Memotret Cita-cita

Elvira Rosanty 14 September 2013

Cita-citanya mereka ingin menjadi tentara, guru, pemain bola, dokter, atau Teungku (sebutan untuk ustadz) dan Ummi (sebutan untuk ustadzah). Tidak lain dan tidak bukan. Jika ditanya cita-cita memang hanya itu jawabnya, mungkin karena hanya profesi itu yang mereka ketahui, profesi yang dekat dengan kehidupan mereka sehari-hari.

Di kelas ini, kami belajar mengenal dan menjunjung cita-cita, membuka wawasan kepada dunia luar, mengenal profesi yang mungkin belum pernah didengar sebelumnya. Namanya “Kelas Cita-cita”. Di kelas ini saya memperkenalkan profesi yang mungkin terdengar aneh dan baru di telinga mereka. Saya mengajak beberapa kawan yang memiliki profesi yang berkaitan dengan tema kelas cita-cita untuk menuliskan surat untuk anak-anak di SD 2 Langkahan, mengirimkan gambar-gambar atau video terkait profesi mereka.

Di kelas cita-cita pertama kami, saya memperkenalkan profesi fotografer yang tentunya asing di telinga anak-anak ini. Reza Farhan Muliawan, seorang kawan fotografer saya yang tinggal di Jakarta, bersedia mengirimkan surat dan foto-foto inspiratifnya untuk anak-anak. Saya membuka kelas dengan memperlihatkan hasil-hasil fotografi yang saya dapat dari internet.

“Cantik, Buk!”, kata mereka.

“Foto apa ini?”, tanya saya.

Mereka teriak, “Foto pandangan!”

“Pemandangan...”, kata saya. “Kalau yang ini?”

“Paris, Buk!”. “Tower!”.

“Menara Eiffel namanya. Ada di Paris. Paris ibu kota dari negara apa?”, tanya saya.

Kafir, Buk!”.

Saya pun melanjutkan dengan menunjukkan hasil karya fotografi yang saya dapat dari Reza. Berbagai celetukan pun muncul, “Buk, Bang Reza dimana sekarang, Buk?”, “Buk, Om Reza udah kawin, Buk?”. Ada-ada saja :). Ketika saya bagikan surat dari Reza, mereka pun membacanya dengan antusias, dan tak lama mereka mulai menulis balasan suratnya dengan spidol dan krayon berwarna warni dan gambar disana sini. Ada beberapa kutipan tulisan mereka yang saya lihat unik,

“Nama saya Nurhafni, kelahiran geudumbak. Kehidupan saya menemukan wajah” – Nurhafni.

“Aku dulunya orang spanyol dan ibuku pindah ke singapur dan ayahku bawa aku ke aceh dan aku bisa membaca surat ini karna ayahku” – Khalir.

“Halo om reza motret aku dong. Om mau gak foto kerajaan majapahit yang bagus. Om bisa motret saya artis terkaya.” – Rendi.

“Om tolong hadiahkan saya satu kamera supaya saya bisa memotret seperti om reza” – Agil.

Mereka masih terus belajar menulis dengan benar dan berbahasa Indonesia yang baik. Sedikit demi sedikit mereka sudah mulai terbiasa, walaupun belum sempurna. Kelas cita-cita dilanjutkan dengan membuat kamera dari kertas origami. Ini pertama kalinya mereka belajar teknik melipat kertas untuk membuat sesuatu. Sedikit rumit memang bagi mereka, tapi rasa antusias dapat menahan mereka dari berkata-kata “Han jeut, Buk!” (tidak bisa, Bu). Maka jadilah kamera-kamera kecil dari kertas lipat yang mereka jadikan alat untuk berlagak seperti fotografer, saling memotret satu sama lain. Terima kasih Reza, inspirasi kamu telah sampai ke anak-anak di Desa Geudumbak. Mereka memotret cita-cita, dan menempelkannya di dinding harapan mereka :).


Cerita Lainnya

Lihat Semua