Asam tak Semanis Rambutan

DithaCahya Kristiena 23 Maret 2015

Tiga bulan penugasan ini membuat saya puas dengan buah-buahan segar. Buah yang langsung dipetik dari tangkainya dan dipersembahkan langsung dengan senyum oleh anak-anak saya. Mulai dari mangga, rambutan, kecapi, sarikaya, markisa, sampai buah asam. Buah-buahan yang sebelumnya belum pernah saya makan akhirnya bisa saya cicipi.

“Bu, nih rambutan yang merahnya buat Ibu”, Wendi menyodorkan setumpuk rambutan yang masih ada tangkai dan daunnya.

“Makasih ya, Wen.. Sini, coba hitung rambutannya ada berapa?”

“Ya banyaklah, Bu..” jawabnya.

“Coba hitungin, Ibu pengen tahu rambutannya ada berapa ya?”

Ia kemudian menghitung satu per satu rambutan yang ia berikan untuk saya.

“Ada 12, Bu”

Saya kemudian membagi rambutan itu menjadi 3 kelompok dengan masing-masing jumlah yang sama.

“Wen, ini artinya apa?”

Opo tho, Bu? Artinya apa? Itu Ibu kelompokin rambutannya jadi 3, mau Ibu bagi, ya? Itu kan buat Ibu..”, tanyanya.

“Nggak, ini akan Ibu makan kok, tapi sebelum Ibu makan,kita belajar dulu, hehe..”

“Yah, Bu, Ibuu..”

Saya tersenyum melihatnya. Panggilan “Bu, Ibuu..” menjadi tanda khusus kalau mereka ‘agak’ keberatan, hehe..

“Jadi ini artinya apa, Wen?”

“Hmm, ini ada 3 kelompok rambutan, tiap kelompok adaaa.. 1,2,3,4 rambutan, ini juga sama, ini juga ding..”, ia mulai menganalisa permainan yang kuberikan melalui rambutan. “Ooo, iki papat’e ping telu’ ya, Bu?”, ia terlihat meminta pembenaran dariku.

“Jadi, kalo 4-nya ada 3 itu artinya apa, Wen?”

“3x4, ya Bu?”

“Berapa hasilnya?”

Ji, lo, lu, pat, mo, nem, pitu, wolu, songo, sepuluh, selas, rolas..” Ia kembali menghitung dengan jari-jarinya. “12, Bu!”

“Sip, belajar lagi ya, Wen..”

Dalam hati, harapanku saat itu ia bisa langsung menyebutkan hasilnya tanpa menghitung kembali, tapi setidaknya ia sudah mengerti konsepnya, hehe..

Berbeda dengan Bagas yang selalu saya ‘isengi’dengan menuliskan huruf-huruf penyusun nama buah yang ia beri. Itu sengaja saya lakukan untuk ‘mengetes’ pembendaharaan huruf yang telah dia tahu dengan mendiktekan hurufnya, karena saya tahu, ia masih belum hafal ke-26 huruf abjad.

Saya bersyukur, walaupun sering saya ‘kerjain’, mereka tidak pernah kapok memberikan buah-buahan hasil ‘buruan’-nya kepada saya. Hehe.. Walaupun tidak semuanya manis, banyak buah yang harusnya masih menggantung di pohon dan dibiarkan untuk lebih matang beberapa hari harus mereka petik. Sering saya protes. Dan hal yang paling ‘bodoh’ protes yang saya lakukan adalah ketika saya diberi buah asam oleh Putri. Untung Putri hanya tertawa melihat gurunya protes, dan mengatakan, “Namanya juga buah asam, Bu, ya pasti asam, Bu, walaupun sudah matang”. Disini saya benar-benar belajar, saya tidak mungkin mengharapkan rambutan semanis mangga aromanis, saya hanya harus berusaha mengupayakan bahwa rambutan itu manis.


Cerita Lainnya

Lihat Semua