Iuran Masyarakat: Sebuah Kepedulian dan Pertanggungjawaban

Enggar Putri Harjanti 4 Oktober 2014

SD Inpres Belang-Belang, sebuah sekolah di desa kecil di pulau Bacan, Kabupaten Halmahera Selatan. Seperti sekolah-sekolah lain di kabupaten ini, SD Inpres Belang-Belang menghadapai masalah dalam pendidikan yaitu dengan keterbatasan guru. Keadaan guru memang menjadi masalah yang dihadapi terus menerus oleh sekolah ini, terlebih karena kepala sekolah dan beberapa guru berasal dari luar Desa Belang-Belang. Sementara itu, tidak ada rumah guru yang layak dihuni. Akses ke desa juga cukup sulit, hanya dijangkau dengan ketingting (perahu kecil) dan tidak setiap saat ada.

Masyarakat sebenarnya sudah mengusahakan keberadaan rumah guru. Rumah guru untuk kepala sekolah sudah mulai dibangun sejak adanya Pengajar Muda angkatan kedua di desa, yaitu pada tahun 2012, tetapi belum jadi juga sampai saat ini. Ketidakpercayaan muncul diantara masyarakat dan kepala sekolah. Beberapa kali ketika masyarakat mempertanyakan kepala sekolah yang tidak tinggal di desa, saya mulai mengangkat pembicaraan.

“Kalau tidak ada rumahnya, bagaimana? kalau sudah ada rumah, tetapi tidak tinggal, baru boleh disalahkan”

Beberapa saat kemudian, komite sekolah berjalan keliling desa dan kemudian menarik iuran dari warga, Rp 10.000,00 setiap Kepala Keluarga untuk pembangunan rumah guru. Dana yang terkumpul kurang lebih sebesar Rp 700.000,00 dan beberapa sak semen sisa pembangunan jembatan desa. Karena dirasa belum cukup, pembangunan rumah guru belum juga berjalan, hingga rumah guru dari dinas pendidikan sudah siap dihuni. Kami mendapatkan bantuan tiga rumah mungil di depan sekolah untuk tempat tinggal guru dari luar desa.

Dana yang semula direncanakan untuk pembangunan rumah kepala sekolah ini akhirnya berubah perencanaan. Berdasarkan rapat masyarakat, dana ini disepakati untuk memperbaiki rumah guru yang sudah rusak parah untuk kemudian digunakan sebagai ruang kelas VI (sebelumnya, ada rumah guru yang sudah sangat rusak dan tidak terpakai di belakang rumah guru baru). Kami memang hanya mempunyai 5 ruang kelas, sebelumnya kelas II dan III bergantian memakai ruangan tersebut.

Masalah lain yang dihadapi sekolah adalah gaji para guru honorer. Sekolah kami memiliki 5 guru honorer. Empat diantaranya sebelumnya adalah guru tidak tetap yang dibayar oleh kabupaten, tetapi semenjak adanya Kebijakan Bupati yang tidak memperpanjang kontrak mereka, maka sekolah sendiri yang harus mengusahakan keberlanjutan guru. Tidak mungkin, sekolah melepaskan para honorer ini, karena pasti akan kekurangan guru. Kebijakan yang diambil sekolah akhirnya adalah penggajian para guru honorer ala kadarnya dengan menggunakan dana BOS. Masalah ini pun di bahas di rapat masyarakat. Masyarakat sepakat untuk mengadakan iuran bulanan, setiap kepala keluarga akan membayar Rp 10.000,00 setiap bulan untuk penambahan gaji guru.

Dua iuran yang diselenggarakan oleh masyarakat ini menjadi wujud partisipasi yang aktif dari masyarakat. Wujud nyata dari kepedulian dan pertanggungjawaban masyarakat terhadap keberlangsungan pendidikan di desa. Iuran untuk tunjangan gaji guru ini mempunyai dua sisi yang mendukung pendidikan. Satu sisi, orang tua akan terus mengawasi kehadiran guru karena merasa telah “membayar” guru. Kedua, guru-guru yang merasa dibayar oleh masyarakat ini juga akan lebih sungkan jika sering tidak masuk sekolah. Iuran ini juga menjadi media komunikasi antara guru dan orang tua murid.

Memang tidak semua orang tua murid setuju dengan hal ini, tetapi sebagian orang tua yang setuju berhasil membulatkan hasil rapat ini. Iuran untuk tunjangan gaji guru ini memang masih berlangsung selama 2 bulan awal, semoga terjaga keberlanjutannya :)


Cerita Lainnya

Lihat Semua