Secerca Harapan Sekolah Baru

Andita Destiarini Hadi 25 Februari 2012

 

Menjadi Pengajar Muda tak melulu mengajar di satu sekolah dan tak selalu mengajar di sekolah dasar. Seperti halnya aku, seorang Pengajar Muda yang bertugas di Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur. Ketika pertama kali aku tiba di kabupaten terselatan Indonesia ini, aku langsung diminta untuk membantu mengajar di sebuah  Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang baru dibuka pada tahun ajaran 2011/2012. SMP ini dibuka oleh Pemerintah karena dalam 2 desa(Desa Mukekuku dan Desa Lakamola)hanya terdapat  1 SMP, yaitu SMP Negeri 2 Rote Timur sehingga banyak anak-anak yang tidak tinggal se-desa dengan SMP tersebut, harus berjalan cukup jauh, hingga 10 KM dan dampaknya banyak anak yang putus sekolah karena mereka merasa lebih banyak menghabiskan waktu di jalan. Belum lagi tiba di sekolah dalam kondisi lelah sehingga tidak konsentrasi belajar dan waktu di sekolah pun terbuang percuma.

 

Sekolah baru ini, masih menumpang belajar di sebuah SD tempatku mengajar juga, mungkin istilah yang cocok dengan kondisi ini adalah “sekolah satu atap”. SMP baru ini bukan tak punya gedung atau ruangan untuk melaksanakan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM). Sekolah memilikisebuah gedung yang terdiri dari 3 ruang belajar dan 2 kamar mandi yang masih baru, belum tersentuh setetes air pun. Tetapi, apalah gunanya ruang tanpa adanya meja dan kursi serta peralatan untuk mendukung KBM. Ya, SMP baru ini tak punya peralatan yang menunjang terlaksananya KBM dengan baik.

Bulan Juli, adalah awal tahun ajaran baru. Semua sekolah sibuk membuka pendaftaran bagi murid-murid baru. Sama halnya dengan SMP baru ini, membuka pendaftaran bagi murid baru yang tentunya murid angkatan pertama. Tak banyak orang yang terlibat untuk mengurus pendaftaran murid baru. Sekolah ini belum memiliki kepala sekolah dan Kepala Cabang Dinas mau tak mau bertindak sebagai kepala sekolah sementara. Guru pun tak banyak hanya 4 guru PNS dari SD sekitar SMP yang statusnya sebagai guru bantu dan sukarela, 3 tenaga honor yang tidak tentu kapan akan mendaptkan honornya dan 2 Pengajar Muda, salah satunya aku. Kami membuka pendaftaran selama 5 hari. Tak seperti kebanyakan sekolah di pulau Jawa, sistem nilai UN untuk menentukan apakah seorang anak bisa masuk sebuah SMP, tak berlaku di sekolah baru ini.Pendaftaran siswa baru ini, membuat kami harus bekerja keras menyebarkan informasi tentang adanya sekolah baru, terutama bagi penduduk Desa Mukekuku. Memang, kami sedikit khawatir, tidak banyak siswa yang mau mendaftar. Tetapi, sedikit siswa tak berarti sekolah ini urung membantu mencerdaskan bangsa atau sekolah ini ditutup.  

Hari pertama pendaftaran, aku cukup antusias. Teman-teman guru pun memberikan senyuman lebar di awal hari ini diiringi rasa optimis pasti banyak murid yang akan mendaftar. Setelah 5 jam menanti, 23 siswa mendaftar. Ya, kami seperti di film Laskar Pelangi, ketika salah seorang guru SD Muhammadiyah di Belitung menanti dengan cemas kedatangan setiap siswa baru dan sangat mensyukuri setiap siswa baru yang telah mendaftar. Aku dan beberapa guru pulang dengan perasaan sedikit senang dan yakin esok akan lebih banyak lagi yang mendaftar. Keesokan harinya, kami siap menyambut siswa yang ingin melanjutkan sekolah ke tingkat menengah pertama di sekolah yang serba tak ada ini. Hari kedua, tak sebanyak hari pertama. Hanya 10 orang yang mendaftar setelah berjam-jam kami menunggu, tetapi kami tetap bersyukur. Hari ketiga, semangat  kami masih menggebu-gebu. “Hari ini pasti lebih banyak yang mendaftar dibandingkan kemarin”, harapku dalam hati. Tetapi, apa mau dikata, hanya 3 orang yang mendaftar. Aku sedikit terkejut dan mulai khawatir. Kepala Cabang Dinas PPO pun berkata, “Seharusnya minimal 60 siswa dari desa ini yang mendaftar di sekolah baru ini”. Namun, kami tak patah semangat masih ada 2 hari lagi. Kami pun memulai pendaftaran hari ke-4 dengan perasaan sedikit  deg-degan. Dibenakku, “Apakah hari ini akan lebih banyak dari kemarin?”. Ternyata, cobaan dari sekolah baru pun muncul. Telah berkembang isu di masyarakat desa, bahwa setiap orang tua siswa yang mendaftarkan anaknya di SMP baru ini nantinya akan diwajibkan menyerahkan sejumlah uang untuk menggaji guru-guru yang mengajar karena sekolah tak ada biaya untuk membayar guru-guru. Bagi penduduk desa yang sebagian besar berpenghasilan ekonomi menengah ke bawah, tentunya hal ini akan memberatkan. Isu inilah yang membuat banyak orang tuas siswa mengurungkan niatnya menyekolahkan anaknya di SMP baru ini. Mereka lebih memilih membiarkan anaknya jalan sangat jauh dari pada harus mengelurkan uang untuk membantu membayar guru.  Kepala Cabang Dinas PPO dan beberapa guru turun tangan untuk menyelesaikan masalah ini. Kami berusaha meyakinkan orang tua siswa bahwa isu tidak benar. Kami seperti orang yang sedang meyakinkan sebuah produk kesehatan tanpa efek samping. Hufh... cukup sulit dan menantang. Usaha kami pun tak sia-sia, hingga hari terakhir pendaftaran 58 siswa resmi menjadi murid baru di sekolah baru.

Hari demi hari telah aku lewati di sekolah ini. Mengajar pagi hari di SD dan siangnya di SMP. Tantangan pun muncul kembali. Belajar dan mengajar di siang hari sungguh menantang. Aku yang sedikit lelah karena tenaga cukup terkuras di pagi hari ketika mengajar SD dan siswa pun banyak yang mengantuk. Terlebih lagi kalau cuaca sedang panas-panasnya, konsentrasi belajar pun berkurang. Namun, mau bagaimana lagi, sekolah ini masih menumpang, pilihannya hanya 2, menumpang di sekolah lain atau belajar tanpa meja dan kursi?. Selain itu, tak adanya buku membuat proses pembelajaran semakin sulit. Sekolah ini hanya memiliki 1 buku setiap pelajarannya, buku itu pun didapat dari sekolah di desa lain yang prihatin dengan kondisi sekolah baru ini. Sekolah baru ini tak langsung mendapatkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari Pemerintah. Banyak proses yang harus dilewati agar dana BOS cair. Kurang lebih 3 bulan, sekolah tidak punya uang simpanan sama sekali. Namun, semua hambatan bisa terlupakan sejenak, ketika aku bisa melihat semangat murid-muridku datang ke sekolah. Hujan atau pun panas mereka lewati. Mereka hanya ingin sekolah, mendapatkan ilmu ditengah keterbatasan. Itulah sekolah baru yang penuh semangat, SMP Negeri 4 Rote Timur. 


Cerita Lainnya

Lihat Semua