Sebuah Perayaan untuk Aris

DithaCahya Kristiena 10 September 2015
Jika sebagian banyak orang mengartikan anak luar biasa itu adalah anak yang menjuarai berbagai lomba seperti olimpiade, tapi buatku Aris adalah salah satu anak luar biasa. Dia pernah menjuarai olimpiade? Sayangnya belum. Bisa membaca lancar satu paragraf saja baru terjadi 12 Maret 2015.Saya hafal sekali tanggal itu.

Sebulan pertama aku mengajar di sekolahnya, ia masih belum bisa membaca. Sudah mengeja, terbata-bata, masih banyak yang salah pula. Beberapa kali kuajak ia untuk belajar tambahan di rumah, bahkan sempat kutawarkan belajar di rumahnya. Tapi dia tetapmeneng wae. Sampai akhirnya di bulan kedua ia menghampiriku.

“Bu, Ibu suka mancing, ya?”, tanyanya. “Iya, Ris”, jawabku singkat. “Mancing yuk Bu!”, ajaknya malu-malu.

Kutatap ia dan tersenyum, dengan mantap kurespons ajakannya, “Siap!”

Unfortunately, seminggu pertama aku belum pula dapat mewujudkan ajakannya. Ada saja hal yang menghalangiku. Les marathon atau keperluan ke luar desa. Beruntung, Aris tidak seperti anak-anak lain yang selalu merengek menagih janjiku.

Minggu ketiga bulan Februari tanpa diduga Aris datang ke rumah membawa sebuah pancing. Aku kira ia bakal menagih paksa janjiku. Oh God, aku masih belum luang, dalam batinku berkata.

Ternyata aku telah su’udhon, Aris datang memang membawa pancing, tapi tak sepatah kata pun ia mengajakku memancing, malah kedatangannya untuk belajar membaca dan setelah belajar ia pulang dan pergi memancing. Ia bahkan tidak malu harus belajar bersama dengan adik kelasnya yang masih kelas 3 dan 2.

Aku bahkan mungkin telah melakukan pendholiman kepada muridku yang lain, karena setiap kali Aris datang, aku selalu mendahulukan ia. Entahlah, aku terlalu berambisi agar Aris bisa membaca soal ujian sendiri. Ambisi sederhana. Beruntung (lagi), anak-anak lain mengerti dan tidak protes, hehe..

Jujur, rasanya sudah gemas aku melihat Aris membaca. Kadang pula aku sedih, remaja usia 14 tahun ini, yang sudah beberapa kali tinggal kelas, masih saja belum bisa baca, padahal mungkin di belahan dunia lain, remaja seusia dia sudah mulai berbalas SMS atau bahkan BBM dengan teman perempuannya. Disini kesabaranku diuji. Aku harus tetap stay cool, haha..

Alhamdulillaah.. usahanya berbuah manis. Rasa malu yang mungkin ia tahan, waktu yang ia sisihkan untuk belajar membaca, terbalas. 12 Maret 2015 dengan lancar tanpa eja (maksudnya eja dalam hati) dan tanpa salah Aris berhasil membaca 2 paragraf bacaan! Yeay! Rasanya ingin melonjak, tapi gengsiii.. Aku hanya menunjukkan senyum bangga kepada Aris dengan mengacungkan jempolku. Ia pun tersipu malu.

“Sudah belajarnya?”, tanyaku pada anak-anak. “Sudah, Buuuu..”, serempak mereka menjawab. “Okay, Ibu sama Mas Aris mau mancing di sawah, siapa yang mau ikuuuut???” “Saya, Bu, saya, Buu..” antusias mereka menerima ajakanku.

“Ayo, Ris, kita mancing di sawah!” Aris tak menjawab, ia hanya bangkit dan segera memburu pancingannya yang sedari tadi bersandar di dinding depan rumah. Kulihat ia memerintahkan Wafa dan beberapa anak laki-laki untuk lari pulang terlebih dahulu mengambil pancingan yang banyak. Tak lama, mereka membawa banyak sekali pancingan, saringan, dan beberapa alat lain yang aku sendiri tak hafal namanya. Melihatnya, aku kembali masuk kamar, aku teringat roti tawarku yang sudah kadaluarsa.

“Ris, roti ini bisa jadi umpan ikan gak?”,tanyaku. “Wah, eman Bu roti dijadiin umpan, mending ta pangani”, jawab Aris. “Ya rotine wis kadaluarsa tho, Ris”, jawabku. Mendengar jawabanku Aris hanya tersenyum. Ia segera mengerahkan semua anak untuk segera berangkat,

“Ayo, cah, kita berangkat!”. Aku, Aris, dan segerombolan Sumil Rangers (sebutanku untuk anak-anak yang suka les di rumah) berjalan menuju sawah. Terlihat ada gurat senyum di pipi Aris yang gembul. Begitu pun dengan anak-anak lain. Ini adalah kali pertama aku mau diajak mereka memancing ke sawah. Setelah melewati turunan pertama, ada sebuah rawa-rawa sebelum tanjakan menuju sawah, Aris menghentikan langkahnya, “Bu, apa kita mancingnya disini saja ya, Bu?”, teriak Aris.

“Terseraaaahhh..”, balasku berteriak. Aku masih di belakang bersama sebagian anak-anak, sedangkan Aris sudah sampai di rawa-rawa. Beberapa anak melipir ke sisi rawa yang cukup sepi untuk menunggui kail disambar ikan, sedangkan Aris dan sebagian anak lain langsung turun ke rawa, menjemput langsung ikan dengan menggunakan saringan bambu. Melihat kecerian dan antusias mereka, aku pun tergiur untuk juga turun bersama mereka. Kulepaskan kaos kaki dan sendal gunung, kutitip handphone ke salah satu anak yang menunggui di pinggiran. Blus. Setengah badanku sudah terendam air. Anak-anak bersorak melihatku berjalan ke tengah rawa. Lama kami menyisir rawa, hanya 3 ekor ikan saja yang kami dapat, itu pun hanya seukuran jari kelingkingku. Akhirnya Aris mengajak kami kembali ke tujuan awal, sawah.

Tempat mancing di sawah pun ternyata berupa rawa-rawa yang ada di antara petak-petak sawah. Anak-anak menyebar, ada yang menggunakan pancingannya, ada pula yang menggunakan saringan. Kali ini aku memilih duduk bersantai di dekat alang-alang dan menunggui ikan memakan roti di ujung kail. Kulihat Aris sangat bersemangat menjadi komandan pasukan mancing siang ini. Sering kudengar anak-anak bersorak karena mereka berhasil mendapatkan ikan-ikan.

Hari sudah mulai sore. Kuajak mereka berkumpul. “Anak-anak ikannya sudah banyak?”, tanyaku. “Sudah buuu..”, beberapa anak mengacungkan ikan hasil tangkapannya. Aku hanya tersenyum, ikannya cukup banyak, hanya sayang semuanya seukuran jari kelingking. Haha..

“Mau diapain ikannya?”, tanyaku lagi. “Dibakar aja Bu, disanaaa!!!”, jawab Aris sambil menunjuk pinggiran sawah di bawah pepohonan.

Kami pun segera kesana. Untung tadi ada anakyang memintaku membawa korek api. Tanpa dikomando, anak-anak membagi tugasnya masing-masing. Sebagian mencari kayu bakar, sebagian lagi mencari daun pisang untuk membungkus ikan yang akan dibakar. Ikan-ikan itu sengaja kami bungkus sebelum dibakar, karena saking kecilnya ikan, hehe..

Sungguh luar biasa mereka, aku teringat saat aku dan teman-teman Calon Pengajar Muda lain saat survival, kami sulit sekali menyalakan api, tapi mereka tak perlu menunggu lama api sudah besar. Badan Aris yang tambun pun duduk bersila di depan perapian, ia segera memasukkan daun pisang yang berisi ikan-ikan cilik ke dalam api, sementara anak lain melihat dan duduk melingkar di perapian sembari menghangatkan badan.

Satu per satu kulihat mereka. Sesederhana itu mereka menikmati setiap hal yang ada di sekitarnya. Tiba-tiba aku dikagetkan dengan pertanyaan Aris, “Bu, kok Ibu mau nyebur ke sawah sih, Bu? Kenapa, Bu?”

“Kita kan lagi merayakan keberhasilan kamu, Ris..”, jawabku mantap.

Aris pun tertawa, “Keberhasilan aku baca, Bu?”, ia meyakinkan. “Merayakannya dengan begini, Bu?”, tanyanya lagi.

“Iya, dong.. Perayaan itu kan gak perlu mewah, yang penting kita bahagia dan senang melakukannya..”, jawabku lagi.

“Hahahaha.. walaupun ikannya Cuma nyempil di gigi ya, Bu?” Kami pun tertawa mendengar jawaban Aris. Ikan-ikan yang kami pancing berjam-jam mungkin hanya akan habis beberapa menit saja, namun perayaan sederhana ini aku harap akan selamanya Aris kenang dan apa yang Aris dapat akan selamanya bermanfaat.

Ia bisa membaca. Yeay!

Tiyuh Margodadi, 12 Juni 2015

Cerita Lainnya

Lihat Semua