info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Kau Membuatku Terdiam

Dwi Gelegar 6 Februari 2011
Saat pertama datang ke SD 001 Tanjung Aru aku melihat sekolah yang sudah cukup baik fasilitasnya dengan jumlah murid sekitar 360-an. Gedung sekolah masih ada yang belum jadi karena masih dalam tahap pengerjaan, kantin berada di luar sekolah dengan bentuk seperti gazebo dengan atap dari daun kelapa yang disusun rapi dan diikat, kamar mandi ada 3 dimana 2 dari kamar mandi itu terkunci dengan gembok sangat rapat dan hanya satu kamar mandi yang terbuka untuk anak-anak namun tak ada air bersih yang mengalir dengan baik ditambah dengan kotornya lantai dan diding kamar mandi. Ruang kelas total ada 6 ruang namun ruang kelas ada yang sudah bagus karena telah ditembok batu sedangkan 3 kelas lainnya masih dari kayu dihiasi warna pink. Di dalamnya dihiasi warna krem yang lengkap dengan coretan anak-anak kelas 6 sebelumnya sehingga terlihat sangat kotor. Di ruang kelas yang lama atap ruangan tepatnya di tengah akan segera runtuh karena sudah rusak. Kursi guru pun ternyata hampir patah, mungkin jika saya duduk harus terus memperhatikan kaki kursi yang bisa saja tiba-tiba patah kapan pun. SD 001 Tanjung Aru memang memiliki lapangan yang cukup luas untuk anak-anak bermain bola setelah istirahat atau ketika pulang sekolah namun lapangan itu tidak pernah digunakan untuk upacara bendera. Bukan karena muridnya tidak ada namun lebih karena jarangnya guru-guru berada di sekolah sehingga kalaupun upacara tidak bisa dilaksanakan dengan baik karena tidak ada pembimbing. Selain besar dan luas, lapangan ini juga turut dihiasi sampah-sampah plastik dari makanan atau minuman siswa yang langsung mereka buang di sembarang tempat. Layaknya tempat pembuangan sampah raksasa, lapangan upacara SD 001 ini sampahnya tersebar di semua tempat tanpa terkecuali. Entah siapa yang akan membersihkan nanti atau memungutnya. Bukan hanya di sekolah tapi di sekitar sekolah terdapat beberapa lokasi lainnya yang turut dijadikan tempat sampah bersama para ibu-ibu dan bapak-bapak yang menjajakan makanan dan minuman di kantin sekitar sekolah. Jika melihat kembali ke dalam sekolah dan menuju beberapa ruangan di ujung dekat dengan bangunan yang dalam proses pembangunan, terdapat ruangan guru dan UKS. Namun sayangnya ruangan itu salah satunya tidak digunakan sebagaimana mestinya karena di ruang UKS itu digunakan sebagai gudang bagi para kuli bangunan. Tempatnya kotor dan berdebu tidak menunjukan bekas ruang UKS pula karena tidak ada kotak P3K atau tempat tidur kecil bagi anak-anak yang sakit. Ketika masuk ke ruangan guru aku mendapati ruangan yang cukup nyaman dengan 6 meja guru menghadap 2 meja guru di samping pintu. Sebuah ruang kecil tersisa untuk ruang kepala sekolah yang ketika kita keluar dari pintunya ada ruang tamu sederhana untuk sekitar 4 orang dengan jendela di atasnya yang sering digunakan oleh anak-anak untuk melihat ke dalam ruangan guru jika ada sesuatu yang sedang ramai seperti misalnya ada salah satu temannya pingsan karena kena bola hasil tendangan berbakat anak-anak sd tanjung harapan yang salah sasaran ke muka teman wanitanya. Anak itu kemudian pingsan dan dibawa ke ruangan ini karena tidak ada UKS. Beberapa hari di sekolah itu aku melihat kondisi yang tidak berubah hingga sekitar 2 minggu aku mengajar di kelas 6B. Tak ada perubahan kondisi kelas ataupun hiasan tambahan dari hasil karya kami ataupun kelas-kelas lainnya. Bukan karena aku tidak ingin memperindah ruangan kelas mereka namun karena aku juga harus memprioritaskan mengajar mata pelajaran yang masih jauh ketinggalan. Mungkin saat ini beberapa sekolah dasar di Jakarta mendekati UAS dengan melakukan latihan soal-soal yang terdapat dalam buku bank soal namun pemandangan berbeda dapat ditemui di sekolah ini dimana guru-guru masih sibuk mengajari anak-anak ini pelajaran tentang perkalian dan pembagian. Bagi anak-anak kelas 6 seharusnya mereka sudah bisa menghafal dan menerapkan ini untuk menyelesaikan soal namun berbeda dengan anak-anak kelas 6 SD disini. Mungkin mereka kelas 6 namun kemampuan mereka masih seperti anak-anak kelas 4 SD. Sebenarnya bukan karena mereka bodoh ataupun gurunya yang kurang cerdas dalam menyampaikan namun kondisi keluarga, lingkungan, dan keterbatasan fasilitaslah yang menjadi penghambat mereka berprestasi. Inilah kondisi yang coba kami ubah agar sekolah ini juga dapat menelurkan bakat-bakat luar biasa yang bisa mengharumkan nama bangsa suatu hari nanti. Salah satu keterbatasan disini adalah tidak adanya buku paket untuk mengajar bagi anak-anak disini. Beberapa mata pelajaran penting seperti Matematika, IPA, Bahasa Inggris, dan Bahasa Indonesia tidak memiliki buku paket yang dapat dibaca oleh masing-masing anak. Hanya guru yang memiliki buku ajar ini. Namun ada beberapa guru juga tidak memiliki sama sekali buku cetak untuk mata pelajaran tertentu. Inilah mungkin yang menjadi penghambat mengapa anak-anak disini sulit untuk mengejar prestasi mereka. Terdapat beberapa alasan mengapa sekolah belum bisa menyediakan buku-buku ini. Alasan yang pertama adalah karena tidak ada dana untuk memfasilitasi kebutuhan anak-anak ini. Dana yang ada difokuskan pada pembangunan gedung sekolah dan kebutuhan lainnya yang kami sendiri tidak tahu. Isu dana adalah isu yang sangat sensitif disini sehingga kami tidak pernah ingin terlalu dalam membahasnya. Kondisi pendidikan anak-anak disni pun cukup memprihatinkan dalam banyak hal. Kebetulan aku mendapatkan kepercayaan untuk mengajar kelas 6 dari awal aku datang hingga saat ini. Aku telah melihat banyak hal yang sangat miris jika kita bandingkan dengan pendidikan di kota-kota besar saat ini. Sungguh berbeda kondisi mereka dan apa yang mereka alami. Hal pertama yang membuat aku hingga saat ini masih belum bisa menyelesaikannya dengan cepat adalah masalah kemampuan anak-anak dalam berhitung terutama perkalian dan pembagian. Materi yang sangat dasar sekali bagi anak-anak SD untuk dipahami namun disini menjadi pelajaran yang sangat menakutkan dan sulit ditaklukan. Hingga hari ini hampir 90 % mereka tidak bisa perkalian dan pembagian. Pada awal aku masuk dan mengajar matematika aku langsung menjelaskan materi seolah-olah mereka sudah paham tentang hal ini. Aku sudah berencana untuk menggunakan strategi belajar kreatif demi membuat anak-anak ini mencintai matematika. Namun hal yang tak kuduga pun terjadi ketika ku tanya pada mereka tentang operasi perkalian. Mereka hanya diam sekitar 5 menit dan kemudian hanya 1 orang yang menjawab dengan nyaring dan benar. Padahal pada saat itu aku bertanya tentang perkalian 3 x 5 adalah berapa? Tak ada yang berani menjawab dan ternyata di kelas itu yang hafal perkalian dan pembagian hanya 1 orang. Dari total 27 orang hanya 1 yang bisa ? Akupun sempat terdiam dan membisu sambil bertanya mengapa mereka tidak bisa menjawab soal yang mudah ini. Mereka pun hanya diam dan sedikit ketakutan  seperti seolah-olah aku ingin memukulnya. Salah seorang anak kemudian menjawab bahwa mereka belum hafal perkalian dan pembagian dan mereka terlihat ketakutan karena biasanya jika mereka tidak bisa maka guru tersebut akan memukulnya dengan kayu atau menghukumnya dengan menyuruh mereka berputar-putar di depan dengan satu jari memegang telinga dan jari lainya menunjuk ke lantai. Hukuman lainnya bisa berupa tendangan ke kaki mereka, menggigit rambut anak itu, memukul, diberi cabe di mulutnya jika ketahuan merokok, dan banyak lagi hukuman lainnya. Inilah yang membuat mereka sangat ketakutan ketika aku hanya bertanya kepada mereka namun mereka tidak bisa menjawabnya.Mungkin mereka trauma terhadap perlakuan guru-guru ini. Jadi anak-anak disini masih sangat banyak ketinggalan pelajaran padahal mereka sudah kelas 6 dan bersiap-siap untuk lulus ke SMP. Ada pula beberapa anak yang masih belum bisa membaca hingga saat ini walaupun mereka sudah ada di kelas 5. Namun umur mereka sudah menginjak angka 15 tahun. Menurut salah seorang guru disini hal ini menjadi buah simalakama. Di satu sisi anak ini sudah tidak naik kelas tahun lalu, kemudian setelah tidak naik diberikan metode yang lebih baik lagi untuk mengajarinya dan ternyata masih belum bisa membaca. Melihat umurnya jika tahun depan dia tidak dinaikan kelas lagi maka kondisi psikologis dia akan semakin turun. Hingga kini aku masih berusaha mendekati anak tersebut untuk mencari cara agar dia dapat membaca. Anak-anak ini banyak yang masih tertinggal dalam pelajaran salah satu faktornya adalah kondisi lingkungan yang menuntut mereka untuk mengurangi jam belajarnya. Ini dilakukan demi kelangsungan hidup mereka juga. Alasan pertama yang aku analisa hingga saat ini adalah karena kondisi pekerjaan orang tua. Para orang tua disini pekerjaanya didominasi oleh nelayan dan petambak udang atau kepiting. Biasanya orang tua mereka pergi untuk mencari ikan pada pagi hari dan baru bisa pulang pada pukul 9 malam. Kondisi lelah tidak memungkinkan orang tua untuk membantu membimbing anak-anak mereka belajar di rumah. Begitu juga anak-anak mereka dimana ada satu masa mereka harus menemani orang tua mereka untuk mencari ikan hingga tengah malam. Hal ini dilakukan ketika musim panen ikan dimulai dari sore hari di waktu bermain mereka hingga tengah malam. Keesokan paginya biasanya anak-anak ini jarang masuk sekolah. Mereka memang harus membantu orang tua mereka demi menyambung hidup mereka. Alasan kedua adalah anak-anak ini juga dilibatkan sebagai pekerja sendiri di waktu seharusnya mereka bisa beristirahat dan belajar. Beberapa anak-anak di kelasku setelah pulang sekolah selalu pergi berjualan wadai (sebutan untuk kue basah) keliling kampung mereka di tengah teriknya matahari hingga sore hari pukul 4 atau 5. Kegiatan mereka ini telah menyita waktu mereka seharian dimana seharusnya mereka bisa ikut les bersamaku di sekolah atau setidaknya istirahat. Sebagian anak-anak lagi setiap siang menjelang sore harus pergi ke tambak kepiting atau udang orang tua mereka untuk mengambil hasil tambak mereka yang kemudian di jual kepada para pedagang laiinya. Biasanya mereka melewati hutan-hutan kecil dan jalan yang panjang sekali hanya untuk melaksanakan perintah orang tua mereka. Kelelahan pasti selalu mereka alami tapi itu semua tak menghalangi keinginan mereka untuk menjalankan kewajiban mereka sebagai anak yang berusaha membantu orang tua mereka. Selain berjualan kue keliling dan mencari kepiting dan udang, anak-anak ini juga ada yang menjadi kuli untuk mengangkat hasil tangkapan ikan para nelayan. Ada pula yang harus mengantar es batu yang berukuran besar dengan menggunakan gerobak sedang menuju ke pasar ikan atas pesanan para nelayan ini. Aku sering melihat  mereka mendorong gerobak yang terlihat sangat berat sekali tapi mereka tetap mampu mendorongnya. Sungguh semangat mereka untuk bekerja sangat tinggi. Seandainya semangat kerja mereka yang sangat tinggi dapat diterapkan pula ketika mereka berada di sekolah pasti mereka mampu mendapatkan nilai yang tinggi. Kemampuan mereka mungkin belum sebaik yang aku harapkan tapi aku akan terus berusaha membagi waktuku bersama mereka sebanyak-banyaknya agar mereka bisa bertanya kapanpun mereka tidak tahu tentang sesuatu. Aku ingin menjadi pengganti orang tua mereka sebagai tempat mereka bertanya ketika mereka bingung harus melangkah. Waktuku istirahatku hanya sedikit karena aku lebih banyak menghabiskan waktu bersama anak-anak yang cerdas ini. Siang hingga sorre bagi beberapa kelompok anak-anak yang memiliki waktu pada saat itu dan malam hari sekitar habis isya hingga malam bersama anak-anak yang seharianya di siang hingga sore hari melakukan kewajibanya membantu orang tuanya. Ku hanya ingin mereka cerdas dan mampu memimpin diri mereka sendiri suatu saat nanti ketika di masyarakat.

Cerita Lainnya

Lihat Semua