Minggu Ceria Bersama Kawan Kecilku

Dimas Sandya Sulistio 9 Mei 2012

Saya masih ingat kisah perjalanan menarik ini. Enam bulan silam. Hari itu dua makhluk mungil dengan sabar menunggu kedatangan saya di simpang tiga kedai kopi Mamak Ponah. Mereka tampak bersemangat dengan senyum penuh energi. Cerah ceria seperti udara pagi di Araselo, Sawang. Membuat saya semakin penasaran dengan perjalanan hari ini. Semua bermula dari obrolan ringan sehari silam. Sehabis les sore di balai seperti biasanya, Wahyudin dan Aldi tampak antusias bercerita tentang keindahan desa ini jika dilihat dari puncak bukit.

“Ayo Pak, kita pergi ke 26! Disana pemandangannya bagus,” celoteh Aldi

“Iya Pak, disana juga ada mesjid dua lapan. Ada bunga bagus yang tumbuh disana,” sahut Wahyudin tak mau kalah.

Jujur saya cukup tertarik untuk menerima ajakan mereka. Meski awalnya bingung dengan istilah tempat yang mereka sebutkan, belakangan saya paham bahwa yang dimaksud adalah km 26 dan km 28. Begitulah cara orang disini memberi nama pada kedua tempat itu. Tanpa pikir panjang, saya pun kemudian meng-iya-kan seruan mereka. Maka jadilah hari ini kami bersiap berpetualang menuju masjid dua delapan, yang sering dibicarakan orang.

Tanpa berlama-lama, kami bergegas memulai perjalanan. Rupanya Alda, adiknya Aldi, ingin ikut juga. Di tengah jalan, meski dengan luka bisul di dagunya, Hamal juga mau turut serta. Ditambah lagi Muji yang menyusul dengan nafas terengah-engah. Jadilah saya dan lima bocah petualang pergi ke puncak bukit Dama Buleuen, untuk sekedar merekam indahnya lukisan alam Dusun Araselo sekaligus memuaskan keingintahuan saya tentang masjid dua lapan.

Benar saja begitu tiba di km 26, saya dan bocah-bocah itu tak henti-hentinya berfoto. Dari sini rumah-rumah kami terlihat sangat kecil. Indah nian dusun tempat tinggalku. Puas memandang, kami pun melanjutkan perjalanan. Rupanya ada satu hal yang tak pernah mereka ceritakan pada saya. Ternyata mesjid dua lapan berada di tengah hutan! Wah kalau tahu begini saya akan berpikir-pikir lagi mengajak mereka. Bukan apa-apa, saya cuma khawatir dengan keselamatan mereka karena di hutan itu konon banyak jenazah orang yang dibuang pada masa konflik.

Pantas saja ketika melintasi sungai, Hamal begitu ketakutan. Mulutnya tampak komat kamit seperti sedang kumur-kumur. Waktu saya bertanya apa maksudnya, dia menjelaskan kalau dia sedang minta pamit pada jin yang tinggal disana, tepatnya dengan menggunakan bahasa jin. Entah benar atau tidak, yang jelas kami semua jadi mengikuti ritual itu. Kata Hamal yang penting mulutnya was wes wos. Geli juga kalau saya pikir. Tapi agar perjalanan lebih seru, saya mencoba menikmatinya.

Ada lagi cerita lucu dari Muji tentang gajah yang seringkali menampakan diri di hutan ini. Saya bilang saya ingin lihat gajah. Tapi mereka malah ketakutan. Katanya, kalau gajah muncul nanti bisa merusak rumah penduduk. Masuk akal juga, pikir saya. Malah mereka mengajarkan saya ‘mantra’agar gajah tersebut tidak menampakan diri. “Wahai putro merak, jangalah menampakkan diri. Baik-baiklah kau disana”, begitu kira-kira mantranya. Bagi sebagian orang disini konon gajah adalah jelmaan dari sesosok Putro Merak (semacam tuan putri) yang diusir ke hutan sehingga sesekali kadang datang ke desa untuk mengobati kerinduannya. Hmm, menarik juga ceritanya. Sangat lokal dan terasa orisinil.

Setelah berjalan sekitar 3 jam akhirnya kami tiba juga di masjid dua lapan. Ternyata masjid ini tidak seperti yang saya bayangkan, karena bahkan bangunannya belum ada, melainkan hanya fondasinya saja. Namun tempat berwudhu, kamar mandi, dan balai sudah terbangun dengan cukup apik dan sedikit mewah, mengingat lokasinya yang berada di hutan. Sampai-sampai saya pikir, untuk apa dan siapa yang membangun masjid di tengah hutan seperti ini. Bahkan mesjid ini kalau sudah jadi bisa lebih bagus daripada mesjid di dusun saya. Pantas saja orang suka membicarakannya. Jangan-jangan mereka juga belum tahu kalau mesjidnya memang belum jadi. Ah, ada-ada saja.

