info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Sekolah ku, SDN2 Pasir Haur

Eko Budi Wibowo 11 Agustus 2011

Pantas saja kenapa setiap guru harus membawa golok, disanalah rupanya fungsi golok ini, rintangan menuju sekolah ini rupanya bisa dibilang cukup berliku. Pagi itu saya teringat ketika saya pertama kali mengunjungi sekolah yang akan menjadi tempat saya bertugas setahun kedepan. Jalan yang harus kami lalui dari kampung Siangain menuju Kampung Sitoko adalah sebuah jalanan menanjat dengan landasan pacu berupa batu-batu kerikil dan tanah merah yang ketika hujan menjadi landasan offroad bagi pengendara motor. Saya kemudian dengan guru-guru beristirahat sebelum medan yang akan kami lalui semakin sulit, di tikungan setelah Lebak Sereh inilah biasanya guru-guru istirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan kembali.

Disini saya berkenalan untuk pertama kalinya dengan guru-guru yang setiap pagi mengendarai motornya menuju SD N 2 Pasir Haur, ada Pak Ape Rabai PNS wali kelas satu, Ada Pak Nono Harsono PNS guru Agama, Pak Deri guru sukwan kelas empat, Pak agus guru sukwan kelas lima, Pak Hariri guru sukwan kelas tiga dan terakhir Pak Iden guru sukwan kelas dua. Kami berbincang sebelum melanjutkan perjalanan yaitu mengenai rute yang baru saja dilalui. Saya merasakan sendiri bagaimana memang susahnya mengendarai motor menuju lokasi. Dari tempat ini pula saya ditunjukan kampung Sitoko yang sudah terlihat, kampung itulah berdiri sebuah Sekolah Dasar.

Kami pun kemudian melanjutkan perjalanan menuju kampung Sitoko. Setelah tiba dikampung Sitoko, untuk dapat menuju Sekolah Dasar saya harus melewati jalan diantara rumah rumah yang sempit dan becek. Saya melihat kondisi rumah disini terbangun dengan kayu-kayu model perumahan tradisional, berbeda dengan kampung sebelumnya seperti kampung Siangin yang rata-rata rumahnya menggunakan tembok bata. Disini saya melihata hampir 90% rumahnya terdiri atas kayu semi permanen yang masih tradisional, atapnya pun masih ada yang menggunakan daun rumbai walaupun kebanyakan sudah menggunakan genteng. Sekolahnya terletak paling atas ditanah lapang tempat menjemur beras, disanalah saya pertama kali melihat sekolah ku. Ya, sekolah tempat saya bertugas nantinya.

SDN 2 Pasir Haur. Sekolah nya terdiri dari tiga kelas, baru beberapa bulan (10bulan) yang lalu dibangun permanen dengan tembok. Awalnya sekolah ini merupakan sekolah yang dibangun dari semangat masyarakat untuk membangun sebuah sekolah disana. Akhirnya masyarakat menyediakan tanah hibah dan dibangunlah sebuah sekolah madrasah yang hanya terbuat dari bilik kayu dengan tiga kelas ruangan dengan sekat bilik bambu. Anak-anak disini sebelum sekolah ini berdiri sudah puluhan tahun mereka harus berjalan kaki menuju SDN Pasir Haur 1 yang terletak di kampung Gunung Haur. Mereka harus menuruni bukin lembah dan persawahan hanya untuk bersekolah, jarak yang ditempuh hampir dua jam jalan kaki diselangi dengan istirahat.

Biasanya anak-anak dari kampung  Sitoko yang dikirim untuk bersekolah ke Gunung Haur adalah anak-anak yang sudah berumur dan mempunyai perawakan besar, karena mereka dinilai siap untuk melewati jalan yang begitu jauh. Jarak yang jauh biasanya membuat anak-anak itu masuk sekolahpun kadang sering terlambat, apalagi ketika musim hujan mereka harus menerobos guyuran hujan. Guru-guru sering iba dan kasihan kepada perjuanagan anak-anak ini untuk bersekolah. Bahkan kalau ditelusuri lebih jauh orang tua mereka dahulu mengatakan berjalan kaki ke kampung Cilaketan yang sekarang masuk kedalam kecamatan Sajira hanya untuk sekolah. Semangat dan perjuangan masyarakat Sitoko untuk menyekolahkan anak-anaknya kemudian membuat tokoh masyarakat disini bergerak untuk membangun sebuah sekolah, awalnya diperuntukan sebagai sekolah agama.

Namun karena lama-kelamaan jumlahnya semakin banyak maka mendatangkan guru SDN 1 Pasir Haur sebagai pengajar disini. 3 ruangan sederhana kemudian difungsikan sebagai kelas jauh dari SDN 1 Pasir Haur. Ketika jumlahnya dirasa sudah cukup memadai untuk berdiri sendiri maka melalui surat keputusan Bupati maka sekolah ini dibangun sebagai sekolah yang mandiri. Sekolah ini kemudian bernama SDN 2 Pasir Haur. Ada tiga ruang permanen yang dibuat untuk belajar, letaknya dibawah lapangan tempat menjemur padi dan sebagai lapangan bermain bola masyarakat. Jumlah muridnya ada sekitar 356 murid yang terbagi menjadi 6 kelas atau rombongan belajar, namun ketersediaan ruangan yang tidak memadai akhirnya membuat pengajaran terbagi menjadi dua sesi. Sesi pertama kelas 1, 2 dan 3 jam setengah delapan sampai dengan jam sepuluh. Kemudian disusul sesi kedua kelas 4,5, dan 6 jam 10 sampai dengan jam setengah satu.

Tanah merah dilapangan diatas sekolah inilah yang membuat sekolah menjadi sangat kotor ketika hujan. Tanah itu mengotori lantai keramik sekolah ini. Ketika pertama datang saya melihat anak-anak hanya beralaskan kaki kosong datang kesekolah, sepatu mereka tidak sanggup lagi berjalan ditanah yang lengket itu. Untuk dapat mencapai sekolah ini harus menuruni tanah lapang ini, kadang guru-guru yang tidak hati-hati akan terpleset ditanah ini. Untuk itulah sepatu boot diperlukan.

SDN 2 Pasir Haur kini kedatangan personel baru sebagai tenaga pengajar, yaitu saya sendiri. Sebelumnya Sekolah yang baru berdiri ini kewalahan dan kekurangan tenaga pengajar untuk mendidik anak-anak. Dahulu kepala sekolah merangkap sebagai wali kelas enam, karena kesibukan dan tugas kepala sekolah yang tidak selalu di sekolah membuat mengajar jadi terbengkalai. Kedatangan saya kemudian disambut hangat oleh guru-guru sebagai bala bantuan yang meringankan beban mereka. Ya, disinilah kantor saya, tempat saya bertugas selama 52 minggu kedepan. Saya siap untuk bekerja. Selamat bekerja pengajar muda.


Cerita Lainnya

Lihat Semua