Batu Bacan

Enggar Putri Harjanti 4 Oktober 2014

Batu bacan, batu yang saat ini diburu oleh kalangan pecinta batu akik. Harganya mahal, sampai jutaan, bahkan ratusan juta (katanya). Batu ini (katanya, lagi) merupakan batu akik yang menduduki peringkat nomor satu di dunia. “Obama, so pake batu ini, Ibu”, kata masyarakat.

Batu ini konon berubah warna, dari hitam, menjadi hijau, dan yang super berwarna biru laut. Harganya? Jangan tanya. Yang super ini, mungkin gajimu sebulan pun tak mampu membeli :p (gajinya siapa dulu).

Baiklah, mari kita sebut batu ini menjadi batu yang penuh misteri. Batu yang bermisteri dimulai dari warnanya yang bisa berubah, harganya yang melambung tinggi tidak masuk akal, dan proses pencariannya. Proses pencariannya? Ya. Akupun baru tahu ketika sudah menjadi Pengajar Muda selama 8 bulan. Batu Bacan adalah batu yang ditemukan di salah satu daerah di Halmahera Selatan, dengan kota kabupaten di Labuha, pulau Bacan. Karena itu, namanya menjadi batu bacan.

Sebenarnya, batu ini tidak ditemukan di kawasan pulau Bacan. Batu bacan hanya ada di pulau Kasiruta, di daerah bernama Doko dan Palamea. Itu juga yang menjadi jenis batu bacan. Batu bacan jenis Doko dan batu bacan jenis Palamea. Warnanya sedikit berbeda. Tukang batu tahu benar apa saja perbedaannya, sayang saya adalah Pengajar Muda, bukan tukang batu :p Lalu, mengapa batu bacan tidak diberi nama batu Kasiruta, sesuai namanya? Kali ini, Bapak Bupati yang lebih tahu.

Kemisterian batu bacan dimulai dengan adanya ayam putih, orang bilang begini: “Ayam putih to ibu, lebih banyak dari semua ayam kalau kita kumpul Belang-Belang pe ayam, Indomut pe ayam, Tanjung Obit pe ayam, dong lebeh banyak”, begitu seorang penambang batu bacan bercerita. Aku tidak pernah mengukurnya, aku hanya tau, kalau ayamnya sangat banyak. Ayam putih itu tidak bisa dimakan, orang bilang, kalau memakan atau bahkan hanya melukainya, nyawa taruhannya. Banyak cerita yang mengikuti rumor ini. Ya, mereka sangat berhati-hati dengan ayam itu. Mereka (penambang) hanya menggunakan ayam itu untuk tumbal, ketika menggali lubang batu bacan.

Penambang harus laki-laki, mereka tidak pernah mengijinkan perempuan untuk masuk ke area penggalian yang berada di tengah hutan. Itulah mengapa, aku tidak pernah bisa kesana. Warga sangat menaati peraturan-peraturan yang mengikuti label mereka sebagai penambang batu bacan. Warga yang menjadi penambang, mereka meniatkan hati untuk meninggalkan keluarga demi mencari sebongkah batu bacan. Mereka pergi dari desa, membuat tenda di hutan, dan melakukan pencarian sampai berhari-hari. Hujan pun tidak menjadi halangan.

Ketika mereka pergi, ada banyak hal yang mereka taati:

Pertama, penambang harus ikhlas, tidak boleh saling iri dan tidak boleh saling bermasalah. Ketika mereka bekerja, mereka berkelompok 7 sampai 10 orang. Ada orang yang bekerja mengurus lubang batu bacan, ada yang bertugas memasak, ada yang bertugas mengurusi air, dsb. Katika mereka tidak saling percaya satu dengan yang lain, mereka tidak akan mendapatkan hasil yang diharapkan. Salah satu kelompok yang berasal dari Belang-Belang mengalaminya, mereka tidak mendapat batu bacan sampai berapa lama. Para tetua agama mengatakan kalau kelompok ini saling iri dan tidak percaya. Ah, kurasa inilah teamwork yang sebenarnya.

Kedua, para istri di rumah tidak diperbolehkan saling benci dengan tetangga atau bermasalah dengan orang lain. Mereka harus bersikap baik, harus ikhlas dan mendoakan. Mereka juga harus mengurus rumah dengan telaten dan berada di rumah selama suaminya pergi. Kali ini, mereka sedang belajar arti dukungan istri kepada suami dan kesetiaan, bukan?

Salah satu kelompok yang sudah datang mengatakan bahwa mereka sudah menjual batu bacan bongkahan seharga Rp 100.000.000. Ketika dibagi dengan semua kebutuhan, masing-masing orang mendapat uang Rp 7.000.000. Mereka pulang dan membuat syukuran.

Warga mengatakan bahwa syukuran dan baca doa ini dipergunakan untuk lubang batu bacan. Kurasa, ini doa untuk si maha empunya batu bacan dan lubangnya. Tuhan YME. Warga mengatakan bahwa ini semua adalah misteri dan pantangan. Lebih dari itu, kurasa ini adalah kebijaksanaan warga, local wisdom. Di tempat ini, semua harus dikemas dengan cara yang misterius untuk membuat orang percaya dan taat. Ini adalah kebiasaan baik yang harus diteruskan, bukan? Warga belajar banyak dari sebongkah batu bacan. Kelak semoga kebiasaan ini tidak hanya menjadi misteri, tetapi menjadi ungkapan syukur yang dengan tanggung jawab dan rasional di lakukan. Selangkah lagi melakukannya dengan paham.


Cerita Lainnya

Lihat Semua