah begitu saja??

Erma Purwantini 3 Agustus 2011
Pagi yang cerah setelah semalaman diguyur hujan yang cukup lebat, aku mengawali pagiku dengan aktivitas seperti biasanya membantu mamak mencuci piring dan menyapu halaman depan rumah. Seusai mandi pagi sebelum matahari menampakkan sinarnya, kubuat minuman hangat mencoba memberikan harumnya aroma pucuk daun teh di pucuk Indonesia setelah hari sebelumnya aku merasa kurang enak badan dan tidur dari siang hingga sore. Lalu kulanjutkan dengan menyeterika baju-bajuku yang telah kering dalam satu hari saja dijemur. Sembari mendengarkan alunan musik Opick yang cukup menambah sejuknya hati di pagi hari, ku gosokkan setrika mungilku yang sengaja aku minta kirimkan ibuku dari Jogja. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 07.00. Aku pun segera bergegas sarapan pagi dengan masakan mamak yang sangat khas dengan lidah orang aceh, pedas, berminyak dan bersantan. Pukul delapan kurang  dua puluh menit kuayunkan kakiku menuju sekolah tempat ku mencurahkan ilmu yang bisa aku berikan untuk sahabat-sahabat kecilku. Ketika bel berbunyi tanda pelajaran siap dimulai, kulihat baru 3 orang guru termasuk aku yang ada di area sekolah ini. Yup, beginilah keadaan sekolah kami. Kondisi guru yang rumahnya jauh dari tempat mengabdi, menjadikan alasan untuk jam masuk sekolah sesuai dengan kondisi masing-masing guru. Ketika kulihat jadwal pelajaran kelas 6, jam pertama adalah jam pelajaran matematika. Pak Agus sebagai guru yang diamanahkan bekerjasama denganku untuk mengampu kelas 6 tak kunjung kulihat di sekolah. Aku mengambil langkah untuk tetap tenang, melihat sekeliling lingkungan dan berfikir apa yang harus ku lakukan. Tak lama kemudian, Pak Marzuki memintaku untuk masuk ke kelas 1 dan kelas 6 akan diisi beliau terlebih dahulu sebelum Pak Agus datang. Yah...lagi-lagi on the spot. Itu yang sering terjadi. Seperti hari sebelumnya aku diminta mengisi pelajaran Bahasa Inggris di kelas 5 dengan seketika. Ibu Fitri yang juga kakak angkatku disini mengatakan “ Saya tidak bisa Bahasa Inggris, Ibu Erma saja yang mengisi, yang penting bisa percakapan saja”. Begitu kira-kira pernyataan sebagai ungkapan permintaan tolong untuk bisa mengajarkan Bahasa Inggris. Di pagi ini, kelas 1 menjadi ajang ekspresiku untuk menularkan ilmu. Sejenak aku berfikir, kelas 1 merupakan kelas awal. Untuk mengerti percakapanku dengan Bahasa Indonesia saja mungkin sangat kurang, terlebih untuk menjelaskan lebih detail. Pikiran jelek menyelimuti diriku sebelum ku memasuki ruangan di paling ujung itu. “Selamat Pagi....!!!” itulah kalimat awal yang aku ucapkan kepada sahabat-sahabat mungilku. Oppssss....mereka semua hanya diam melihatku dengan raut muka yang sangat datar. Oooo....oooouuuuuwwwww....kemudian mereka tertawa terbahak-bahak dengan sedikit bergumam dengan bahasa yang tak ku mengerti sama sekali. Kuulangi berkali-kali sapaan di pagi hari itu, dan akhirnya perlahan-lahan mereka bisa menyambut sapaanku. Alhamdulillah...interaksi awal antara guru dan murid bisa terbuka jalannya. Selanjutnya aku mencoba untuk memancing perhatian mereka dengan mengajak bernyanyi andalanku “Disini senang, disana senang”. Yup, mereka semua antusias. Melambaikan tangan, menggoyangkan pinggul, menghentakkan kaki dan memutar badan mereka walaupun sedikit terhalang oleh kursi dan meja yang penataannya kurang leluasa. Kemudian kualihkan perhatian mereka ke papan tulis. Aku membanting stir, yang semula akan mengajarkan Bahasa Indonesia dengan Kompetensi Dasar Percakapan Perkenalan, namun melihat kemampuan mereka untuk menggunakan Bahasa Indonesia saja sangatlah kurang, dan kuturunkan grade nya. Aku menuliskan huruf A B C D E di papan tulis bermediakan kapur putih itu. Anak-anak mengeluarkan buku tulisnya masing-masing dan mulai menuliskan apa yang ibu guru tuliskan di papan tulis. Kulihat seluruh sudutu ruangan memperhatikan gerak-gerik sahabat-sahabat mungilku itu. Satu, dua, tiga, empat anak sibuk dengan aktivitasnya sendiri. Bercanda dengan kawan sebelahnya, bahkan ada yang hanya membolak-balik kertas bukunya. Ya, anak-anak itu punya kecerdasan masing-masing. Ada yang sangat cerdas dalam olah vokal berteriak sana-sini, cerdas kinestetik mengganggu temannya yang sedang menulis, sampai cerdas dalam ketenangan di pojok ruangan paling belakang. Anak yang sangat tenang itu kucoba dekati yang sedang khusyuk memegang pensil dan menempelkannya di buku tulis. Kulihat coretan-coretan yang mungkin tak punya makna bagi aku, karena aku meminta untuk menuliskan huruf yang ada di papan tulis. Sabar Erma!!berikan dia contoh dan support dia. Begitulah malaikat batin membisikkan energi positif di diriku. Kupegang tangan kanan anak berbando pink ini memberikan sentuhan goresan di bukunya dengan huruf A. Satu, dua, tiga, empat contoh secara berulang-ulang. Anak itu mencoba sendiri dan hasilnya NO!kuulangi lagi...kembali memegang tangannya yang mungkil dan memberikan arahan huruf yang dibuat. Beberapa contoh kembali, dan kulepas lagi tangannya. Dan hasilnya...NO!belum juga anak ini berhasil membuat huruf A tanpa tuntunan tangan dariku. Lagi....lagi....dan lagi....hinggal hampir satu halaman buku tulisnya hanya dipenuhi huruf A yang sebagian besar adalah hasil contoh dariku. Aku beranjak dari mejanya dan mengecek anak-abak yang lain bagaiamana hasilnya. Yap, beberapa sudah sangat mahir. Bahkan dari huruf A hingga huruf E ia tuliskan beberapa kali dan sangat rapi. Kucoba menghela nafas, duduk di bangku depan memandang gadis cilik di sudut kelas yang masih sangat khusyuk memegangi pensilnya dan memandang buku tulisnya itu. Aku beranjak dari duduk ku dan kembali menuju gadis cilik ini. Alhamdulillah...seperti air segar mengalir membasahi tenggorokan ini, kulihat tulisan huruf A di bukunya sudah rapi dan dia tampak mahir menuliskan huruf A hingga berkali-kali. Aku mengajaknya untuk menuliskan huruf selanjutnya B, C, hingga D. Ya...langkahnya sama....memberikan contoh bentuknya, memegangi tangan mungilnya, memberikan sentuhan arah bentuk dari huruf tersebut, melepaskan tangannya seraya memberikan support agar pantang menyerah, dan hasilnya....BISA!!! Salam “merah-putih” dari Pengajar Muda Aceh Utara Garda Depan Peta Indonesia, Erma Dwi Purwantini

Cerita Lainnya

Lihat Semua