info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Lebaran Yang Mutut

Dwima Rizky Rudjito 29 Agustus 2012

“Allah akbar..allah akbar..allah akbar, La illaha illah..waallhu akbar..allah akbar walillahilhamd ...“

                                                         ***

Mendayu suara meniti di angkasa, alunan takbir berkumandang dari masjid al-istiqomah, satu-satunya masjid di desaku. Ba’da shalat isya pun takbir dikumandangkan, semuanya membesar-besarkan nama Allah. Suasana seluruh kampung larut dalam kegembiraan. Tua-muda, laki-perempuan semuanya kelihatan senang.

Setelah shalat isya pak Man memberikan pengumuman lewat speaker masjid kalau nanti akan diadakan takbiran keliling, semua warga desa diharapkan ikut. Takbiran dimulai dari rumah paling hulu sampai rumah paling hilir. Selesai mengumumkan, aku langsung diajak untuk menuju kampung hulu. Warga desa pun berkumpul. Lucunya lagi semua anak-anak udah nyiapin kantong plastik hitam, “buat apa ini?” pikirku dalam hati.

Aku pun menuju kampung hulu, warga desa banyak yang ikut juga, ketika sampai dirumah paling hulu lalu pak Man bilang “dibagi 3 kelompok, setengah disini, setengah disana”. Rombongan pun dipecah menjadi 3 kelompok. Ternyata takbiran disini itu masuk ke rumah warga, hampir semua rumah dimasuki. Aku pun masuk ke rumah paling hulu, rumah pak Sab.

Ketika masuk aku kaget karena melihat sudah ada aq*a gelas (walaupun mereknya bukan aq*a juga sih) yang sudah dijejerkan rapi membentuk shaf. Diatasnya sudah ada kue-kue kering yang dibungkus dalam plastik kecil. Aku pun duduk, pak Man mulai membaca doa-doa dan diakhiri oleh shalawat. Selepas itu pak Man berteriak “biak, anang betunga, anang pergi sebelum shalawat tuntung”. Maksudnya itu anak-anak jangan bercanda, jangan pergi sebelum shalawat selesai. Aku kaget bercampur geli melihat anak-anak memasukkan kue-kue kering ke dalam plastik mereka, orang tua pun tidak mau kalah mereka juga ngeluarin plastiknya!

Bahkan pak Man pun nanya ke aku “pak Dwi, nuan ndak bait plastik?” aku jawab “ndak, aku nesi tau kalau bakatu”. Bapak-bapak pun juga memasukkan kue kedalam plastik. Tradisi ini disebut “mutut”. Yaitu memasukkan makanan ke dalam plastik.

Oke, aku gak bawa plastik dan aku gak bisa mutut. Kalau dipikir-pikir tradisi ini mirip dengan trick or treat. Setelah semuanya selesai mutut maka shalawat sebagai penutup dibaca, selepas itu semuanya bersalam-salaman dengan pemilik rumah dan keluar menuju rumah berikutnya.

Aku masuk ke rumah selanjutnya mengikuti rombongan yang dipimpin oleh pak Man. Kejadiannya pun serupa, masuk rumah, duduk, baca shalawat dan doa, mutut, baca shalawat lagi dan pulang. Karena aku tidak enak kalau tidak mengambil kue yang disediakan oleh pemilik rumah, akhirnya aku ambil juga kue-kue tersebut. Aku tidak bawa plastik, jadinya aku masukkan ke dalam kantong baju koko saja. Kebetulan pas aku mau masukin kue ke dalam kantong koko, aku melihat Rojol, murid kelas 3.

Akhirnya aku panggil “jol, kitu kian, tu buat kian. Supaya kian banyak bulih”. Rojol pun nurut saja. Akhirnya setiap kue yang aku dapat pun di masukkan ke dalam plastiknya Rojol, hohoho.

Perjalanan pun masih berlanjut, rumah demi rumah aku kunjungi dan tak terasa sekarang sudah mau ke rumah paling hilir. Aku lihat rojol membawa 2 palstik hitam, yang satu isinya kue, satunya lagi isinya air aq*ua gelas (walaupun mereknya bukan aq*a juga sih). Aku kasihan dan merasa bertanggung jawab karena plastiknya Rojol penuh dengan kue-kue hasi jarahanku, maka aku bawakan 1 plastiknya.

Tiba-tiba ada ibu-ibu yang nanya sama aku “Ooo, pak dwi, nuan mutut juga kah? Ooo pak dwi mutut” sambil tertawa melihatku bawa plastik yang cukup gendut isinya. Aku jawab saja “ndak ee, tu punya Rojol, hehe”.

Rumah di kampung hilir pun sukses dikunjungi dan dijarah, sehabis dari rumah bapak Jai, aku dan pak Man jalan bareng, iseng-iseng aku tanya ke pak Man “nuan mutut juga pak? Tu punya nuan atau punya Tiara (nama anaknya pak Man, kelas 2 sd) pak?” sambil tertawa pak Man jawab “ya meh, tu punya kami bedua, Tiara mutut, yang ku bulih ku kasih ke Tiara, aku pun mutut taun tu magang, ndaklah taun kemai’ aku mutut”. Super banget, bapak dan anak kolaborasi mutut! Pak Man feat. Tiara, duet maut mutut yang hebat, hahahaha. Pak Man pulang, aku pun pulang ke rumah.

Selepas mutut, aku pun jalan-jalan ke kampung tengah, ke rumah pak kades. Disana aku nonton tv dan melihat suasana takbiran di Jakarta melalui layar kaca. Suasana yang berbeda dari sini. Hiruk-pikuk dan hingar-bingar dapat terlihat dan terdengar. Motor-motor yang berjalan merambat, mobil-mobil yang berjalan dengan pelan, suasana bundaran HI yang dipenuhi oleh kendaraan roda 2 dan 4 begitu terlihat padat mengelilinginya. Biarpun seperti itu dalam hatiku aku bergumam “aku rindu Jakarta...”.

