SA.RI.A (Saya Tidak Bisa Bicara)

Eko Budi Wibowo 25 Februari 2012

 

Hak, hak, hak... suara seperti burung gagak ketika Saria mencoba berbicara ingin memberitahukan kepada ku bahwa dia menemukan buku. Aku tahu karena dia menunjukan buku dan tangannya bergerak-gerak menunjuk sesuatu tempat, aku sudah mengerti maksud dia apa. Walaupun dia teriak tak beraturan dan menggangu kelas ku tapi tetap aku tersenyum dengan anggukan dan acungan jempol kepada Saria seraya meneruskan kembali materiku dikelas.

Itulah Saria, siswa kelas satu. Ketika jam belajarnya disekolah sudah selesai sekitar jam 10 dia pulang sebentar ke rumahnya untuk mengganti baju dan setelah itu dia kembali lagi ke sekolah. Dia berdiri didepan pintu kelas ku ketika anak-anak kelas enam masih harus meneruskan pelajaran sampai jam 12.00 siang nanti. Dia biasanya duduk di pojokan pintu sambil memperhatikan kelas enam belajar dan tentu saja memperhatikan aku mengajar. Entah ketertarikan apa yang membuat Saria selalu datang ke kelas ku.

Saria menurutku adalah siswa yang paling lebar senyumnya diantara teman seusianya yang berlarian menyambut tangan ku ketika pagi hari didepan sekolah. Kebiasaan anak-anak yang tidak mungkin bisa terbayarkan dengan apapun adalah ketika aku datang dan disambut anak-anak yang berebut untuk mencium tangan ku. Salah satunya adalah Saria, dengan senyum yang lebar dan mungkin cuma bahasa senyum itulah yang bisa dimengerti oleh ku, dari sana terpancar guratan-guratan bahwa Saria senang sekali menyambut ku setiap pagi di depan kelas satu.

Saria sudah dua kali tinggal kelas, sekarang dia tetap di kelas satu. Guru-guru menggangap dia anak bawang, orang tuanya juga menitipkan Saria kepada guru disini dengan berpesan ‘yang penting Saria bisa ikut ke sekolah sama seperti teman lainnya, walaupun dianggap anak bawang atau tidak di naikkan kelas juga tidak apa-apa”.

Aku mulai bisa menerawang perasaanku andai aku jadi anak seperti Saria yang ‘ada tetapi dianggap tidak ada’. Ya, Saria memang punya kekurangan yang tidak sama dengan siswa lain, disinipun sekolah untuk mendidik siswa yang berkebutuhan khusus juga tidak ada. Akhirnya jalan yang terbaik adalah mengikutkannya untuk sekolah tapi dianggap tidak pernah ada. Aku tau dari keluarganya sewaktu balita Saria sakit, sekujur tubuhnya demam tinggi. Panas itulah yang membuat akhirnya Saria seperti sekarang ini. Ya benar tebakan anda semua, Saria itu anak yang tidak bisa bicara (tuna rungu dan tuna wicara).

Perkenalan ku dengan Saria adalah ketika malam mengajar mengaji di sesompangan (baca cerita: pengajian sesompangan). Aku adalah guru mengaji yang baru di sesompangan itu, aku mengajar mengaji anak-anak yang tinggal disekitar rumah mak Rukiayah, rumah yang diajadikan tempat sesompangan ketika malam hari. Diantara murid-murid mengaji ku ada dua anak yang teriakannya sangat membisingkan telinga, mereka teriak tidak beraturan dan tanpa intonasi lapal pada umumnya, mereka itu Saria dan Ajat dua anak kecil yang bisu dan meramaikan pengajian ku setiap malam. Setiap malam aku berusaha untuk mengajarkan Saria untuk mengaji, aku memang tidak tahu ilmunya bagaimana mengajarkan anak seperti Saria ini. Semangat Saria dan Ajat setiap malam yang membuat ku sesekali menangis mensyukuri nikmat yang ada pada diriku. Aku melihat Saria dengan memegang Iqro berteriak seakan-akan dia bisa mengucapkan kata, didampingi teman-temannya Saria di pegahan (dibimbing) untuk melafalkan kata, kadang sangat tersentuh sekali melihat kejadian itu. Dari sana aku selalu mencoba untuk membimbing Saria mengaji.

Aku memegang tenggorokan ku seraya berucap kata “A”  dengan mulut yang terbuka lebar, kemudian Saria pun mengikutiku dengan susah mengeluarkan kata “A”. Aku merapatkan dua bibir menjorok kedalam dan tiba-tiba menghentakkan dan melepaskan dua bibir yang rapat tadi sambil berkata “BA” Kemudian Saria pun mengikuti dan mengeluarkan kata ‘BA’ dengan susah payah. Yang lebih susah adalah melafalkan huruf ‘SA’ aku mencoba mencotohkan dengan menjepit lidah dengan gigi atas dan bawah dan mengeluarkan bunyi ‘SA’ Tetapi apa daya Saria pun tidak pernah bisa mengucapkan ‘SA’ dengan baik. Yang jelas untuk tiga huruf iqro itu Saria bisa dengan jelas membedakannya.

Saria pernah ditanya oleh Mak Ruk, sambil tangan Mak Ruk menunjuk diriku lalu Saria dengan spontan menunjukkan dua jempolnya. Mak Ruk berkata kepada ku dengan bahasa Sundanya bahwa aku ini guru yang ‘bageur’ kata Saria. Aku pun kemudian mengusap kepala Saria dengan tersenyum, mungkin itu ucapan terimakasih ku tanpa harus berkata-kata lagi. Aku yakin perilaku aku kepada Saria lah yang membuat senyum lebarnya disetiap pagi ketika dia dan bersama anak-anak lain berebut mencium tangan ku di depan kelas mereka. Saria merasa dirinya diberi kesempatan untuk bisa belajar sama dengan anak-anak yang lain, itulah yang seharusnya setiap guru lakukan untuk setiap anak yang punya kebutuhan khusus.

Saria hampir setiap hari duduk dipojokan ruangan kelas ku, sambil memperhatikan kelas enam sedang belajar, sesekali dia juga bermain sendirian didepan kelas ku. Pernah ada murid kelas enam ku yang ingin mengusir Saria keluar kelas, aku memberitahu murid ku itu selama Saria tidak menggangu  bapak mohon biarkanlah dia tetap disini. Bagiku kehadiran Saria di kelas ku bukan untuk menggangu, aku tidak pernah mengusirnya keluar kelas, aku biarkan dia asyik memperhatikan tingkah dan gaya ku ketika mengajar. Mungkin itu kesenangan tersendiri untuk Saria. (Bersambung...)


Cerita Lainnya

Lihat Semua