Blessing Friday

Dimas Sandya Sulistio 16 Oktober 2011

Bagi umat muslim, Jumat adalah Hari Raya kecil. Karena itulah setiap laki-laki diwajibkan beribadah di siang harinya. Hari yang mulia nan penuh berkah, karena konon inilah waktu pergantian malaikat yang bertugas mencatat amal baik kita. Bagi siapapun yang meyakini Tuhannya Maha Pengampun, maka hari ini bisa jadi momen untuk kembali mensucikan diri. Bahkan tidak sedikit orang yang meliburkan diri di hari ini. Bukan sekedar untuk menghormati, tetapi justru untuk memaknai. Begitulah, di Dama Buleuen banyak orang sengaja beristirahat pada hari ini setelah satu minggu penuh banting tulang di hutan. Dan entah kenapa, selalu ada kebaikan di setiap Jumatnya..

***

“Pue haba!”

Saya mencoba menyapa warga Dama Buleuen dalam Bahasa Aceh dengan logat yang masih aneh. Niatnya agar momen perkenalan pertama saya lebih bercita rasa lokal sekaligus menyegarkan suasana. Apalagi disini jarang sekali warga berkumpul jika bukan di kedai sambil nonton sinetron malam-malam. Karena itulah keberadaan pengajian ibu-ibu adalah kesempatan baik untuk silaturahim. Sekaligus juga satu-satunya kesempatan bertemu banyak orang, mengingat tidak ada pengajian remaja maupun bapak-bapak disini. Kegiatan yang lain? Mungkin tinggal cerita lalu.  Konon dalam tiga bulan terakhir, dusun ini mengalami banyak kemunduran sehingga banyak aktivitas yang terhenti. Untung saja, ibu-ibu disini masih mau kumpul-kumpul di Jumat pagi. Bagai menjadi oase di tengah kegersangan duniawi.

“Haba got,” jawab mereka dengan wajah yang masih senyum-senyum menahan tawa.

“Perkenalkan nama saya Dimas. Saya berasal dari Bandung dan ditugaskan sebagai guru bantu di sini.  Sejak sebulan yang lalu saya tinggal di desa bawah, Gampong Rambong Payong, di rumah Bapak Kepala Sekolah. Insya Allah dalam setahun ke depan, mulai tahun ajaran baru akan menetap disini. Saya mohon bimbingan dan dukungannya,” jelas saya.

Ada yang masih tersenyum, ada yang tampak bingung. Canggung mendengar orang berbicara dalam Bahasa Indonesia. Tapi dari bahasa tubuh mereka, saya merasa diterima. Ada sedikit binar di mata mereka.

“Oya bu, konon dulu Sunan Gunung Jati menyebarkan agama Islam di Cirebon, Jawa Barat, adalah orang Aceh. Saya lupa nama aslinya. Tapi saya senang sekali punya kesempatan kesini, karena saya bisa belajar langsung dari leluhur saya. Jadi jangan anggap saya sebagai perantau, sebagai tamu. Anggap saja saya pulang kampung,” celetuk saya setengah bercanda. Masih dalam rangka basa basi untuk meleburkan perasaan tegang di hati. 

Kali ini mereka tertawa. Mengangguk-anggukan kepala tanda setuju, Bahkan Pak Tengku (sebutan untuk orang alim atau ulama disini) juga ikut tertawa.

 “Ibu-ibu, terima kasih. Berhubung hari sudah mulai siang, saya harus turun ke desa bawah karena disini tidak ada shalat Jumat. Mungkin lain waktu kita bisa ngobrol-ngobrol lagi. Kebetulan saya sudah ditunggu oleh Bang Geucik Wan (bekas kepala dusun) yang berbaik hati mengantarkan saya.” .

Kali ini, rona wajah mereka berubah mendengar kata-kata penutup saya. Ada semacam kesedihan yang menggelayut di benak mereka menghadapi kenyataan hilangnya suara adzan di dusun ini. Untunglah hari itu adalah hari penuh berkah. Dari meunasah (masjid kecil) disana, tiba-tiba terdengar sayup-sayup terdengar suara lantunan ayat yang menyejukkan hati. Dan seketika semua mata mendongak ke meunasah. Tampak kebingungan di wajah mereka. Suara apakah ini? Rasanya sudah lama mereka tak mendengar ayat-ayat suci seperti ini.

Saya juga sempat berpikir sejenak. Mungkinkah ini pertanda Shalat Jumat? Karena biasanya sebelum shalat seringkali ada suara orang mengaji untuk sekedar menarik jamaah datang lebih awal. Tanpa perlu menunggu lama, pertanyaan itu pun segera terjawab. Kulihat sosok Abang (kakak angkatku) berlari-lari kecil ke arahku di meunasah.

“Ada apa Bang?” tanyaku ringan.

“Hari ini ada Shalat Jumat, ayo kita rapikan masjid dan babat rumput di sekitarnya” sahut Abang dengan senyum cemerlang.

“Wah, alhamdulillah Bang, ayo saya bantu” sambutku penuh semangat,” eh tapi Bang bukannya disini tidak ada Shalat Jumat, kenapa sekarang jadi mendadak ada?”

“Biar Dimas tidak usah turun. Disini saja ya! Biar masyarakat disini juga tidak usah repot turun ke bawah.”

Menakjubkan. Saya hanya bisa tersenyum menahan kegirangan. Syukur dalam hati saya bergemuruh. Tuhan telah menggerakkan hati orang-orang disini. Dan saya tidak sendiri, ibu-ibu itu lantas tersenyum dan saling mengomentari. Mereka senang, mereka bahagia. Ini awal baru buat mereka.

***

Semua keberkahan tidak lantas berhenti sampai disitu. Di kemudian hari, selalu ada kabar baik setiap Hari Jumat. Dari mulai pembuatan kulak (bak wudhu), rapat dusun, gotong royong, renovasi meunasah, pembuatan kantor dusun, hingga pemilihan geuchik dan aparat dusun. Perlahan tapi pasti, roda kehidupan bermasyarakat disini mulai berdetak kembali. Lambat, namun bergerak. Dan yang terpenting, masyarakat sendirilah yang menemukan momentum kebaruan di sekolah sebagai inspirasi untuk membangkitkan desanya kembali. Karena sejatinya Tuhan tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, hingga mereka mengubahnya sendiri. Kini, satu lilin harapan telah menyala, menerangi dusun itu. Terima kasih ya Rabb.


Cerita Lainnya

Lihat Semua