Rayuan Pulau Bukide

Egisa Tarwina Maris 15 Oktober 2012

 

Beberapa minggu sebelum aku diterbangkan kemari, aku melihat bentuk pulau bukide yang mini itu melalui citra google earth. Bentuk yang unik, dengan lekukannya yang tegas. Dengan garis pantainya yang berliku-liku mempesona. Di bagian baratnya ada pulau nanusa, separuh lebih kecil. Aku menarik garik lurus pada citra satelit NOAA itu dari titik di pulau Bukide menuju rumahku yang ada di pulau jawa, kudapatkan jarak 1886 km. Cukup jauh, namun mungkin sekali lebih dari itu, mengingat kekayaan Indonesia yang berupa gunung di darat maupun di laut.

Saat perjalanan menuju pulau Bukide menggunakan pumpboat, aku bisa melihat secara nyata bentuk pulau bukide yang sesungguhnya. Bentuk pulau bukide yang aku lihat seolah-olah mengamini seluruh teori proyeksi dalam gambar 3 dimensi. Perfect, citra memang tidak mengada-ada. Canggih sekali satelit ini, Sapuan kuasnya pada kanvas citra sepertinya tidak ada yang luput. 2 perbukitan, dengan sesuatu menyerupai lembah di tengahnya.

Saat melewati pinggir tebing batu yang menjulang tinggi di tengah laut aku dapat melihat dasar lautan yang berupa karang-karang beserta selimut airnya yang berwarna cyan, sesekali aku melihat ikan terbang. Tidak jarang burung juga mencari makan di laut, memangsa ikan-ikan yang berenang di dekat permukaan laut.

Mesin pumpboat dimatikan, dayung mulai dimainkan. Aku melihat pasir putih yang nyata itu, pohon kelapa yang lengkap dengan buahnya. Aku menengok kebawah perahu, air laut yang sama sekali jernih memamerkan karang-karang yang ada di bawahnya. Kuning, Coklat, Ungu, Merah, semua dapat kulihat dengan jelas. Subhanallahh, Maha Besar Allah menciptakan air yang sejernih ini, walaupun sudah beberapa kali minyak tumpah di lautan yang saling terhubung itu, walaupun sudah beberapa kali limbah dibuang ke laut. Laut yang menjadi sumber penghidupan. Laut yang menjadi ciri khas bangsa kami. Nenek moyangku orang pelaut, gemar mengarung luas samudra.

Pumpboat yang di dayung itu mulai mendekati garis pantai, dan aku mulai bisa melihat perkampungan. Betapa beruntungnya mereka bisa mandi di pantai setiap hari, gumamku.

Sang pelaut, nahkoda, turun dan mendorong perahunya menuju pasir putih, serta turun membawa koperku. Aku berjalan mengikuti pelaut yang membawa koperku, beberapa anak-anak juga menghampiriku, membantu membawakan ranselku dan beberapa buku sumbangan dari salah satu perusahaan telekomunikasi. Aku mengikuti kemana mereka membawa barangku, ternyata menuju rumah orang tua piaraku. Rumah baruku, keluarga baruku, dan lingkungan baruku, mulai hari ini, 20 Juni 2012, sampai 365 hari ke depan.

Rumah baruku berpagarkan tanaman hias, dengan pasir taman yang bewarna putih. Di depan rumah ada pohon alpukat, dengan beberapa buahnya. Di sebelahnya ada pohon jeruk lemon sangir, dengan ratusan buah menghiasi tangkai-tangkainya. Di bawahnya ada pohon cabai, dengan cabai-cabai yang siap dipetik kapanpun.

Rumah baruku tidak memiliki kran air, tidak juga pipa untuk mengalirkan air, apalagi meteran air. Aku cuma melihat bambu yang dibelah menjadi 2, untuk mengalirkan air ke kamar mandi dan tempat cucian piring. Darimana asalnya air itu? Rasa kagumku bercampur dengan rasa ingin tahu. Aku mengikuti arah dari mana bambu itu berasal, ternyata bambu itu sangat panjang. Bambu itu mengalirkan air dari kebun alias hutan yang ada di belakang rumahku. Ada beberapa mata air yang tak pernah kering di hutan ini, dan hanya perlu diberi bambu sepanjang jarak rumah dengan sumber mata air di hutan tersebut. Mata air di hutan tidak pernah kering, hujan selalu datang tepat waktu pada jadwal yang kerap kali tertera di buku pelajaran IPA Sekolah dasar.

Kampungku, sarat dengan makna kesederhanaan. Kini aku melihat rumah kembali kepada hakikatnya, yaitu tempat berlindung dari terik panas dan hujan, tempat berkumpulnya anggota keluarga. Aku melihat buah tumbuh dari pohonnya, memang sengaja Tuhan ciptakan untuk kebutuhan kami, manusia. Tidak salah jika sebuah lagu mengatakan “kail dan jala cukup tuk menghidupimu”. Cukup, mungkin kata itulah yang sudah banyak mengalami gradasi. Kampung Enggohe, Pulau Bukide, kampung baruku, dengan segala kesederhanaannya yang akan mengajariku mengenai arti kata “cukup”, tidak hanya untuk 365 hari tapi untuk selamanyaa..

 

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua