Pelangi di Dama Buleuen: Sebuah Cerita Tentang Dusun Terpencil
Dimas Sandya Sulistio 11 September 2011Araselo.
Begitulah orang-orang di sini menyebut daerah tempatku tinggal. Terletak di puncak bukit Dama Buleuen, tempat di mana birunya langit adalah karya indah Sang Maha Kuasa, lengkap dengan gumpalan awan sebagai dekorasinya. Konon dulu di sini banyak sekali pohon damar yang getahnya berwarna cemerlang bak cahya rembulan. Dari sanalah nama Dama Buleuen berawal. Udaranya sejuk, kadang berembun di waktu malam. Bukit ini memang dikelilingi hutan, kebun sawit, dan pinang yang terhampar layaknya gulungan karpet hijau. Dari sini, Gunung Geureudong di selatan tampak jelas terlihat dan seolah sama tingginya. Samar-samar dari kejauhan, ada bayang-bayang pantai utara Sumatera yang lautnya menjelma menjadi Selat Malaka.
Lokasinya berada sekitar 8 jam perjalanan darat dari Banda Aceh atau sekitar 71 km dari kota terdekat, Lhokseumawe. Namun sayangnya, jarang sekali ojek/RBT yang mau naik ke atas, sehingga saya lebih suka menumpang pada truk atau mobil bak yang melintas. Pada beberapa pendakian, jalanan sudah lebih bagus dan sedang dilakukan proses pengerasan di tiga segmen utama. Lumayan mempersingkat waktu tempuh hingga setengahnya, karena sebelumnya bisa sampai 1,5 hingga 2 jam. Jika musim penghujan tiba, jalanan juga bisa berkubang dan lebih licin. Hati-hati juga dengan ban bocor dijalan. Susah sekali menemukan tukang tambal ban disana. Mungkin karena itulah Araselo dikategorikan terpencil. Terutama letaknya yang berada jauh dari desa induk Riseh Tunong, sekitar 8 km. Bahkan dusun terdekat , Blang Ranto, berada 6 km jauhnya dan terpisah oleh rimbunnya hutan pinang. Pantas saja orang di sini bilang, jika tidak ada kereta (motor), rasanya seperti tidak punya kaki.
Nama Araselo sendiri berasal dari nama sebuah perusahaan yang membangun wilayah ini. PT. Alas Helo lebih tepatnya. Tapi lidah orang sini terlanjur menyebutnya Araselo, jadilah nama itu yang dikenal. Lebih terkenal dibandingkan nama resmi dusunnya, Dama Buleuen. Sekitar lima tahun yang lalu, pemerintah daerah Aceh Utara berniat menjadikan lokasi ini sebagai desa agrowisata. Semua infrastruktur pun disiapkan. Jalan, rumah, saluran air mantap dibangun. Sekolah, meunasah (masjid kecil), dan puskemas pembantu ikut didirikan. Semuanya sederhana, tapi bersahaja. Yang menarik, penduduk disini adalah warga-warga ‘pilihan’ dari keluarga miskin di berbagai gampong (desa) di seluruh Aceh Utara. Dengan iming-iming, sebuah rumah, setengah hektar pekarangan, dan 1,5 hektar kebun sawit, maka berbondong-bondonglah mereka kemari. Ada 250 sudah Kepala Keluarga (KK) yang ikut transmigrasi lokal. Mereka meniti hidup, dan berharap masa depan yang lebih baik.
Jika diperhatikan suasana dusun ini lebih mirip kompleks perumahan ketimbang desa. Jalan utamanya berupa tanah bebatuan, berpasir, agak licin dengan kontur berbukit. Kadang saya berkhayal, ini tampak seperti sekumpulan villa yang ada di lereng-lereng gunung di pinggiran kota. Rumah-rumahnya pun unik. Terdiri dari satu tipe, terbuat dari kayu, tapi bukan rumah panggung. Semuanya dicat putih, meski ada beberapa di antaranya yang sudah berubah warna menjadi hijau atau merah jambu. Jalan antar rumah cukup renggang, bisa 50 meter jauhnya. Tapi beberapa sudah dipindah, sehingga kini ada yang jaraknya ‘hanya’ 20 meter. Sekilas rumah di sini tampak canggih, karena dilengkapi sel tenaga surya di atasnya. Sebabnya dusun ini belum terjangkau oleh listrik. Meski hanya mampu menyalakan 3 lampu di malam hari dan sebuah radio, manfaat solar itu sungguh terasa. Setidak-tidaknya sebagai pelita dari terbenamnya matahari hingga tiba tengah malam.
