info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Prestasiku cukup sederhana

Dwi Gelegar 10 Maret 2011

Prestasiku cukup sederhana

Kisah ini akan kumulai dengan beberapa pertanyaan. Apakah kamu selalu bangun subuh untuk sholat atau melakukan hal lainnya tepat pukul 5 ? Kalaupun setelah kamu sholat subuh apakah kamu langsung tidur lagi atau langsung bekerja ? Pernahkah kamu lakukan hal sederhana ini ketika kecil, bangun setiap subuh kemudian langsung mempersiapkan dagangan berupa kue-kue basah atau disebut wadai di daerah ini dan berjualan keliling desa seluas 1 km2 dengan memakai baju sekolah dan tanpa sandal ? Dia kemudian berteriak dengan sangat kencang setiap subuh dengan kata-kata “ Alio Sanggar Wae (air) ” Artinya jualan sanggar (sebutan untuk pisang goreng) air. Jika pertanyaan ini diberikan kepadaku pasti aku akan menjawab aku tidak pernah melakukannya. Untuk bangun subuh saja masih sulit apalagi harus bangun subuh-subuh di tengah desa yang masih gelap sambil membawa dagangan makanan. Oh aku tidak pernah membayangkan betapa beratnya hidupku pada saat itu jika aku melakukanya. Tapi tidak bagi seorang anak yang bernama Wildan yang masih duduk di kelas 6 SD di tempatku mengabdi di desa tanjung aru. Dia memiliki sebuah kebiasaan yang mungkin tidak semua orang sering melakukanya. Tapi mungkin saja ada orang-orang yang melakukan hal serupa di sekitar kita namun tak pernah tampak oleh kita. Aku akan berbagi sebuah kisah sederhana tentang sebuah kegiatan yang sederhana pula namun orang yang terlibat dalam kegiatan ini tak pernah bermimpi sederhana. Ia selalu bermimpi yang paling tinggi yang ingin dicapai orang lain juga. Setiap subuh dia sudah bangun untuk membantu ibunya berjualan wadai keliling desa ini seorang diri dengan sebuah panci besar diletakkan di atas kepalanya. Tanpa sendal dan sudah menggunakan baju sekolah merah putih dia keliling desa ini. Teriakan khasnya ketika berjualan selalu terdengar setiap subuh ketika aku masih setengah sadar dalm tidurku. Dia baru selesai berjualan pada pukul setengah 8 pagi ketika sekolah sudah masuk. Sering dia terlambat masuk sekolah karena kewajibannya ini. Akupun tak segan untuk selalu menunda kelas mulai ketika aku tau dia masih belum masuk. Aku tak tega memulai kelas ini tanpa dia, karena dia sangat rajin belajar dan juga cerdas. Aku tak ingin dia ketinggalan pelajaran. Setiap di kelas dia selalu mengacungkan tangan untuk menjawab semua pertanyaanku yang kadang karena terlalu semangatnya sampai tidak memikirkan jawaban itu lagi sehingga salah dalam menjawabnya. Di semua mata pelajaran semangatnya sungguh luar biasa terutama matematika. Ketika pulang sekolah dia tak langsung bermain seperti teman-teman sebayanya yang mungkin sudah bermain atau bahkan tidur siang. Dia masih harus tetap berjualan di siang hari yang sangat panas di sebuah desa pinggir pantai ini. Berkeliling lagi sejauh 1 km2 di desa ini untuk membantu ibunya berjualan. Setiap aku mengadakan les pada sore hari sekitar jam 3 pasti dia tidak bisa datang karena masih berjualan keliling dan belum selesai. Baginya aku mengadakan les tersendiri setiap malam sekitar pukul 8 hingga 10 malam hanya untuk anak-anak kelasku yang kebetulan pada siang hari harus berjualan, mencari kepiting di tambak, menjaga warungnya, mencari udang atau membantu mengupasi kulit udang dan kegiatan ekonomi lainnya untuk membantu orang tua mereka. Aku tak bisa menyalahkan mereka karena inilah kebiasan mereka dan dengan ini pula mereka bisa mendapatkan uang jajan untuk ke sekolah. Wildan memang anak yang sangat cerdas namun masih harus sedikit diasah lagi kemampuanya agar dia bisa menjadi lebih dari yang sekarang. Walaupun dengan kegiatanya yang sangat banyak itu namun prestasinya di kelas tak rendah. Ketika aku mengajar semester lalu dia mendapatkan ranking 3 di kelasku yang jumlahnya 27 anak. Prestasi yang luar biasa bagi seorang anak yang ternyata sebelumnya tidak pernah