Setahun Mengajar, Seumur Hidup Terinspirasi

Edhy Priyatna Anugrah Surbakty 6 Mei 2012

Konon, filsuf Yunani kuno Pythagoras senang berjalan-jalan melewati bengkel kerja seorang tukang besi di Pulau Samos. Seperti biasa dia mendengar bunyi klontang-konteng tanda beradunya martil dan batang besi yang dikerjakan.

Biasanya dia tidak mengindahkan suara yang ditimbulkan tukang besi tersebut karena hanya dianggap gangguan biasa. Namun suatu hari dia belajar memandang bunyi-bunyi itu bukan hanya sekadar gangguan, namun sebagai ‘informasi.’

Dengan segera dia menyadari bahwa timbul nada-nada musik sesuai panjang pendek besi yang dipukul. Inilah prinsip fisika matematis pertama yang ditemukannya.

Luar biasa yang terjadi apabila kita mau lebih mau memperhatikan dan belajar dari siapapun.

 

“Anak-anak, kita harus berani bercita-cita setinggi-tingginya. Kita harus percaya diri dan optimis kita akan berhasil mencapainya apabila dibarengi usaha dan doa”

Dalam berbagai versi saya rasa para pengajar muda pernah mengatakan hal  ini kepada murid-muridnya.

Kita mencoba menanamkan optimisme, kepercayaan diri dan berpikir besar pada murid kita. Begitu juga saya. Berdasarkan pengalaman hidup , nasehat orang tua, sharing dengan teman, buku-buku motivasi dan serangkaian seminar yang pernah diikuti tentu sedikitnya merasa tahu mengenai hal tersebut dan perlu memberitahu anak-anak mengenai ini.

Apakah saya sudah memiliki keyakinan dan sikap seperti yang saya ingin tularkan? Saya kira sudah. Ternyata di daerah penempatan, ada sedikit yang berbeda dari bayangan.

Tes pertama untuk menguji keyakinan saya tentang optimisme hadir tidak lama setelah saya datang ke Paser. Saya membawa dua orang anak dalam  perlombaan renang pelajar. Awalnya hanya seleksi kecamatan.

"Pak, saya belum pernah berenang di kolam renang, " kata Saleha melihat air kolam bening di hadapannya.

"Ga apa-apa, renang di sungai Kandilo yang dalem sama berarus aja jago, apalagi airnya diem begini, " kataku mencoba menguatkan.

"Tapi airnya berat Pak, enak di sungai,"  sahut ilham yang mengenakan celana pramuka untuk berlomba.

Sekolah kami walau bertempat di desa, namun masuk dalam ibukota kecamatan.  sehingga bila adalomba apapun, biasanya selalu berhadapan dengan sekolah “kota” (percayalah kawan, ini seru dan menantang). Termasukseleksi ini,pasti melawan anak-anak ibukotakecamatan yangbiasanya rutin berlatih dan masuk klub renang.

Melihat hal itu, api optimisme saya justru bertabrakan dengan realitas yang ada di lapangan. Saya menurunkan standar saya. Dari yang seharusnya percaya mereka bisa menang, saat itu, sayaberpikir yang penting mereka punya pengalaman bertanding.

Ternyata saya salah, Saleha walau dengan baju renang pinjaman akhirnya bisa menjadi peringkat 3 tingkat kabupaten salah satu kategori.

Dan banyak lagi kisah serupa yang saya alami di sini.

Terakhir adalah ketika hari pendidikan nasional kemarin, saya menyaksikan seorang anak dari desa saya ditempatkan menerima piala dari tangan Bupati.

Bayangkan seorang anak dari desa yang masih mengandalkan genset setiap malamnya memenangkan lomba membuat powerpoint se-Kabuaten Paser. Dia berkesempatan bersalaman dan berfoto dengan Bupati (saya saja belum pernah bertemu kepala daerah saya di Bandung)

Berangkat lomba pun, kami hanya berbekal laptop dinas saya, laptop pinjaman dari Pak Kades dan sekarung kenekatan.  Lagi-lagi untuk kesekian kalinya saya di ajari untuk percaya dengan potensi setiap orang. Rabiatul Adawiah akhirnya menjadi juara pertama dalam lomba itu dan berhak mengikuti upacara di Kantor Bupati.

Seperti kata peribahasa kuno, “Satu kali terjadi adalah satu kejadian saja, dua kali bisa jadi kebetulan, tetapi tiga kali atau lebih merupakan sebuah pola” Saya diajari berkali-kali oleh anak-anak tentang hal ini.

Bukannya mengajari mereka, malah saya yang diajari anak-anak mengenai optimisme dan kepercayaan diri. Nilai-nilai yang kita yakini memang harus teruji oleh situasi.

Kadang ketika kita berpikir kita tahu tentang sesuatu dan ingin mengajarkan kepada seseorang, terkadang kita malah belajar dari orang tersebut.  Bahkan dari anak-anak.

Jika Pytagoras bisa belajar dari seorang tukang besi, mengapa kita tidak?

Setahun di Rantau Panjang, saya pasti akan terus terinspirasi. Namun pertama, tentunya saya harus mengijinkan pikiran saya terbuka dahulu.

Salam dari Lomununtu, Rantau Panjang.


Cerita Lainnya

Lihat Semua