Menurut cerita warga, dulu di dusun ini ada listrik dari dua genset besar yang bisa menerangi seluruh rumah. Mesin PMU namanya, Project Management Unit. Saat itu, kegiatan pertanian sedang giat-giatnya dilakukan. Masa itu, tenaga surya masih leluasa digunakan di siang hari, sekedar untuk menyalakan radio atau menyetrika. Saat itu adalah masa keemasan. Bahkan pada tahun pertama, masyarakat di sana mendapat dukungan dari pemerintah daerah berupa sembako (sembilan bahan pokok) setiap bulannya. Dusun pun menjadi ramai. Kedai-kedai bermunculan. Orang-orang datang di akhir pekan, dengan kendaraan mobil bak yang jadi satu-satiunya alternatif transportasi. Meski jalan ke sana demikian parahnya, waktu 2 jam pun terbayar saat menemukan suasana berbeda di kampung baru yang bernama Araselo. Sebuah desa rintisan, sebuah dusun binaan, sebuah kampung yang konon paling terpencil di Kecamatan Sawang, Aceh Utara.
Tetapi cerita itu kini seolah jadi legenda. Dua tahun yang lalu, perbaikan jalan yang harusnya menjadi berkah, justru memberi dampak buruk bagi masyarakat disana. Sejak itulah, pipa-pipa air dicabut untuk pembuatan parit-parit di sisi jalan. Katanya akan dipasang kembali, namun tak jelas nasib rimbanya. Kini tidak ada lagi air bersih. Semua bergantung pada kebaikan Tuhan lewat hujan. Jika kemarau, semua berbondong mengangkut air dari mata air di atas bukit atau turun ke lembah sungai. Sekarang listrik juga sudah tidak ada. Maka jika malam tiba, suasana dusun ini layaknya kampung ‘hantu’ yang ditinggal penduduknya. Apalagi kebun sawit yang dulu diharapkan, sudah gagal entah bagaimana. Sebagian memilih pulang kampung, sebagian bertahan. Bagi 80 keluarga yang tetap tinggal, pilihannya adalah bekerja mencari hasil alam di hutan. Dan untuk itu, tak jarang mereka harus menginap beberapa hari disana hingga menambah kesepian di dusun ini.
Perjuangan yang keras, sedikit banyak telah mengubah karakter masyarakat disini. Orang-orang mulai kehilangan kebersamaan dan larut dalam ketegangan hidup. Lambat laun, satu persatu aset di dusun ini hilang perlahan. Sudah banyak yang bilang, hati-hati menyimpan barang. Jika lengah, bukan tidak mungkin semua raib seketika. Entah oleh siapa. Cobaan hidup juga meregangkan persatuan yang dulu ada, karena kini semua hidup untuk dirinya, tak peduli lagi yang lain. Bahkan kepala dusunnya pun tega pindah ke kampung lain, meninggalkan warganya dalam kebingungan. Puncaknya beberapa bulan sudah, hampir tak ada lagi aktivitas kemasyarakatan disana. Tak ada pengajian, tak ada kumpul pemuda, tak ada adzan atau shalat jumat. Semua hidup masing-masing. Dusun ini beku. Mereka didera krisis kepemimpinan dan kepercayaan, karena tak ada lagi yang bisa diandalkan.
Kondisi ini tak jarang menimbulkan banyak kecurigaan diantara warga, yang lantas berkembang menjadi sebuah isu untuk menyudutkan pihak tertentu. Pernah suatu ketika, tengku (imam masjid) dusun ini terusir karena dianggap kurang bijak. Sempat beliau ‘pulang kampung’ hingga setahun. Untung saja masih ada beberapa warga yang mau menjemputnya kembali. Karena itulah, selama lebih dari tiga bulan, masjid disini menjadi bangunan kosong dengan ilalang di sekitarnya. Sedih sekali melihatnya. Tidak hanya masjid, bangunan puskesmas pembantu pun bernasib sama. Kasur dan peralatan lainnya hilang dicuri, beberapa kacanya pecah, semua jadi tidak berfungsi. Alhasil puskesmas hanya datang seminggu 2 kali, setiap Senin dan Kamis dengan menggunakan mobil puskesmas keliling. Itu pun jika perawatnya datang. Senasib dengan TK yang menggunakan bangunan rumah bekas koperasi dan bahkan nyaris tak beroperasi karena kekurangan guru. Siapa pun tentu miris melihatnya.Inilah ironi di negeri ini. Nasib sebuah dusun terpencil, di tanah yang buminya konon kaya minyak.
***
Pada hari kedua saya tiba disana, siang itu di tengah keadaan yang sepi, saya melihat beberapa anak sedang bermain tanah. Saya pun mendekati mereka dengan perlahan. ‘
“Sedang main apa?”, tanya saya penasaran. Mereka tampak bingung, dan mengabaikan pertanyaan saya.
“Sudah pernah main tepuk-tepuk? Bapak punya permainan tepuk 1,2,3. Mau main?”, ajak saya pada mereka dengan penuh semangat.
Lagi-lagi mereka tidak peduli dan hanya ketawa ketiwi sambil berlari menjauhi saya. Tampaknya malu-malu. Wah, ini tidak akan berhasil, pikir saya. Mereka pasti tidak mengerti apa yang saya ucapkan.
Lalu tanpa pikir panjang, saya ikut bermain tanah dengan mereka. Membantu mengumpulkan pasir dan memasukkannya ke dalam gelas-gelas plastik. Mereka tertawa, tapi membiarkan saya. Setelah setengah jam bermain, saya pun menggambar sebuah garis dan persimpangan seraya meletakkan sebuah batu.
“Ini rumah Bapak, di simpang tiga, kedai Mamak Ponah. Rumah kalian dimana?”, ucap saya sambil menerangkan.
Mereka terdiam, lalu salah seorang dari mereka mengambil batu dan menaruhnya di tepian garis yang saya buat.
“Rumoh loen”, katanya singkat. Saya mencoba mengartikannya sebagai ‘Ini rumah saya’. Berhubung baru beberapa hari saya belum pandai berbahasa Aceh, jadi saya sering menerka-nerka apa yang orang katakan.
“Kalau rumahmu?” tanya saya pada anak yang lainnya. Seorang gadis kecil yang senyum-senyum sendiri.
“Nyo”, jawabnya sambil meletakkan batu. Rupanya rumah dia dekat dengan tempat saya tinggal. Hanya berbeda satu atau dua rumah, walaunya jaraknya bisa sampai 100 meter.
Dialog ini cukup berhasil. Saya kemudian meyodorkan kedua tangan saya untuk mengajak mereka bermain. Mereka tampaknya paham isyarat itu. Dan untuk pertama kalinya kami mulai bersentuhan, pertanda keakraban sudah dimulai.
Keesokan harinya, saya bangun pagi-pagi sekali. Menikmati kesejukan udara dan nuansa alam disini. Dari kejauhan kadang terdengar suara monyet atau bahkan gajah yang meramaikan suasana sepi di pagi hari. Apalagi orang disini terbiasa bangun siang. Hingga kemudian, pandangan saya teralihkan. Saya terpesona oleh sebuah pemandangan indah dari balik kabut di selatan.
Termenung. Kagum. Saya lihat ada pelangi di Dama Buleuen. Menyembul dari balik gunung, menjulur ke angkasa. Persis seperti lukisan anak-anak kecil di sekolah dasar. Ia hadir seolah menyambut kedatangan saya dan berkata, “Ayo goreskan warna warni ceriamu disini, di dusun ini! Ceritakan pada mereka tentang indahnya pelangi! Tentang kisah sekelompok anak-anak yang berani bermimpi dan punya cita-cita!”
Ya, akhirnya saya menemukan harapan di dusun itu. Pesan itu datang dari Tuhan lewat ciptaanNya yang sempurna. Inspirasi di pagi hari. Terima kasih pada pelangi. Terima kasih pada tiga kawan kecil yang pertama kali saya temui. Hamal, Alda, dan Mimi namanya. Merekalah sahabat cilik saya. Teman belajar yang akan membuat suasana dusun ini menjadi riang. Ceria seperti warna pelangi
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda