info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Rebo Wekasan

Eko Budi Wibowo 18 Januari 2012

“Pak Eko sudah bangun belum? Jangan lupa hari ini Solat Rebo Wekasan” Itulah sms yang masuk dari Pak Iden ketika saya duduk di bilik kantor sekolah, maklum sinyal ada hanya dibeberapa titik. Salah satunya ditempat ini, sedangkan dirumah saya sendiri tidak ada sinyal. Hingga sms yang harusnya diterima tadi jam 5 baru saya terima jam 7.30 menjelang lonceng saya tabuh. Saya tidak menghiraukan apa maksud sms itu, mungkin itu hanya bercandaan, apa itu solat Rebo Wekasan, saya belum pernah mendengar.

Seperti biasa saya membunyikan bel untuk membariskan anak-anak kelas 4, 5 dan 6. Mereka kebagian dapat jatah masuk sekolah jam 10, karena terbatasnya ruangan disini. Tetapi saya selalu membiasakan mengisi pelajaran di pagi hari ditengah lapangan dengan terlebih dahulu membariskan mereka. Saya kaget ketika jam pelajaran dimulai dan saya akan membariskan mereka, jumlah kehadiran mereka sedikit sekali, rata-rata anak lelaki tidak ada dalam barisan. Lalu saya tanyakan kepada mereka, kemana teman-teman lainnya? Dijawab oleh seorang anak kelas 5 dalam barisannya “mereka ke masjid untuk Wekasan?” saya kemudian bertanya lebih jauh, Apa itu Wekasan?” anak-anak hanya diam dan tidak menjawab pertanyaan saya.

Pikiran saya kemudian mengaitkan dengan sms yang baru saja masuk, Wekasan. Istilah apakah itu, saya baru mendengar. Tampaknya menarik untuk saya selidiki lebih lanjut. Kemudian saya memberitahukan bahwa baris kali in ditunda menunggu anak laki-laki selesai dari kegiatan Wekasan mereka. Barisan bubar dan kemudian saya bertanya kepada Pak Hariri, guru yang kebetulan sudah datang dan berada di bilik kantor sekolah. Pak Hariri, Apa itu Wekasan? Pak Hariri menjawab itu tradisi masyarakat disini untuk tolak bala, menghindarkan bencana yang datang di bulan Safar ini.

Saya teringat lagi ketika waktu itu saya menghadiri ngariung tolak bala (bisa dilihat di cerita saya yang berjudul; ngariung tolak bala). Ngariung tolak bala itu saat bulan purnama memasuki bulan Safar saat itu, kita disuruh untuk banyak bersiap menghadapi musibah sehingga harus disediakan tolak bala. Menurut kepercayaan disini memasuki bulan Safar akan banyak musibah maka olot narah membuat semacam ritual doa dan menganyam ramuan untuk menolak bala yang ditaruh di setiap sudut rumah atau kandang ternak. Saya kemudian mengecek peristiwa itu langsung di tempat kegiatan, di masjid kampung.

Ramai-ramai orang datang membawa botol yang berisi air serta ada juga yang membuat bubur, mereka taruh di masjid kemudian mereka solat empat rokaat. Saya merasa asing dengan solat wekasan ini, akhirnya saya mengetahui setelah bertanya kepada tokoh agama disini. Solat Wekasan adalah tradisi solat empat rokaat yang dikerjakan pada hari Rabu terakhir di bulan Safar. Menurut kepercayaan pada Bulan Safar Tuhan menurunkan malapetaka sebanyak 360.000 dan menurunkan 20.000 bahaya. Tradisini ini pertama kali dilakukan oleh ulama sufi. Diceritakan dalam Kitab Kanjunnazah mempunyai ilmu tentang kejadian yang bisa dilihat sebelum terjadi.  Solat ini sendiri tidak pernah diselenggarakan oleh Nabi sehingga banyak yang tidak pernah melakukan bahkan menggangap ini sesat.

Mayarakat akan membuat bubur, bubur ini akan dimakan dan ada yang sebagian dijadikan sebagai tolak bala yang disebar ditempat tempat khusus, seperti kandang kerbau. Air yang di doakan ini juga berkhasiat untuk menolak segala macam musibah yang akan terjadi. Bahkan para nelayan di dipinggiran pantai menurut tokoh agama disini akan merajut kail dimulai hari ini. Itulah Rebo Wekasan, sesuatu yang jarang ditemukan dan mungkin saya beruntung bisa menyaksikan pemahaman masyarakat disini terkait dengan musibah dan cara penanggulangannya.

Jam 9.00 saya kembali mebariskan anak-anak, kali ini anak-anak sudah kumpul dan saya membariskan mereka seperti biasa sambil dibekali materi PBB, setelah itu menyanyikan lagu-lagu nasional. Saat sesi arahan saya kemudian menjelaskan kepada mereka bahwa bencana atau musibah biasanya terjadi akibat ulah tangan manusia, tidak mungkin terjadi sesuatu bencana tanpa camput tangan manusia yang merusak alam, mungkin beberapa peristiwa alam seperti gempa bumi bisa dikategorikan sebagai bencana dari Tuhan tetapi bencana yang lain yang menimpa sebagian besar wilayah di Indonesia adalah akibat ulah tangan manusia sendiri. Saya mengambil contoh banjir dan longsor di sekitar lebak merupakan akibat ulah manusia yang menebang hutan dan kemudia tidak terjadi resapan untuk air, terjadilah bencana longsor. Anak-anak saya arahkan untuk mengingat hari Wekasan ini adalah sebagai bentuk bahwa setiap manusia pasti takut akan bencana, sedari kini juga kita harus membenahi alam supaya tidak terjadi bencana dikemudian hari bagi diri kita dan keturunan kita di kampung ini. Sesi pengarahan kali ini ditutup dengan doa bersama, meminta supaya bencana tidak datang menimpa diri kita semua. Amin

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua