info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Hujan Penuh Berkah

Dwi Gelegar 23 Januari 2011
Hujan penuh berkah Malam ini adalah malam dimana aku mendapatkan sebuah pengalaman luar biasa yang tak bisa aku temui bahkan mungkin aku lakukan jika aku masih di jakarta. Mengubah kebiasaan suatu masyarakat memang tidak mudah dan itu ak rasakan saat aku pertama kali berada di tanjung aru. Di daerah ini terdapat sebuah bangunan kecil berukuran sekitar 7x3 meter berwarna hijau putih dengan konsep rumah panggung sederhana berdiri di belakang mesjid. Bangunan ini adalah tempat anak-anak menimba ilmu agama lebih dalam lagi bersama seorang guru bernama bapak Gafar. Bangunan ini merupakan hasil kerja dari Program PNPM di tanjung aru. Bangunan ini adalah sebuah TK-TPA, sebuah tempat awal bagiku dan temanku untuk mulai melakukan perubahan kecil kepada anak-anak. Beberapa hari yang lalu aku mengajukan sebuah pertanyaan kepada anak-anak di kelas 6B tempatku mengajar, tepatnya sebelum pelajaran agama. “Anak-anak, siapa yang tahu bacaan sholat?”, tanyaku pada anak-anak. Mereka terdiam sejenak sambil melirik kanan-kiri mereka dan kemudian menjawab bersama-sama bahwa mereka tidak tahu bacaan sholat. Kemudian aku lanjutkan pertanyaanku, “Jadi kalian kalau sholat baca apa?”. Mereka kemudian menjawab lagi dengan sedikit pelan suaranya, “Ya ikutin imam aja pak, kami tidak tahu bacaanya sama sekali. Bisa seh tapi cuma doa setelah wudhu dan niat sholat”. Aku sempat terdiam dan berpikir sejenak, untuk apa aku melanjutkan materi agama kelas 6 ini yang akan membahas tentang kisah Abu Lahab dan Abu Jahal tapi ternyata untuk kegiatan sehari-hari saja mereka masih tidak mengerti. Aku kemudian memutuskan untuk mulai mengajak mereka mengaji lagi di mushola dan mesjid dekat daerah sini agar kelak mereka bisa mengerti tentang agama. Namun dengan sedikit menggunakan strategi memaksa aku kemudian mengatakan kepada mereka bahwa untuk ujian agama nilai soal yang teori hanya berbobot 20 % sedangkan yang 80 % diutamakan pada praktek agama. Walaupun sedikit memaksa aku berharap mereka mengerti tentang apa pentingnya agama bagi hidup mereka kelak. Mungkin mereka tidak pernah terpikir untuk rajin sholat atau mengaji setiap hari karena sebenarnya kondisi lingkungan mereka tidak mendukung. Orang tua mereka tidak peduli apakah mereka bisa sholat atau mengaji bahkan orang tua mereka pun sebagian tidak pernah mengajak anak-anaknya ke mesjid untuk sholat bareng karena mereka baru pulang dari mencari ikan di laut sekitar pukul 8 malam. Jadi ini sulit pula jika aku harus menyalahkan lingkungan mereka atau orang tua mereka yang kemudian menghambat mereka untuk mengerti tentang agama. Aku dan temanku membagi tugas secara bersama, dimana dia mengajar mengaji di mesjid dekat hulu dan aku mengajar mengaji di musholla dekat hilir. Hal ini kami lakukan karena rumah anak-anak tidak semuanya dekat satu sama lain. Untuk mengakomodasi ini kamipun bekerja sama dengan warga pengurus mesjid sekitar demi  membantuk kami mengajar. Pada awalnya yang datang untuk mengaji hanyalah sekitar 5 orang. Kami tetap bersemangat dan terus mengingatkan anak-anak untuk datang ke mesjid dan mushola saat selesai magrib hingga isya untuk mengaji bersama dan belajar tentang agama. Selain mengaji di mushola dan mesjid kami mengajak mereka untuk belajar bacaan sholat dan doa sehari-hari di TK-TPA setiap sore jam setengah 3. Hari itu mungkin terasa sangat berbeda bagiku. Sebelumnya aku sempat ditegur oleh salah seorang anak kelas 5 SD yang berkata,”Pak, kenapa kemarin pas ngaji nda dateng seh di mushola, kan anak-anak yang datang banyak?”, kemudian aku menjawabnya sambil meminta maaf dan mengatakan bahwa aku tidak bisa datang karena sedang mendapatkan undangan untuk acara doa bersama karena ada yang baru saja meninggal di sekitar rumah kami. Memang ketika aku dirumah orang yang sedang berduka itu, aku mendengar dari kejauhan suara-suara khas yang biasa aku dengar ketika sedang bersama anak-anak itu di mushola. Suara merdu nan indah yang keluar dari speaker mushola menunjukan bahwa anak-anak disini memiliki bakat yang terpendam dalam hal membaca Al-Quran. Aku berpikir bahwa mereka tetap mengaji walau tanpa kehadiranku. Aku pun semakin penasaran untuk segera menjelang magrib esok hari karena aku ingin bertemu anak-anak pintar ini. Di siang harinya aku sempat mengajak temanku yang mengajar di mesjid untuk membawa anak-anak disana untuk bergabung bersama di mushola ketika mengaji nanti. Saat itupun datang dan aku segera mengambil air wudhu di rumah ibu asuhku karena adzan magrib telah berkumandang dari mushola tempatku menginisiasi pengajian anak-anak. Ketika aku datang ke mushola itu aku sudah melihat pemandangan yang berbeda karena mushola sangat penuh oleh anak-anak. Aku sempat bingung, apakah karena ada acara atau memang mereka hanya ingin sholat. Namun aku melihat tumpukan Al-Quran yang diletakan bersandar pada salah satu pilar mushola ada banyak tidak seperti biasa. Al-Quran itu semua masih bagus dan pertanda ini bukan Al-Quran dari mushola karena Al-Quran di tempat ini sebagian sudah rusak dan sobek hingga kadang ada halaman yang tidak ada. Setelah aku selesai sholat magrib aku melaksanakan sholat sunah terlebih dahulu sebelum kemudian bersiap-siap mengaji bersama. Ketika aku selesai sholat sunnah kemudian aku mengambil Al-Quran kecil yang aku bawa dari rumah, tiba-tiba aku tersentak karena di depanku telah berkumpul anak-anak yang sangat banyak. Aku mencoba menghitung mereka satu per satu walau aku harus terus mengulang hitungan itu karena mereka senang sekali lari-lari dari satu tempat ke tempat lain sehingga hitunganku selalu tidak selesai. Mereka semua ada 40-an orang dan terdiri dari anak-anak kelas 1 sampai 6 bahkan ada yang SMP. Subahanallah aku kagum dan bersyukur ketika melihat mereka semua. Mungkin aku hanya berusaha untuk memberikan mereka semangat untuk mengaji lagi dengan selalu menemani mereka dan mendengarkan mereka bercerita namun mereka memberikan hadiah luar biasa yang tidak pernah aku dapatkan selama disini. “Duduk anak Sholeh !” teriak pak gafar sang guru  ngaji yang turut membantu aku mengubah kebiasaan anak-anak ini. “ Siap, A, Ba, Ta, Sa (sambil duduk bersila tangan kanan diangkat setengah siku, tangan kiri kemudian dan tangan kanan menutup ke depan diikuti tangan kiri yang akhirnya tangan mereka semua telah rapi ada di depan dada mereka)” jawab anak-anak sambil menggerakan tangannya. Mereka semua memulainya dengan membaca doa belajar yang kemudian disambut dengan surat Al-Fatihah secara bersama-sama. Tak lama setelah itu Pak Gafar berbicara dan meminta anak-anak untuk membuka surat yassin di Al-Quran masing-masing. Karena ini malam