Berbeda Keyakinan Tak Menjadi Batasan Kebaikan
Eneng Shopiyyah Abdillah 30 Desember 2024Di desa, aku tinggal di salah satu ruangan sekolah yang disulap menjadi kamar yang nyaman. Meskipun begitu, aku juga memiliki keluarga piara dengan marga Harefa. Keluarga Harefa memiliki keyakinan yang berbeda denganku. Aku merupakan seorang muslim sedangkan keluarga piaraku beragama kristen. Meksipun kami memiliki keyakinan yang berbeda, hal itu tidak menjadi batasan bagi keluarga Harefa untuk memperlakukan aku dengan baik.
Ama dan Ina –begitu panggilan bapak dan ibu di Nias Barat- merupakan sosok orangtua yang sangat baik. Mereka menerimaku dengan tangan terbuka dan mengizinkanku untuk menjadi bagian dari keluarga mereka. Hampir setiap malam aku menginap di rumah Ina. Sejak awal kedatanganku ke rumah keluarga Harefa, aku seringkali diminta untuk memasak. Setiap kali aku akan memasak, aku akan bertanya; “Lauk ini dimasak bagaimana?”, “Bumbunya segini cukup atau ngga?”, “Digoreng dulu atau langsung ditumis aja?” dan lain sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan ini seringkali aku lontarkan agar aku bisa menyesuaikan masakanku dengan citarasa yang biasa mereka makan. Namun, Ama dan Ina selalu membebaskan aku memasak dengan gayaku sendiri. “Masaklah sesukamu, sudah pasti enak itu.” Begitu kurang lebih jawab mereka. Karena diberikan kebebasan untuk ‘menguasai dapur’ akupun sering membawa bahan-bahan lain dari rumahku untuk membuat berbagai olahan di rumah Ina seperti memasak puding, agar-agar, bubur, aneka mie, dan lain sebagainya.
Ama bekerja sebagai seorang nelayan. Jika cuaca bagus, Ama akan pergi melaut sehingga keluarga Harefa dapat mengomsumsi protein dari ikan segar hasil memancing. Dan tentu, akupun akan turut menikmati ikan-ikan tersebut. Menu andalan di rumah keluarga Harefa adalah gulai ikan. Gulai ikan ini memiliki kasta tertinggi dalam mengolah ikan di rumah. Sepertinya, nafsu makan semua orang akan meningkat jika menu yang disajikan adalah gulai ikan. Selain itu, Ina biasanya hanya menggulai ikan-ikan tertentu saja yaitu ikan yang memiliki daging yang tebal dan rasanya sangat gurih. Jika Ina memasak gulai ikan di siang hari, sedangkan aku biasanya baru datang ke rumah di sore atau malam hari, maka Ina dan Ama pasti akan menyisakan beberapa potong ikan untukku. “Ini jatah kamu karena tadi siang belum makan. Harus dihabiskan.” Begitu katanya.
Kehidupan di pulau memang memiliki banyak keterbasan mulai dari listrik, jaringan internet dan telepon seluler, hingga makanan. Namun, bersama keluarga Harefa, aku bisa melalui hari-hari di pulau dengan nyaman dan menyenangkan. Cerita di atas hanyalah satu dari banyaknya kebaikan yang aku terima selama 3 bulan pertama di penempatan. Perbedaan agama yang kami miliki, tidak membuat kami asing. Kami tetap saling menjaga, saling memberi, juga saling menerima.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda