info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Assalamualaikum...Any body School....?

Dika Purnamasari 23 Maret 2012

 

Dika Purnamasari    Assalamualaikum........., Any Body School??   Desa Muara Telake, 21 Maret 2012   Rasanya tidak perlu lagi menunggu dan menunggu, tidak akan berubah suatu keadaan jika kita hanya diam dan menunggu. Kita harus bergerak. Karena jika diam berarti mati.   Sudah 7 hari berlalu, ketika pada tanggal 7 November 2011 saya mulai berinteraksi dengan guru dan siswa/i SDN 005 Longkali. Awal kedatanganku disambut baik oleh kepala sekolah dan guru yang hadir. Kepala sekolahku adalah orang yang ramah dan baik. Beliau sosok yang bersahaja dan tidak banyak tutur kata yang diucap, sederhana. Namun  sejak pertemuan itu, tidak lagi saya melihat sosok hangat beliau. Hem... beliau pasti sibuk, pikirku.   Sudah 7 hari berlalu, ketika semua teman-teman yang lain sudah mendapatkan kejelasan mengajar apa dan sebagai apa di sekolah masing-masing, saya masih berjalan dengan idealisme dasar Indonesia Mengajar ( menurut hemat saya :p) “mengisi kekosongan guru”. Sudah beberapa hari ini kadang 3 sampai 4 kelas tidak ada wali kelas yang hadir, so, saya bagaikan induk ayam yang akan memberi makan anaknya satu per satu dengaan aneka makanan sesuai dengan tingkatan mereka yang berbeda-beda. Lalu bagaimana dengan RPP? ( hem... untuk status yang  belum jelas, tampaknya belum bisa diaplikasikan, maaf ya bu Wei.. hehe ). Tujuh hari mengajar seperti ini ternyata cukup menguras energi ( jadi teringat salah satu cerita guru inspiratif yang dulu bisa mengajar 6 kelas sekaligus dalam jangka waktu bertahun-tahun, subhanallah). Terpaksa cara konvensional saya terapkan, datang ke kelas, menjelaskan sedikit lalu memberi tugas. Setelah selesai, lalu ke kelas yang lain, yang lain dan yang lain ( Alhamdulilah, tidak perlu lari 20 putaran untuk mengeluarkan lapisan terdalam di dermis kulit saya seperti di MTC :P). Muncul pertanyaan kenapa tidak digabung? Hem... sepertinya  untuk sekolah tempat saya mengajar dengan jumlah per kelas minimal 27-43 dengan karakter pesisir rasa-rasanya riskan untuk digabung. Well, saya menikmati semuanya, sampai waktunya tiba.   Sudah 7 hari berlalu, tentunya semakin tahu dan kenal dengan anak didik. Anak- anakku baik laki-laki dan perempuan yang tidak pernah terlepas waktunya untuk bermain bola, baik di lapangan, kelas, perpustakaan bahkan di ruang guru. Anak-anak yang lebih suka masuk lewat jendela kelas daripada pintu ( karena wali kelas atau guru pembawa kunci belum datang), anak –anak yang hanya beralaskan sandal jepit, anak-anak yang tidak memakai baju seragam sekolah ( bertelanjang dada), anak-anak  yang sebagian besar mengeluarkan baju mereka, anak-anak yang mudah sekali berkata-kata kasar, anak-anak yang suka men-tato tubuh mereka dengan spidol yang mereka ambil secara diam-diam, anak-anak dengan rambut ber cat merah atau pirang dengan gaya ala kartun dragonball atau artis korea, anak-anak dengan menggunakan pupur ( bedak wajah berwarna putih atau kuning mirip sekali dengan masker) ke sekolah, anak-anak yang suka merayu, anak-anak yang akan mencium tangan kita berkali-kali secara berputar, anak-anak yang dengan kepolosan mereka mengatakan “i love you” dan menulis apapun tetang saya di dinding sekolah atau papan tulis, anak-anak yang mengirimkan surat cinta,  dan anak –anak yang dengan setia menunggu saya pulang bahkan ketika harus pulang dari sekolah pukul 18.00 WITA, mereka akan setia dengan seragam lengkap, menunggu saya. Ya, mereka adalah anak-anakku tersayang di SDN 005 longkali.    Sudah 7  hari berlalu, tentunya saya  semakin tahu siapa  anak didik saya. Mereka yang selalu memanggil “Bu, jeh masukan bu, masukan kelas 2, 3 ( atau seterusnya ...) dan saya hanya tersenyum ( bingung karena berharap guru-guru mereka segera datang ), dan menjawab “ sayang, nanti ibu akan ke kelas ...” . Kalimat tersebut seperti air kelapa dingin bagi mereka yang sedang dahaga... dan kontan mereka akan menjawab “ hore..hore..ibu dika masukan..ibu dika masukan..” Aku pun berlalu menuju kelas. Waktu sudah pukul 07.20 WITA, dan aku membuka pintu ruang guru yang berisi meja dan  kursi yang diatasnya tersusun buku-buku yang berserakan. Sekilas Pandanganku menatap lapangan pasir yang ada di depan sekolah, ya, hanya SD yang memiliki lapangan luas dan kering. Sehingga lapangan SD akan dijadikan tempat olah raga bersama baik untuk SD, MI, MTs ataupun MA. Pandanganku kembali tertuju pada setumpuk sampah dan ceceran sampah yang menghiasai sekolah bagaikan  warna-warna pelangi di tengah lapangan yang berwarna cokelat muda.    