jumat jadi kita semua membaca surat yasin  namun ini hanya dilakukan oleh Pak Gafar saja sedangkan anak-anak yang lain mendengarkan dan membacanya dalam hati saja. Suara itupun berkumandang melalui speaker mushola dan didengarkan oleh semua masyarakat di hilir. Setelah selesai kemudian anak-anak diminta membuka surat pertama di Al-Quran yaitu Al-Baqarah dan membacanya bersama-sama hingga ayat ke 7. Semua anak-anak mengikuti membaca surat ini sampai selesai. Suasana hatiku sangat teduh ketika anak-anak ini membaca dengan lantang dan semangat. Mereka semua hanyalah anak-anak yang ingin dibimbing untuk menjadi lebih baik namun tidak semua yang ada disini dapat mendukung keinginan sederhana itu. Di pertengahan mengaji temanku juga turut membawa anak-anak yang mengaji di mesjid untuk bergabung bersama. Ketika selesai mengaji kami langsung memulai persiapan untuk sholat isya dan Adzan dilakukan oleh salah seorang anak kelas 6 bernama Rizal. Dia merupakan anak yang sering sekali datang ketika mengaji dari pertama hingga saat ini. Setelah sholat Isya selesai tiba-tiba terdengar suara gemuruh deras dari luar ruangan. Ternyata itu adalah suara hujan gerimis yang semakin deras yang kemudian membuat sebagian anak-anak tidak bisa pulang. Mereka sempat panik dan takut karena tidak bisa pulang. Aku dan temanku sempat bingung karena tidak tahu harus berbuat apa. Kami mencoba mengajak mereka ngobrol sambil bercanda demi untuk mengusir ketakutan mereka karena belum bisa pulang. Namun hingga pukul 8.15 hujan masih belum berhenti dan terus deras. Akhirnya aku memutuskan untuk meminjam salah satu motor anak yang masih terparkir di depan mushola dan langsung menggunakan jas hujan yang ada di jok motornya kemudian pergi ke arah rumah orang tua asuhku. Sesampainya disana aku mengambil 2 jas hujan hasil pembagian IM dan sebuah payung kecil. Aku berpikir untuk mengantar mereka satu-satu hingga ke rumahnya dengan menggunakan motor dan jas hujan. Sesampainya disana sebagian bajuku sudah basah kuyup karena jas hujannya tidak menahan air dari samping. Apalagi ditambah hujan angin yang deras arahnya menghantam wajahku sehingga akupun sulit melihat jalan ke arah mushola sambil menahan sakit di wajah karena hujannya sangat besar. Akupun meminta anak-anak itu untuk menggunakan payung untuk memakai jas hujan namun ketika aku membuka payung ternyata payung itu rusak dan tidak bisa membuka sempurna karena besi-besi kecil penahan payung sudah patah. Akhirnya aku terpaksa melepas jas hujanku untuk kuberikan pada anak-anak. Temanku mengantar mereka dan bergantian denganku hingga sampai ke rumah mereka masing-masing. Tapi untuk perjalanan terakhir aku meminta tidak usah dijemput lagi di mushola karena aku akan berjalan kaki dengan jas hujan menuju ke rumah. Aku ingin menikmati hujan ini. Hujan yang penuh dengan kejutan  dan berkah. Bagi teman-teman mungkin mandi hujan dapat membuat kita sakit tapi saat ini bagiku berhujan-hujanan bersama mereka adalah momen terindah dalam hidupku dimana aku diingatkan untuk terus bersyukur dengan apa yang ada. Aku berharap anak-anak di seluruh Indonesia dapat menggapai impian mereka walau dengan segala keterbatasan yang mereka miliki. Terima Kasih Ya Allah untuk semua apa yang Kau berikan kepadaku dan semua teman-temanku. By Gilang Tanjung Aru, 3 November 2010, 23:40 WITA

Cerita Lainnya

Lihat Semua