Perjalanan Anak Bangsa: Indonesia Mengajar (Chapter 10)

Ratih Diasari 27 November 2011

Kerusuhan Pemulikada

Pagi ini tak sedikitpun kulihat mentari menyinari lubang kecil jendela rumahku. Hanya tetesan air dengan gumpalan besar-besar yang sedari malam terus menyahut dalam loteng tempat tinggalku. Hujan yang terus turun dengan derasnya. Gemuruh guntur yang terus berteriak sampai memekikkan telinga siapapun yang mendengarnya. Ia terus berarak marah, seakan sudah mengejawantah berkelana dengan kuda mengelilingi angkasa. Dentumannya terdengar bak bom atom yang meledak di medan pertempuran. Sambaran kilat yang menyala dengan terangnya, sempurna menggambarkan bahwa pesta penduduk langit akan dimulai dengan penuh suka cita. Mengabaikan pinta seorang anak kecil yang sedari tadi sudah menggambar dewi matahari agar hinggap di sekolah mereka.

 

Kabut mengepul mengaburkan pandangan mata. Awan berkoloni membahana tak jelas rupa bak tarian amatir seorang gadis desa. Hujan deras dengan sekejap mengacaukan kokok ayam jantan yang sudah lama bertengger sedari gelap gulita. Ia bahkan mengacaukan kaki-kaki guru dan anak-anak yang seharusnya melangkah hendak pergi menuju sekolah. Semua gelagapan. Para guru dan orang tua terlihat kikuk atas sambutan sebuah pagi yang terkesan nampak begitu muram durjana.

 

Terlihat air terus turun memenuhi bak-bak penampungan penduduk desa. Alirannya bagaikan buncahan api merapi yang haus akan dawaian do’a para penduduknya. Tetesan yang kemudian memenuhi bak penampungan yang ada di pinggir-pinggir rumah mereka. Semua nampak penuh, bening, jernih, indah, terpantul seperti kaca. Pantulannya mengingatkan setiap orang, untuk senantiasa terus berkaca. Berkaca kepada diri, mengevaluasi kemajuan negeri. Melihat kembali para pemimpin kami. Menjunjung tinggi anak daerah sini, walau saat ini sudah berlaku yang namanya sebuah demokrasi. Ya, tepat tanggal 17 November lalu, di desaku telah dilakukan Pemilukada untuk memilih calon Bupati. Masyarakat berbondong-bondong mengagungkan hari yang istimewa ini. Masyarakat tampak antusias memilih calon yang akan membawa kebaikan terhadap Maluku Tenggara Barat, nanti.

 

Namun sayang bukan kepalang. Beberapa hari paska terjadinya pemilihan, masyarakat berlarian, beramai-ramai pergi melakukan orasi. Demokrasi yang dijunjung tinggi. Pilihan seseorang yang merupakan hak asasi. Kemajauan desa yang sudah dinanti-nanti. Semua seakan habis termakan oleh sebuah orasi. Seakan semua sirna terlahap oleh hujan yang membasahi bumi. Jumlah massa saat itu mencapai tiga ratus orang. Cukup banyak untuk besaran masyarakat di desa Adaut yang hanya seribu dan besaran pulau yang hanya sekuku. Beberapa rumah kemudian luluh lantah. Sekretariat desa dan kecamatan hancur jadi ala kadarnya. Hanya meninggalkan puing bangunan yang sudah tak berbentuk apa rupanya. Apa yang dibangun selama ini telah remuk, habis, sungguh tak menunjukkan apa-apa.    

 

Masyarakat kalap dan menghancurkan bangunan yang ada. Mereka mengejar simpatisan yang membela kubu oposisi dimanapun mereka berada. Beberapa orang lari ke kebun, ke hutan atau ke desa sebelah menggunakan alat transportasi apa saja yang mereka punya. Kalau tidak ada, tentu mereka siap membayar ketingting asal pergi dari desa tinggalkan rumah, sebagai satu-satunya barang berharga. Hari-hari itu menjadi keadaan paling mencekam yang dirasakan semua warga desa kala beberapa orang tak dapatkan hak suara.

 

Sore itu, kulihat awan memang berubah dari cerah menjadi kelabu. Kala itu, ku lihat pergerakan orang secara bergantian hendak menyambangi tempat tinggalku. Rumahku sejenak berjejal sesak, tampak penuh dengan berita membahas sebuah langkah nyata. Tetap berada di sini atau segera pergi lari tinggalkan apa yang ada. Obrolan ini membuatku panik, karena me’tua sekejap menyimpan barang-barang elektronik ke dalam kolong tempat tidur alih-alih diserang massa. Akupun segera sigap menghubungi Jakarta dan menyiapkan perlengkapan sebagai tanda siaga. Surat penugasan Indonesia Mengajar, surat khusus Pengajar Muda dari TNI yang telah lama diberikan, minuman sebagai modal perbekalan, laptop, HP, dan semua jenis obat-obatan. “Kalau ada apa-apa segera lari menuju gereja”, teringat pesan Jakarta kala mengabarkanku yang sedang panik dengan berita simpang siur yang sungguh membuat bingung harus beranjak kemana.

 

Walau beberapa saat kemudian, hujanpun turun mengalihkan kesibukanku. Mengguyur tanah ini dengan keras. Seakan membanting genting-genting sampai tewas. Membantu sejenak untuk melupakan masalah yang masih melekat. Melerai persoalan sampai kemudian bisa menguap. Keadaan sejenak yang nampak disyukuri oleh para penikmat kubu oposisi. Sekelompok kaum minoritas dari kubu calon Bupati. Sekelompok minoritas yang tidak mengunggulkan pasangan calon yang berasal dari desa sini. Sekelompok orang yang sembunyi-sembunyi mensyukuri hujan karena mentari redup tak sinari bumi.

 

Kadang aku berpikir, adilkah sebenarnya Tuhan menciptakan semua ini? Bahagia, susah, senang, sedih, semua seakan silih berganti. Walau kuyakin semua juga akan selesai pada saatnya nanti. Karena kuyakin masyarakat bisa belajar menilai sesuatu yang tak dapat dilihat mata, namun dapat dilihat dengan hati.

 

*Adaut, 27 November 2011. Doakan aku tetap sehat, ya!


Cerita Lainnya

Lihat Semua