Bersuara tanpa Suara

DithaCahya Kristiena 23 Maret 2015

Ina, Pengajar Muda (PM) VII yang akan purna tugas mengajak saya ke sekolah. Saat itu anak-anak masih libur semester, namun anak-anak dimintanya untuk masuk sehari itu. Sebelumnya ia telah mengatakan kepada anak-anak bahwa ia akan pulang dan akan ada guru baru yang akan menggantikannya.

Hari itu, matahari di Bumi Ragem Sai Mangi Wawai terlihat malu-malu. Udara Desa Margodadi pun hangat. Di lapangan hijau dengan rumput yang tumbuh liar, sudah banyak anak-anak berlarian. Bermain-main tanpa beban. Segera mereka mengerubungi kami dan menyalami.

Ina kemudian membuka pintu kelas dan meminta anak-anak seluruhnya masuk. Jumlah siswa di SD itu hanya 66 siswa. Dan saat itu hanya sekitar 20an anak yang hadir. Bangku dan kursi tertumpuk tidak karuan. Banyak sampah berserakan di atas lantai semen yang mulai rusak. Ruangan itu pengap, banyak sekali debu. Namun tidak begitu dengan anak-anak. Banyak sekali terlihat senyum semangat dari wajah-wajah lugu mereka, walaupun masih malu-malu.

Pertemuan ini Ina rancang sebagai ajang perpisahan untuknya dan perkenalan untukku. Kusapa mereka, kukenalkan diri pada mereka. Kubebaskan mereka bertanya apapun padaku.

“Bu, katanya Ibu tidak bisa mengendarai motor ya, Bu?”

“Bu, Ibu tidak bisa bicara bahasa Jawa ya, Bu?”

“Bu, nanti ngulang kelas berapa, Bu?”

“Bu, nanti sama Ibu kita pramukaan ya, Bu?”

Dan banyak lagi pertanyaan mereka dan kuladeni setiap pertanyaannya.

Kukenalkan mereka pada lagu dan tepuk-tepuk yang kudapatkan saat pelatihan. Setelah bingung mau apa lagi, kuminta mereka untuk memperkenalkan diri satu per satu. Mumpung hanya 20an orang, pikirku.

“Kalian kan sudah tahu Ibu, nah sekarang giliran kalian yang kenalin diri ke Ibu.. Siapa yang mau maju ke depan dan perkenalan sama Ibu?”

Senyap. Beberapa anak hanya tertunduk dan beberapa lagi saling berpandangan. Kuarahkan pandanganku ke setiap mata mereka. Sampai akhirnya mataku terhenti pada seorang gadis yang mengangkat tangannya malu-malu. Segera kuhampiri ia. Kurangkul dan kuajak ia ke tengah.

Dengan membungkukkan badan, kukatakan kepadanya, “Sebutkan nama, kelas berapa, dan nanti cita-citanya mau jadi apa..”

Ia tersenyum dan mengangguk. Bibirnya bergerak, namun aku tak bisa mendengar jelas apa yang dikatakannya. Kembali kutanya, “Namanya siapa?”. Sama. Gerakan bibirnya tak mengucapkan suara dengan jelas. Hanya “aaak..”. Kutatap wajahnya, ia hanya tersenyum. Kutarik napas, kutolehkan muka ke arah teman-temannya. Secara bersahutan anak-anak memberitahuku bahwa gadis di depanku adalah seorang tuna rungu.

Segera kuambil spidol di tas. Kuberikan kepadanya.

“Tuliskan namamu di papan tulis yaa..”

Ia mengangguk. Ada deretan huruf tertulis di papan tulis. N O V A. Nova namanya. Kembali kutatap lekat matanya. Ia kembali tersenyum padaku. Matanya, senyumnya, dan apa yang dia tunjukkan kepadaku hari itu, semua berbicara. Menyuarakan semangatnya. Menyuarakan kemauannya. Ia bersuara walaupun tanpa suara.


Cerita Lainnya

Lihat Semua