Baduy

Eko Budi Wibowo 6 Juli 2011

Kesempatan untuk ada di Lebak selama satu tahun merupakan kesempatan yang sangat bernilai harganya. Kami pengajar muda Lebak tidak menyiakan waktu kami untk belajar banyak tentang daerah kami, kami punya rencana dalam satu tahun kedepan semua wilayah Lebak harus kami datangi. Itulah cara kami melihat langsung potret kehidupan masyarakat Lebak. Lebak sendiri terkenal dengan wisata budayanya yang kita kenal dengan masyarakata Baduy.

Kata baduy memang tidak asing lagi ditelinga saya, sudah beberapa lama saya menyaksikan secara langsung orang-orang Baduy yang menjual madu di jalan-jalan. Mereka konon katanya dan langsung dijelaskan oleh guru IPS saya dulu di SMA, orang baduy pergi dari kampung tanpa menggunakan kendaraan, mereka hanya mengandalkan langkah kaki yang tanpa alas juga, mereka berjalan beriringan tanpa mendahului pemimpin rombongannya.

Ketika kuliah saya secara langsung belajar mengenai masyarakat baduy ini tetapi pembelajaran saya itu tidak pernah menyaksikan orang baduy langsung dipedalamannya. Untuk itu saya dan teman-teman merasa penasaran untuk bisa melihat dan berinteraksi dengan mereka secara langsung. Ketika ada waktu luang akhirnya kami janjian dan pergi untuk menjelajah Baduy. Kala itu keinginan kami untuk menjelajah Baduy ternyata didukung oleh Kepala Dinas pendidikan Lebak, bahkan Pak Kadisdik sendiri yang menyuruh anak buahnya untuk mengantar kami dari Rangkas Bitung menuju kampung Ciboleger dan mengenalkan kami ke kerabatnya yang tinggal di kecamatan Ciboleger itu, Ciboleger sendiri merupakan daerah pintu masuk kampung Baduy.

Untuk dapat mencapai pintu masuk Baduy itu kita bisa mneggunakan mobil angkot dari Rangkas jurusan Ciboleger Untuk dapat mencapai kampung Baduy dari Jakarta kita bisa menggunakan kereta Api jurusan Tanah Abang – Rangkas Bitung, saya sarankan untuk naik kereta ekonomi lokal ‘Rangkas Jaya’ pada jam 08.00 pagi atau jam 17.00. Walaupun ada kereta rute Tanah Abang - Rangkas lainnya tetapi sangat dianjurkan untuk naik kereta ini. Setelah itu dilanjutkan dengan angkot kecil menuju Pintu masuk Baduy, yang disebut terminal Ciboleger. Gampang bukan?

Pada saat itu kami menginap dahulu semalam sebelum esok harinya menjelajah kampung Baduy. Kami tinggal dengan kerabat Kadisik yang mempunyai pondok pesantren tradisional, namanya Haji Eman. Haji Eman mengatakan Bahwa pintu masuk Baduy itu ada dua, satau di Ciboleger dan yang satu lagi melalui Kenekes. Tapi biasanya wisatawan dianjurkan untuk lewat di pintu ini.

Setelah menginap satu malam kini tibalah kami beraksi, kami diantarkan oleh santri dengan motor menuju pintu masuk Ciboleger. Pemandangan langsung disuguhkan dengan beberapa angkot tujuan Rangkas Bitung, di atas angkot itu termuat barang-barang hasil bumi orang-orang Baduy seperti pisang yang akan dijual di Rangkas. Dipintu masuk juga kita akan melihat warung-warung kecil tempat menjual pernak-pernik Baduy, bahkan di pintu masuk itu kita akan menyaksikan sebuah toko swalayan Indomart. Hati-hati ketika berada dipintu masuk, ketika ada orang asing atau wisatawan yang datang biasanya mereka langsung di kerubungi oleh guide lokal yang menawarkan jasanya. Biasakan menggunakan guide, karena kalau kita sendirian itu akan bahaya dan lebih baik menyiapkan guide yang sudah dipercaya sebelumnya.

Kami saat itu beruntung sudah mendapatkan guide yang dicarikan oleh Haji Eman, kami kemudian langsung menasuki wilayah baduy tersebut. Memasuki lebih kedalam wilayah baduy kita akan menerobos waktu seakan kembali ke masa lampau, disana kita langsung disuguhi pemandangan rumah-rumah adat yang masih terpelihara sampai sekarang. Baduy sendiri terdiri atas dua kelompok, baduy dalam dan baduy luar. Baduy luar adalah masyarakat baduy yang menggunakan pakain hitam sedangkan baduy dalam merupakan masyarakat yang menggunakan pakaian putih.