Untunglah, tak lama kami menemukan bunga yang dicari oleh anak-anak. Tidak terlalu istimewa bagi saya. Seperti bunga chrysant panjang berwarna merah. Tapi di mata mereka bunga itu sangat indah nan rupawan. Hanya ada di masjid dua lapan, jelas mereka. Hingga mereka terus merajuk untuk setiap orang berfoto dengan latar belakang bunga itu. Anak-anak memang selalu unik. Belakangan saya tahu bahwa di dekat mesjid ini ada sebuah rumah yang jadi pondokan bagi ornag jika pergi ke hutan. Bisa jadi itu juga alasan mengapa masjid ini dibangun disini. Mungkin untuk transit orang-orang yang menginap di hutan.

Matahari sudah lumayan terik, dan kami harus segera pulang. Perjalanan berat di awal jadi tampak ringan ketika menuju rumah. Apalagi sepanjang perjalanan kami bernyanyi-nyanyi sambil membuat topi dari dedaunan. Sungguh anak-anak itu sangat kreatif dan pandai. Semua pernak-pernik alam bisa dikreasikan jadi karya seni yang cantik. Belum lagi, gaya mereka yang mendadak ‘banci kamera’. Sebentar-sebentar minta foto, asal menemukan latar belakang yang menarik. Jadilah perjalanan yang harusnya lebih singkat, jadi terasa sama lamanya. Hingga akhirnya tepat pukul tiga sore kami tiba di rumah masing-masing dengan perasaan lelah bercampur senang.

***

Keesokan harinya Wahyudin memberikan secarik kertas padaku. Begini isinya:

“Pada Hari Minggu kami bersama teman-teman pergi berlibur dengan Pak Guru ke mesjid dua lapan yang sedang dibangun. Kami dan Pak Guru sama-sama berjalan kaki sambil mendaki bukit yang tinggi tanpa merasa lelah. Kami berjalan kaki sambil bernyanyi dan tertawa melihat pemandangan alam yang indah. Sungguh mengagumkan ciptaan Tuhan.

Sambil disana kami dan Pak Guru berfoto-foto bersama melihat pemandangan di sekitar mesjid. Sungguh mengagumkan. Tanpa terasa hari sudah siang, kami dan Pak Guru melepas lelah di balai yang ada di situ. Kami sangat lelah sekali karna tidak membawa makanan siang, cuma membawa makanan ringan saja. Tapi kami lapar karena Pak Guru selalu bercanda. Dalam perjalanan kami melihat mobil jelek naik ke bukit.

Tanpa terasa hari hari sudah sore, kami dan Pak Guru sama-sama kembali pulang. Tak terasa perjalanan yang begitu jauh selama empat jam. Kami berjalan kaki kembali pulang. Sampai di tengah jalan kami dan Pak Guru membeli minum di warung kopi. Sampai di tempat, kami kembali ke rumah masing-masing. Sungguh menyenangkan berlibur dengan Pak Guru. Pemandangan yang indah sepanjang jalan.”

Antara haru dan senang, saya hanya bisa menatapnya sambil tersenyum. Membelai lembut kepalanya.

“Terima kasih Wahyudin, Bapak akan simpan cerita ini untuk kenang-kenangan. Boleh kan ceritanya untuk Bapak?” rayu saya.

“Iya Pak, jangan dibuang ya, supaya Bapak ingat terus waktu kita jalan-jalan,” balasnya.

Hari ini, saya ingat hari itu, dan rasa haru kembali menyelimuti saya saat membaca kembali kisahnya dalam skertas itu. Tapi kali ini dengan diiringi kesedihan. Rasanya baru kemarin saya menghabiskan minggu ceria dengannya. Rupanya Tuhan begitu sayang padanya, hingga Ia juga ingin segera menempatkan dia di sisi-Nya. Usianya masih belia, tapi saya yakin ini yang terbaik untuknya. Sebuah peristiwa perampokan tragis menamatkan hidupia dan keluarga. Kami semua, warga Araselo, trurut berduka.

Selamat jalan Wahyudin, semoga kamu tenang dalam lindungan-Nya.


Cerita Lainnya

Lihat Semua