Secercah Harapan Itu Bernama Tenun Kebangsaan

Diera Gala Paksi 30 April 2012

 

Pada awal saya datang ke desa bibinoi, atmosfer keberagaman sudah mulai tampak. Dua agama yang bertolak belakang hidup rukun dan damai dalam satu kampung. Sungguh harmonis sekali. Apalagi begitu ditilik ke belakang mereka sebenarnya masih satu keluarga. Masih ada beberapa nama keluarga atau dalam istilah disini dinamakan fam yang memiliki dua agama. Dan juga apabila kita melihat sejarah awal mula agama masuk ke desa ini berdasarkan cerita dari ketua adat hal itu berlangsung secara demokratis sekali. Bahkan sebelum kata demokrasi masuk ke Indonesia hal itu sudah terjadi disini, coba anda bayangkan!. Salah satu contohnya masih berdasarkan tentang fakta yang disampaikan oleh ketua adat desa, dahulu setiap warga diberi kebebasan untuk memilih agama dengan cara apabila yang memilih agama kristen dipersilahkan untuk menggunakan sepatu sedangkan yang memilih islam dipersilahkan untuk menggunakan sandal atau sarung (kurang lebihnya begitu). Dua barang itu sengaja dipilih karena dianggap mewakili agama masing-masing. Sampai tolerannya dan karena mereka pada saat itu benar-benar memilih agama sesuai dengan keyakinannya, banyak orang sesepuh disini meyakini bahwa orang-orang dahulu meninggal dengan cara yang ‘indah ; sekali. Ada yang meninggal pada saat beribadah, ada yang meninggal dengan tersenyum dan lain sebagainya.

Rajutan nilai keharmonisan itu berlangsung hingga bertahun-tahun. Sampai pada saat konflik horisontal yang terjadi pada tahun 90-an pun tenun itu masih terasa. Seperti dituturkan oleh pak mantri, yakni salah satu saksi hidup peristiwa tersebut, mengatakan bahwa semua kondisi maluku pada saat itu sudah mulai memanas. Bahkan hampir semua umat Islam yang ada di Maluku men-sweeping kemudian menghabisi semua umat kristen yang ada disini. Ada yang mengatakan bahwa hal itu dimulai dari beberapa oknum dari pihak kristen yang menyulut amarah pihak Islam sehingga pihak Islam tidak mau tinggal diam, ada juga yang mengatakan bahwa TNI sendiri (pada saat itu ABRI) yang justru merupakan dalang dibalik semua ini, hal itu disebabkan oleh ‘deal’ penjualan senjata antara perusahaan senjata amerika dan TNI. Tapi apapun alasannya sama sekali konflik ini tidak bisa dibenarkan. kembali ke desa bibinoi, jadi pada saat konflik berlangsung umat kristen dipersilahkan lari ke hutan terlebih dahulu sebelum umat Islam dari tempat lain datang ke desa ini. dan hal itu memang sudah diprediksi, tepat beberapa saat setelah umat kristen berlari ke hutan maka datanglah umat Islam dari berbagai penjuru Maluku bahkan sempat terdengar kabar ada beberapa yang juga didatangkan dari pulau Jawa. Akan tetapi bukannya membela sesama muslim dengan alasan jihad, mayoritas muslim bibinoi yang juga ‘ikut’ men-sweeping sampai ke hutan, begitu mereka bertemu tidak hanya dengan keluarga mereka yang beragama kristen melainkan juga dengan umat kristen dari desa lain mereka melepaskannya begitu saja dan tentunya memberi tahu jalan keluar agar tidak ditangkap oleh orang yang ingin membunuh mereka.

