Bernyanyilah dan Terus Tertawa

Dimas Sandya Sulistio 26 Maret 2012

Diantara semua aktivitas, perjalanan ke sekolah adalah bagian yang paling menyenangkan bagi saya. Saat itulah saya merasa menjadi bagian dari anak -anak. Tak jarang kami bercanda dan bernyanyi riang, Sesekali mereka mengajarkan saya Bahasa Aceh, seperti “Ho na ja” (mau kemana), “Bagah-bagah” (cepat- cepat), “ Ja ile beuh” (pergi dulu ya), “Ja plueng” (ayo lari), dan masih banyak lagi. Saya sengaja memilih untuk berjalan kaki agar punya waktu lebih banyak berinteraksi dengan anak-anak, padahal lokasi sekolah lumayan jauh, melintasi lembah alur (sungai kecil). Sekitar 1,5 km  ditempuh dalam waktu 30  menit. Awalnya saya sempat ’ngos-ngosan’ apalagi di tanjakan terakhir menuju sekolah.  Untungnya semangat anak-anak memberi energi positif di pagi hari. Jadi biasanya kami bersenandung atau bermain tebak-tebakan, sekedar untuk menutupi suara nafas yang tampak lelah.

Bernyanyi, kini seolah menjadi rutinitas dalam keseharian saya mengajar. Semua bermula saat saya diamanahkan menjadi wali kelas 2, yang ternyata siswanya tidak bisa berbahasa Indonesia. ‘Omaa..’ begitulah gelisah saya dalam hati. Satu bulan pertama rasanya saya seperti badut. Saya bilang apa, mereka bicara apa. Bahkan beberapa orang tua masih belum yakin ‘kek mana guru baru ini ngajar?’. Sejujurnya saya juga.  Kadang merasa linglung karena tak berhasil menyampaikan materi ke siswa, atau sampai garuk-garuk tembok karena indikator belajarnya tak pernah tertuntaskan. Untungnya kedatangan pengajar muda bukan untuk menyalahkan yang ada seperti biasanya tetapi justru mencari langkah solutifnya, meski tentu saja kami tidak selalu punya jawabannya.

Seperti hari itu, saya hendak menyampaikan materi kerukunan dalam pelajaran Pkn. Berhubung di kelas 2 kemasan materinya adalah tematik, maka saya menggabungkannya dengan pelajaran Bahasa Indonesia dengan tema lingkungan rumah. Indikatornya sederhana, anak cukup paham dan mengerti definisi kerukunan sebagai saling tolong menolong, tidak bertengkar, atau gotong royong. ‘Cukup mudah sepertinya’ pikir saya. Kemudian saya mulai merancang serangkaian metode yang kira-kira menarik tanpa perlu banyak bicara. Akhirnya saya memilih permainan kucing-kucingan versi ‘jatuh dan obat merah’. Jadi akan ada satu orang yang menjadi kucing, yang harus menangkap dngan menyentuh kawan lainnya. Untuk menghindar setiap orang bisa ‘membeku’ dengan mengatakan ‘jatuh’ hingga ia bisa bergerak lagi saat ada kawan menyentuhnya dan mengucapkan ‘obat merah’.

Sampai sini saya merasa semua akan baik-baik saja. Permainan rasanya sangat familiar dan dilakukan di seluruh dunia. Agaknya sedikit keterlaluan, kalau anak- anak disini tidak bisa bermain. Tidak lama kemudian, permainan di luar. Saya sengaja mengajak mereka ke luar kelas agar lebih bersemangat dan atraktif. Benar saja, ketika bermain mereka terlihat lincah dan jenaka. Setelah lelah bermain, saya pun mengajak mereka berbincang tentang arti tolong menolong via permainan ‘jatuh’ dan ‘obat merah’. Hasilnya, wakwaw.. mereka sama sekali tidak mengerti yang saya maksud. Baiklah, otak saya kemudian berputar dan muncullah cara yang kedua bermain (lagi) simulasi pemadam kebakaran. Dikisahkan ada rumah yang terbakar dan ada tetangga yang menolongnya. Namun syaratnya –karena ini dikaitkan dengan pelajaran bahasa Indonesia- mereka harus belajar menggunakan kata ‘tolong’ yang dijawab oleh rekannya dengan ‘saya menolong’.

Rupanya permainan ‘tolong-menolong’ ini juga berlangsung heboh. Tapi lagi-lagi mereka tetap tidak mengerti maksud kerukunan yang saya hendak sampaikan. Hingga akhirnya tak terasa, waktu jam pelajaran sudah tinggal lima belas menit lagi. Saya mulai pasrah. Lalu tiba-tiba saja terlintas di benak saya untuk membuat sebuah lagu. Inpirasinya sederhana. Awalnya mereka menulis beberapa potongan kalimat, yang kemudian diberikan sedikit nada sederhana.  Maka jadilah lagu parodi pelajaran perdana saya seperti ini:

Didi dan Budi berteman

Mereka tidak pernah bertengkar

Didi dan Budi saling menyayangi

Mereka hidup rukun

Agar lebih mengena, saya lalu coba menggunakan nama anak-anak untuk menjadi tokoh dalam lagu tersebut. Beruntunglah anak-anak menyukainya. Bahkan ketika ada yang bertengkar, saya sengaja memancing orang yang sedang bermusuhan degan menyanyikan lagu ini, tentu dengan mereka sebagai tokohnya. Strategi ini ternyata cukup lumayan untuk mengalihkan perkelahian, karena mereka menjadi pusat perhatian, dan diapresiasi dengan cara yang positif. Yang lebih penting, anak-anak itu, setidaknya bisa menjelaskan arti rukun dengan tiga istilah yakni  ‘ berteman’, ‘tidak bertengkar’, dan ‘saling menyayangi. Syukurlah karena indikator ini lebih kurang tercapai juga. Bahkan keasyikan saya membuat lagu terus berlanjut hingga kini. Sejak saat itulah sekolah kami jadi riang penuh irama.

Akhirnya, saya berhasil menemukan solusi dari kendala bahasa yang dihadapi  dengan pembuatan lagu parodi pelajaran. Ini cukup berhasil , dan membuat materi pelajaran mudah diingat. Apalagi, sebagian besar dari mereka kurang paham dengan Bahasa Indonesia.  Malah secara tidak langsung lagu-lagu itu membiasakan mereka untuk mengenal kosakata Bahasa Indonesia. Saat ini sudah beragam tema yang dikembangkan menjadi lagu parodi pelajaran. Bahkan beberapa  anak sudah bisa membuatnya sendiri dengan mengubah lirik lagu-lagu yang mereka kenal. Ya, musik memang bahasa yang universal dan mudah dipahami segala usia, meski dnegan bahasa yang berbeda. Kini belajar tidak lagi membosankan karena kami selalu gembira. Jadi, bernyanyilah dan terus tertawa. 

NB: Bagi yang ingin melihat kumpulan lagu parodi pelajaran tersebut, bisa dilihat di sini

Semoga bermanfaat :D


Cerita Lainnya

Lihat Semua