Belajar dari Korea Utara

Edhy Priyatna Anugrah Surbakty 10 Mei 2012

Selama paruh kedua abad kedua puluh, zona bebas militer yang menjadi pemisah Korea Utara dan Korea Selatan mungkin merupakan salah satu tempat paling berbahaya di dunia.

Tanah dengan lebar empat kilometer dan terbentang dua ratus kilometer melewati hutan ,rawa-rawa, bukit dan persawahan ini beraroma menegangkan dan tentu diintai oleh kedua negara tersebut.

Secara ekonomi, daerah ini dan sekitarnya sangat lambat kemajuannya hampir selama lima dasa warsa terakhir. Mungkin banyak yang menyangka tempat tersebut mirip neraka suasananya, satu kesalahpahaman saja dan bisa terjadi perang. Hal baik dirasa tidak mungkin ada di tempat tersebut.

Kenyataannya tidak.

Situasi tersebut telah menjadikan daerah tersebut secara de facto sebagai salah satu cagar alam bagi satwa liar yang terhebat di dunia. Tempat itu dihuni oleh satwa-satwa langka yang bisa hidup tanpa gangguan manusia di sana. Tempat itu justru surga bagi hewan liar.

Mengapa saya ingat akan hal tersebut adalah karena selama 6 bulan di daerah penempatan, saya sempat mendengar beberapa keluhan tentang kondisi sekitar. Sebenarnya tidak puas dengan keadaan ada positifnya, agar kita tidak cepat puas dengan keadaan saat ini dan bergerak ke arah yang lebih baik. Namun tentunya bukan hanya mengeluh jalan keluarnya.

Kondisi yang menjadi keluhan biasanya berkisar seputar akses jalan ke desa dan sekolah saya yang rusak (apalagi ketika hujan), belum adanya listrik di desa, mahalnya bensin di sini (bukannya Kalimantan kaya minyak ya?) dan sederet keluhan lainnya.

Ketika mengingat kisah di atas, saya mencoba mencari sisi positif dari keadaan yang biasanya dikeluhkan. Saya mencoba belajar dari masyarakat, guru-guru dan anak-anak yang nampak bisa menikmati dan bersyukur dengan keadaan saat ini. Agak sulit awalnya memang. Tapi ternyata memang ada yang bisa diambil sebagai pelajaran.

Misalnya dengan belum masuknya listrik ke Desa Rantau Panjang, setidaknya saya senang karena anak-anak menghabiskan siang harinya dengan kegiatan yang positif dari pada sekedar nongkrong di depan televisi (seperti kebanyakan di kota). Mereka bisa les di sekolah, bisa belajar ngaji, ataupun hanya bermain bersama teman-teman sebayanya di lapangan sekolah maupun memancing di sungai. Yah, setidaknya mereka tidak seharian main video game atau game online yang mulai menjamur di Tanah Grogot (kota terdekat desa kami).

Begitu juga dengan akses jalan yang rusak ke desa kami, saya pribadi enggan ke Grogot apabila keadaannya tidak mendesak. Apalagi ketika hujan, mungkin harus berpikir beberapa kali untuk meninggalkan desa. Saya sadar setidaknya saya belajar mengelola prioritas. Selain itu, saya perhatikan hal ini membuat kami di sini lebih senang menghabiskan waktunya di rumah bersama keluarga daripada menikmati hiburan di kota. Kemewahan yang mungkin jarang dirasakan generasi saat ini.

Selain itu beberapa guru senior jika berbicara tentang jalan, biasanya berkata, “sekarang sih enak, jaman dulu itu hanya jalan setapak dan tanah merah yang licin pula.” Hebat, mereka masih bisa beryukur dengan jalan seperti saat ini.

Saya percaya, dengan adanya keterbatasan dan hambatan kita dipaksa menjadi semakin kreatif. Kita diajari mencari kesempatan dalam hambatan tersebut.

Pencakar-pencakar langit yang menawan itu mungkin tak akan menjamur apabila tidak ada masalah yang memaksa bukan? Salah satu alasannya karena harga tanah semakin mahal dan lahan kosong semakin sedikit, sedangkan kebutuhan gedung yang menampung banyak orang semakin bertambah.

Lalu Bum!! Muncul pencakar- pencakar langit sebagai salah satu solusinya.

Luar biasa apa yang bisa dianugerahkan Tuhan lewat hambatan/masalah. Kira-kira, dalam kondisi sekarang apa ya segi positif dari keadaan yang sedang kita hadapi?


Cerita Lainnya

Lihat Semua