mendapatkan rangking. Kebiasaan di sekolahku ketika pembagian rapor tidak pernah memanggil orang tua untuk diberikan langsung tapi rapor hanya dberikan kepada masing anak dan kemudian mereka pulang. Sungguh perbedaan yang sangat jauh ketika dulu saat masa aku masih anak-anak, dimana aku sangat deg-degan ketika rapor ku akan diambil di sekolah karena aku takut nilaiku jelek dan kemudian dimarahin. Anak-anak disini tidak pernah merasakan itu, mereka hanya datang ke sekolah untuk mengambil rapornya sendiri kemudian pulang ke rumah. Pada saat pembagian rapor semester lalu wildan kebetulan sedang sunat pada saat hari itu sehingga dia tidak bisa mengambil rapor di sekolah. Kemudian aku berinisiatif untuk mengantarkan langsung ke rumahnya agar aku juga bisa bersilaturahmi kepada orangtuanya. Aku ke rumahnya dengan diantar oleh anak-anak muridku yang perempuan karena pada saat itu aku juga harus mengantarkan rapor ke 3 tempat anak lainnya. Aku membutuhkan bantuan penunjuk jalan dari para bocah-bocah perempuan ini untuk ke semua tempat itu yang jaraknya ternyata sangat jauh jika ditempuh dengan jalan kaki. Ketika aku sampai dirumahny wildan aku disambut oleh ibunya yang kaget aku silaturahmi ke rumahnya. Bukan hal yang biasa seorang guru mampir ke rumah anak muridnya ketika pembagian rapor sehingga kemudian sang ibu pun sempat berpikir yang aneh-aneh seperti kemungkinan nilai anaknya yang sangat jelek. Tapi kemudian aku menjelaskan bahwa Wildan mendapatkan rangking 3 dan si ibu pun sangat bangga. Dia berkata sebelumnya anaknya tidak pernah mendapatkan rangking di kelas dan tidak pernah berani berbicara di depan kelas, namun sejak aku mengajar di sekolah itu tingkah si anak berubah menjadi lebih baik. Bukan hanya di sekolah namun ketika urusan agama seperti sholat dia mulai lebih rajin. Perubahan sikap yang positif telah berdampak baik bagi si ibu. Kini ia merasakan sebuah kebanggaan ketika membicarakan tentang anaknya di depan tetangga-tetangganya. Aku mungkin bukan pahlawan tapi aku hanya seorang manusia biasa yang berusaha untuk membantu semampuku untuk mengubah kebiasaan anak-anakku di sini. Mungkin bukan sebuah prestasi yang tinggi seperti juara nasional atau sebagainya namun perubahan kecil dari kebiasaan inilah yang membuatku bangga. Mungkin di sekitar kalian banyak anak dengan keterbatasan ini namun dibalik keterbatasan itu mereka tidak pernah mengeluh dan terus berusaha untuk berprestasi. Seandainya banyak anak-anak indonesia seperti wildan dapat kita lihat langsung dan kita bantu maka kemudian aku bisa yakin bahwa di masa depan nanti Indonesia akan memiliki pemimpin yang rendah hati namun dengan prestasi setinggi langit. Walaupun dia lelah berjuang untuk membantu orang tuanya namun dia tak pernah berhenti bermimpi untuk bisa menggapai prestasi yang tertinggi. Aku ingin kita semua bisa melihat hal-hal kecil ini sebagai suatu tanda bagi kita untuk terus bersyukur. Bersyukurlah karena sebagian dari kita mungkin tidak merasakan kesulitan yang dialami anak-anak lainnya seperti di desaku ini yang harus bekerja keras demi sesuap nasi namun juga harus menuntut pendidikan. Bersyukurlah ketika kita masih bisa menikmati suasana belajar yang nyaman atau rumah yang nyaman untuk sekedar beristirahat dari segala pekerjaan kita yang melelahkan. Dengan berada disini aku semakin bisa mensyukuri apa yang telah diberikan oleh Allah SWT dan mengurangi keluhanku. " Fight one more round. When your feet are so tired that you have to shuffle back to the center of the ring, fight one more round. When your arms are so tired that you can hardly lift your hands to come on guard, fight one more round. When your nose is bleeding and your eyes are black and you are so tired you wish your opponent would crack you one in the jaw and put you to sleep, fight one more round - remembering that the man who always fights one more round is never whipped." - James J. Corbett -

Cerita Lainnya

Lihat Semua