Sebelum memasuki baduy dalam kita harus melewati perkampungan baduy luar dan hutan selama kurang lebih empat jam jalan kaki. Permukiman Baduy Luar sendiri kita akan menjumpai seperti kampung Balimbing, Kampung Marenggo, Kampung Gajebo, serta Kampung Cicakal Muara. Sayang perjalanan belum bisa kami lanjutkan ketika disalah satu rombongan kami terkena sakit, kemudian temen kamipun harus diantar terlebih dahulu untuk pulang setelah itu kami baru melanjutkan kembali perjalanan. Sesekali kami kemudian mengambil gambar di beberapa tempat di Baduy Luar, seperti berfoto di rawayan atau jembatan khas Baduy atau di leuit (lumbung padi) sebagai tempat penyimpanan padi orang Baduy.

Anak-anak baduy sendiri terlihat sedang bermain diluar rumah, kedatangan kami membuat mereka menjadi terpana sesaat. Mereka kemudian diam dan ketika kami hampiri mereka langsung masuk kedalam rumah mereka. Saya bertanya dalam hati, apakah anak-anak baduy bitu bersekolah? Apakah anak-anak itu ingin terus mengikuti cara hidup orang tua mereka. Pertanyaan seperti itulah yang menghampiri saya ketika melihat anak-anak itu. Sesekali saya melihat suku baduy dalam yang mengenakan pakain putih berjalan berpapasan dengan kami, mereka membawa anak mereka yang masih kecil. Anak itu membawa sebilah golok dipinggangnya. Sungguh lucu sekali anak itu saya menganologikan anak kecil baduy itu seperti dalam sebuah karnaval pakaian yang dipakai anak-anak TK. Lagi-lagi pikiran saya berkecamuk, apakah anak-anak itu akan mengikuti jalan hidup seperti ayahnya. Tetapi mungkin mereka punya jalan hidup sendiri yang belum saya mengerti.

Untuk mencapai perkampungan Baduy dalam sangat meleahkan sekali. Setelah empat jam akhirnya kami sampailah diperkampungan Baduy Dalam, yaitu di Kampung Cibeo. Ketika kami berbincang dengan orang baduy, kami mengetahui tentang beberapa hal, seperti nama Baduy diambil itu ternyata diambil dari nama gunung Baduy yang ada disekitar perkampungan ini. Sementara mengenai soal kepercayaan atau agama yang dianut Baduy adalah Agama Sunda Wiwitan. “Keparcayaan kami ka Gusti Allah. Nabina, nabi Adam. Namun tata cara pelaksanaanya yang berbeda. Seperti Baduy tidak ketitipan ibadah solat. Puasa ada, dan di sini juga ada hari Kawalu atau hari raya.” jelas Ayah Mursid. Jika jatuh hari Kawalu, pengunjung tidak dibolehkan untuk menginap di Baduy.

Kalau ingin menginap pendatang dipersilakan selagi esok hari tidak ada hari pantangan seperti hari Kawalu (Hari Raya) maksimal menginap adalah satu malam dan tidak boleh lebih. Rumah disini terbuka untuk wisatawan, kita biasanya cukup datang dengan membawa ikan asin untuk seserahan lauk pangan kita. Ada beberapa pantangan yang harus dijaga dikampung ini, yaitu seperti tidak boleh mengambil potret dan tidak boleh menggunakkan sabun di sungai. Sayang sekali kami tidak merencanakan untuk menginap dikampung baduy malam ini, setelah cukup melihat baduy dalam maka kami segera meninggalkan kampung ini menuju pintu keluar di kampung Kenekes.

Masyarakat baduy sendiri mempunyai aturan yang harus mereka jalani yang menyebakan mereka seperti sekarang ini, aturan itu sudah ada sejak lama yang terekam dalam sebuah istilah Baduy: “Lonjor Teu Menang Dipotong, Pondok Teu Menang Disambung”.  Seorang baduy menjelaskan kepada kami bahwa “Kata-kata itu penuh makna hukum aturan dan amanah leluhur. Artinya yang sudah ada tidak boleh dikurangi dan tidak boleh ditambah. Apa adanya, kita harus menerima. Itu adalah hukum adat di Baduy.”

Rombongan kami hari ini mendapat pelajaran yang sangat berharga tentang cara pandang suku Baduy dengan dunianya. Kami sepanjang perjalananan pulang mendiskusikan banyak hal tentang apa yang sudah kami pelajari seharian dsini. Walaupun capek sekali dan betis ini serasa mau pecah saya sungguh beruntung bisa datang ketempat ini. Untuk teman-teman yang mau berkunjung ke Baduy harus persiapkan fisik yang prima, karena kalian akan melewati jalan yang cukup jauh dan melelahkan. Tetapi semua itu pasti terbayar dengan sebuah pengalaman dan pembelajaran hidup.


Cerita Lainnya

Lihat Semua