Keesokan harinya selepas shalat Ied, aku diajak oleh bapak dan ibu angkatku disini untuk ziarah kubur. Sebelum aku ziarah aku sempatkan menelepon orang tuaku, tapi mungkin mereka belum selesai shalat dan teleponku tidak diangkat. Ya sudahlah, aku berangkat dan ketika sampai disana tiba-tiba aku jadi teringat suasana lebaran di rumah ketika habis shalat Ied. Pikiranku melayang, memoriku membuka catatan-catatan di masa lalu, ketika aku menghabiskan waktu lebaran yang hampir selalu bersama keluarga, kecuali ketika aku masih sekolah, aku harus tinggal diasrama dan baru pulang selepas shalat Ied.

Aku rindu dengan momen-momen bersama keluarga, aku rindu makan ketupat setelah shalat Ied, aku rindu dengan semua keluargaku. Setahun ini aku tidak akan bertemu dengan mereka, setahun pengabdian disini insya Allah akan berbuah manis. Selepas ziarah kubur aku pun kembali ke desa. Jarak kuburan dengan desaku tidak begitu jauh, naik speedboat 15 pk memakan waktu 5 menit saja.  

Aku pun menelepon orang tuaku selepas sampai di desa. Aku rindu dengan suasana lebaran di rumah, dan saat aku menelepon itulah klimaks kerinduanku dengan rumah. Tak terasa 10 menit aku bermaaf-maafan dengan keluargaku. Telepon-teleponan pun usai, saatnya aku kandau ke rumah warga desa lainnya. Aku mampir ke rumah iyak tangkung dan ke rumah pak kades. Aku mampir di warung uju mat, aku ngampur-ngampur dengan warga desa sebentar, terus aku dipanggil Rojol, katanya bapak-ibu di rumah menunggu karena ada pak Man juga. Ya sudah aku balik, ketika sampai ternyata ramai juga di rumah.

Acara pun dimulai, formatnya seperti semalam yaitu shalawat dan doa, dilanjtkan makan-makan kue bedanya kali ini nggak bisa mutut tapi harus dimakan ditempat. Selepas acara di rumah selesai langsung aku diajak pak Man untuk ke rumah kampung paling hulu, kali ini rombongannya cuma 1 saja. Artinya setiap rumah benar-benar harus dimasuki, OMG!

Rumah pertama aku masih bisa makan kue-kue, rumah kedua aku masih bisa makan kue yang disediakan, tapi hingga rumah ke 7 dan ke 8 aku nggak kuat makan kue lagi. Ditawarin temit pun Cuma aku makan 1 biji saja, perutku serasa mau meledak. Begah dan kenyang oleh kue lebaran, sirop, kopi, dan temit. Acara baru selesai jam 2 siang dari jam 11 tadi mulainya. Ketika sampai di rumah pun aku disuruh makan oleh bapak-ibu, tapi aku benar-benar nggak kuat.

Shalat dzuhur pas sampai di rumah, setelah itu aku tidur, bangun jam setengah 5, mandi dan shalat maghrib. Acara lanjut selepas isya. Aku baru makan setelah shalat maghrib. Setelah itu harus berkeliling lagi. Benar-benar hari yang mengenyangkan. Rumah terakhir yang dimasuki adalah rumah bu keti. Selepas itu barulah aku pulang. Mata sudah berat dan perut juga nggak mampu makan apa-apa lagi. Sampai di rumah pun masih ada warga desa yang menonton tv. Sebenarnya aku sudah kepingin tidur tapi aku harus ngampur-ngampur dulu, akhh. Seusai menonton tv, warga desa yang lain pun pulang. Aku pun masuk kamar dan tidur.

                                                     ***

Terima kasih ya Allah, engkau memberikan keluarga pengganti disini yang tidak kalah baik. Terima kasih ya Allah karena ternyata suasana lebaran disini tidak kalah menyenangkan dengan di rumah, walaupun ada secercah kerinduan. Terima kasih ya Allah karena Engkau telah memberiku kesempatan untuk berada di belahan bumi Kalimantan yang terpelosok ini dan merasakan keragaman yang telah Engkau ciptakan.

Kepada seluruh 70 kawan-kawan Pengajar Muda IV, kepada seluruh keluarga dan kerabat-kerabat serta kawan-kawan seperjuanganku dimanapun kalian berada pada kesempatan ini aku ingin meminta maaf kepada kalian semua jika aku memiliki kesalahan, baik yang tersirat maupun tersurat. Ja’alnallahu minal ‘aidin walfaidzin wa ma’a almaqbulin, mohon maaf lahir dan batin. Selamat beridul fitri berbahagia.

Salam dari Danau Sentarum

***

“Selamat Idul Fitri bumi, selama ini kami tidak semena-mena memperkosamu. Selamat Idul Fitri langit selama ini kami tidak henti-henti kami mengelabukanmu. Selamat Idul Fitri mentari, tidak bosan-bosan kami mengabulkanmu. Selamat Idul Fitri laut, maafkanlah kami selama ini tidak segan-segan kami mengeruhkanmu. Selamat Idul Fitri burung-burung selama ini kami terus memberangusmu. Selamat Idul Fitri tetumbuhan, maafkanlah kami selama ini kami tidak puas-puas menebasmu..” (Selamat Idul Fitri, Antologi puisi Gus Mus)

Selamat Idul Fitri Danau Sentarum, maafkanlah kami selama ini kami tidak bosan-bosan memanfaatkanmu. 


Cerita Lainnya

Lihat Semua