Sudah 7  hari berlalu, ku lihat anak-anak semangat ke sekolah. Sebelum satu pun guru masuk mereka sudah duduk bertumpuk di depan kelas mereka yang pintunya masih tertutup rapat karena masih terkunci, menunggu mbah kunci datang.  Mereka menunggu dengan sabar, ada yang menunggu sambil duduk-duduk, ada yang menunggu sambil bermain bola, china boy ( permainan dengan menyusun kaleng atau aqua gelas lalu dilempar dengan bola dan orang yang melempar akan lari dan menembak orang lain dengan bola.. seru!...), kelereng,  belanja ( jajan ) gorengan dengan kadar MSG yang tinggi atau penthol dengan saos merah banteng, ngerumpi, atau mampir ke kantin yayasan yang letaknya di depan sekolah. Aku menarik napas panjang, lalu duduk. Apakah selalu seperti ini? Apakah anak-anak yang datang terlalu pagi atau guru yang terlalu sibuk dengan aktivitas mereka sehingga lupa jam masuk  sekolah? Apakah anak-anak terbiasa masuk pagi pulang pagi? Beragam pertanyaan muncul, namun bingung harus mengklarifikasi ke siapa karena guru- guru yang bersangkutan pun belum masuk ke sekolah mulai dari kedatanganku. Hem ..life must goes on.    Sudah 7 hari berlalu, lonceng yang tergantung di depan ruang guru diam tidak bergerak. Mungkin jika dia bisa berbicara maka dia akan berkata, “ ayo, Bapak Guru, Ibu guru pukul aku, aku bukan hanya pajangan lhoh. Amanahku adalah mengeluarkan suara agar didengar oleh semua orang pertanda dimulai atau berakhirnya sebuah kegiatan. Tapi bantu aku dengan sedikit gaya otot yang kau berikan...” ( hehe.... adakah? )   Hembusan angin selatan mengibarkan jilbabku yang bersiap-siap mengambil batu kecil untuk membunyikan lonceng pertama, dengan sekuat tenaga aku berteriak... “ Anak-anak SDN 005 lonceng sudah berbunyi, ayo masukan-masukan......:) “ . Apa respon mereka saat itu? Mereka melihat kearahku dan tersenyum sambil memanggil, “ibu..ibu....” sembari melambaikan tangan mereka dan setelah itu kembali larut dengan aktivitas mereka. (  hiks...hiks dikacangin, sepertinya suara saya tidak kalah tinggi dengan nada ketika ibu-ibu disini marah.. ? )   Memasuki hari ke delapan, tidak ada pelajaran khusus di kelas. Hari ini saya masuk ke  tiga kelas, 3- 6 dengan status sama, tidak ada guru. Ya, pelajaran hari ini adalah membuat peraturan bersama. Kami menyebutnya kontrak Belajar. Ada beberapa kontrak belajar yang mereka buat dengan sedikit arahan dari saya. Mengawali dengan sebuah cerita sekolah yang ada di negeri entah berantah yang begitu tertib, teratur, bersih, semangat, sopan santun dan patuh. Sehingga semua proses belajar mengajar  menjadi nyaman dan senang. Guru senang. Murid senang. Semuanya senang. Semua bahagia. ( walau terpaksa harus menggunakan comparison ).  Adapun beberapa point yang kami sepakati adalah :   1.  Menggunakan sepatu hanya di luar kelas 2. Bunyi lonceng tanda waktu masuk, istirahat dan pulang 3. Buang sampah pada tempatnya (pertanyaan saya, tempat sampahnya mana? Ups..). 4. Seragam sekolah dimasukkan kedalam celana atau rok 5. Masuk ke kelas lewat pintu tidak ada yang lewat jendela. 6. Berbicara dengan baik dan sopan 7. Mendengarkan ketika guru menjelaskan  8. Duduk rapi dan tidak berlari-larian 9. Belanja hanya pada jam istirahat 10. Berbuat baik pepada teman 11. Memakai seragam sekolah senin-selasa: merah-putih, rabu-kamis : batik, jumat : Muslim, sabtu : pramuka/olah raga 12. Jika berhalangan masuk sekolah tulis surat untuk guru.   Itulah sederet peraturan yang kami buat. Peraturan ini khusus diperuntukkan di kelas  3-6 dengan  harapan kelas kecil akan mencontoh juga sebagai kelas uji coba. Peraturan tersebut mereka tulis dan ditempel di dinding agar setiap kali melanggar mereka akan membaca dan tahu poin apa yang dilanggar.  Walaupun peraturan itu bersifat kaku, tapi saya yakin dalam suatu proses harus ada batasan batasan agar proses terebut berjalan sesuai dengan alurnya. Next, what’s going on..?

Cerita Lainnya

Lihat Semua