Obrolan Malam, Jika Pak Eko jadi Presiden

Eko Budi Wibowo 21 Februari 2012

Kampung ini akan benar-benar gelap sekali ketika malam datang, cuma ada beberapa rumah yang terang oleh sebuah bohlam. Memang ada beberapa rumah yang kolektif untuk membeli bensin dan menyalahkan genset ketika malam, itupun dijatah dari magrib sampai jam 9 malam. Sekedar untuk mendapat cahaya terang sebelum tidur, waktu beberapa jam cukup untuk bisa menerangi rumah-rumah mereka. Ketika malam datang anak-anak berbondong-bondong berjalan menuju ke masjid, seperti suasana kota Santri itulah kampung Sitoko. Anak-anak itu biasanya akan bercanda dengan riang didalam masjid. Itulah anak-anak, justeru dengan canda riang mereka lah kampung ini menjadi hidup ketika malam hari tiba. Mereka dengan keras melantunkan nyanyian-nyanyian Sunda Solawatan di pengeras suara satu-satunya di masjid kampung ini, nyanyian itu pengingat untuk segera solat magrib. Biasanya akupun larut dengan anak-anak menyanyikan lantunan lagu itu. Aku dari awal membiasakan diri untuk solat magrib berjamaah di Masjid ini, mengenal lebih dekat anak-anak dan mengenal lebih banyak masyarakat.

Anak-anak selepas magrib akan langsung berlarian pergi menuju sesompangan (pengajian) masing-masing. Anak-anak tersebut biasanya akan memilih sesompangan yang dekat dengan rumah mereka. Aku pun demikian selepas magrib langsung  menyusuri jalan kampung yang memang akan menjadi gelap untuk pergi ke sesompangan Mak Ruk (Baca cerita: Pengajian Sesompangan) disanalah aku membantu Mak Ruk untuk mengajar mengaji anak-anak yang datang kerumahnya untuk minta di pegahan (dibimbing) Al Quran. Mak ruk adalah janda tua (57th) suaminya setahun lalu meninggal, Alm. Bpk Muhamadin adalah perintis madrasah diniah di kampung ini oleh karena dikenal sebagai orang yang dalam agamanya, Pak Muhammadin sering didatangi anak-anak untuk dimintai pegahan Al Quran. Sesudah meninggal, pengajian malam itu akhirnya dipegang oleh isterinya. Mak Ruk begitulah aku dan anak-anak memanggilnya.

Malam itu seperti biasa Mak Ruk menyalakan damar, damar itu itu dibuat dari kaleng bekas susu kental manis dan diberi sumbu. Entah sudah berapa lama damar itu dibuat, sudah terlihat seperti pantat panci yang hitam. Ketika dinyalakan api yang merah itu kemudian mengeluarkan asap hitam yang pekat menari-nari diatas api tersebut. Sesekali asap itu yang memedihkan mata ku ketika megahan anak-anak. Damar itupun cahayanya sangat redup hampir tidak bisa untuk menerangi 15 orang yang ada diruangan itu, kadang kami harus berebut cahayanya dan kadang anak-anak sering ribut ketika cahaya damar tersebut dihalangi oleh bayangan tubuh teman-temannya. “Hey Budak, awas!!” itulah teriakan anak-anak ku ketika sedang berebut cahaya dari sebuah damar.

Setelah pengajian seperti biasa, aku selalu membiasakan diri untuk mengobrol dan bercengkrama dengan mereka, sedang  asyik mengobrol tiba-tiba damar yang dinyalakan semakin redup dan tiba-tiba mati. Mak Ruk kemudian mengambil damar cadangan yang lain, sambil bicara; katanya tentu di kampung Pak Eko sana kalau malam tidak gelap seperti ini, di kampung Pak Eko pasti sudah terang. Itulah kurang lebih kata-kata Mak Ruk yang hanya bisa menggunakan bahasa Sunda itupun berbicara sambil mengambil damar cadangan di tempat yang hanya Mak Ruk yang tahu. Damarpun dinyalahkan, kali ini damarnya menyala lebih terang dari damar sebelumnya. Tiba-tiba salah satu murid ku yang kebetulan adalah anak terakhir Mak Ruk berkata: “Kalau Pak Eko Jadi Presiden nanti Minyak tanah Dua Ribu Rupiah ya...”

Aku terbengong seketika mendengar ucapan Muhani kepada ku. Sebuah kampung tanpa listrik, jaraknya mungkin tidak jauh sekali dari pusat pemerintahan Negara. Kampung ini gelap dari dulu memang gelap, kadang masyarakat dari atas kampung sini ketika malam bisa melihat terangnya lampu-lampu kota di Jakarta sana. Ya ketika malam dari sini kita bisa melihat gemerlapnya lampu-lampu kota, terlihat juga Bandara Soekarno Hatta yang tiap hari menerbangkan pesawatnya hilir mudik. Cahaya itu begitu indah, disini kita semua hanya meratapi terangnya lampu-lampu kota. Berharap suatu saat kampung ini bisa terang seperti kota yang kami lihat tiap hari.

Kata-kata Muhani begitu polos dan sederhana, tetapi mengandung sebuah gambaran tentang kealpaan negara disini. Aku bertanya “berapa harga minyak tanah seliter disini memangnya Muhani?”.  “Limabelas ribu Pak Eko” Jawab Muhani kepada ku. Akupun terkaget.  Minyak tanah memang sangat mahal apalagi sudah sangat jarang dijual disini. Ironi sekali, ketika negara belum bisa menghadrikan listrik di kampung ini, kampung ini bertambah gelap ketika negara tidak bisa menghadirkan minyak tanah di kampung ini. Yang susah tambah susah.

Akupun teringat kenapa Muhani berkata seperti itu. Mungkin dia ingat dengan obrolanku beberapa malam yang lalu, bahwa aku punya cita-cita yang tinggi aku bilang kepada meraka bahwa cita-cita ku adalah menjadi Presiden. Aku mengajarkan kepada mereka jangan takut bercita-cita tinggi. Aku melanjutkan cerita ku pada anak-anak malam ini, aku bercerita malam ini dan malam-malam sesudah malam ini bisa saja terus gelap tetapi pikiran kalian tidak boleh gelap seperti gelap yang muncul ketika damar ini padam. Dalam keadaan gelap orang tidak akan bisa membedakan sesuatu, jalannya pun akan susah ketika gelap. Begitu pula ketika pikiran kalian gelap, ditutupi dengan kebodohan, langkah kalian akan kesusahan dalam hidup ini. Kalian harus terus menjaga supaya pikiran kalian terang oleh ilmu, mungkin suatu saat kampung ini akan menjadi terang berkat kalian. Tidak perlu menunggu Bapak menjadi Presiden, kalianlah yang bisa merubah keadaan kalian yang gelap ini untuk bisa menjadi terang.


Cerita Lainnya

Lihat Semua