Setiap saya datang ke rumah warga untuk berilaturrahmi terutama di desa bawah (di desa ini dibagi menjadi dua wilayah, yang satu dinamakan desa bawah tempat dimana saya tinggal yang mayoritas penduduknya beragama Islam, sedangkan yang lain dinamakan desa atas yang mayoritas penduduknya beragama kristen), mereka dengan bangganya bercerita tentang masa lalu mereka. Akan tetapi sekarang bertahun-tahun sekembalinya mereka dari pengungsian, banyak hal yang telah berubah. Saat ini penduduk kampung atas dan penduduk kampung bawah sudah jarang sekali atau bahkan tidak pernah saya lihat saling bertegur sapa. Jangankan untuk saling bertegur sapa, saling berbagi menggunakan alat transportasi laut menuju kota saja mereka tidak mau saling berbagi. Bahkan disini tiap-tiap level ada dua jenis sekolah dari tingkatan SD sampai SMA. Jadi yang negeri mayoritas muridnya berasal dari kampung atas sedangkan yang berbau bau Islam seperti MI, MTS dan MA kebanyakan atau hampir semua siswanya berasal dari kampung bawah. Hal itulah yang trkadang membuat saya miris. 

Jadi saya tidak bisa tinggal diam melihat semua ini terjadi, apalagi melihat latar belakang mereka semua bersaudara, sangat disayangkan sekali. Diam-diam saya merencanakan sesuatu, jadi saya memiliki pandangan apabila memang pikiran orang-orang tua terutama di desa bawah sudah tidak bisa diubah kenapa saya tidak melakukan pendekatan saja kepada anak-anak muda di desa ini. apalagi anak-anak muda biasanya mudah untuk menerima masukan. Bekerjasama dengan Ikatan Remaja Bibinoi (IRBI), salah satu pengajar muda lain yang satu penempatan dengan saya, dan pihak-pihak pendukung lainnya, kemudian kita berencana mengadakan camp bagi remaja disini, sekaligus momennya juga bertepatan dengan seleksi anggota baru IRBI. Maka kita buatlah seleksi itu seprofesional mungkin hampir sama dengan seleksi masuk anggota Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) di kampus Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) di SMA. Hal ini ditujukan agar mereka dapat merajut tenun kebangsaan dan tenun keberagaman minimal dimulai dari desa mereka terleih dahulu, dan juga alasan lainnya agar mereka juga dapat merasakan bagaimana masa ospek itu, karena terus terang mereka belum pernah sekalipun merasakan masa orientasi (jangankan masa orientasi, kegiatan belajar mengajar saja jarang mereka dapatkan karena faktor keterbatasan guru dan guru yang ada belum kompeten). Maka dengan semangat ‘45 kita mulai membuat rangkaian acaranya. Tepat pada saat pendaftaran, kita benar-benar dibuat kaget yang mendaftar ada sekitar 60-an lebih yang kebanyakan justru berasal dari siswa SMP dan MTS. Jauh dari prediksi kita yang mungkin kita perkirakan hanya ada 20 orang saja yang mendaftar. 

Rangkaian acaranya dimulai dengan proses wawancara, modelnya seleksinya hampir sama seperti audisi Indonesian Idol, jadi 3 juri dan satu peserta. Nah, masing-masing juri berhak memberikan penilaiannya meskipun berbeda satu sama lain, dan peserta tidak hanya harus pintar dalam menjawab pertanyaan yang diberikan tapi juga harus mampu dan berani menunjukkan bakat yang dia punyai. Beberapa hari kemudian acara dilanjutkan pada acara inti yakni camp calon peserta IRBI. Dari sini saya sebenarnya sudah mulai khawatir akan timbul penolakan-penolakan, karena beberapa peristiwa memancing adanya konflik. Seperti ada beberapa norma-norma desa yang sengaja atau tidak saya langgar. Seperti mengumpulkan mereka semua baik laki-laki atau perempuan baik dari kampung bawah maupun kampung atas dalam satu truk. Saya tidak dapat berbuat banyak karena pertama transportasi yang ada memang hanya satu-satunya dan juga truk itu hanya bisa dipakai sekali jalan karena selanjutnya si sopir truk akan melanjutkan pekerjaan sebelumnya jadi waktunya memang tidak banyak. Lanjut ke masalah yang lain, tepat pada saat pemberangkatan, azan ashar berkumandang dan kita melewati masjid dimana disan sudah banyak orang berkumpul dan tentunya yang lebih membuat kaget di masjid itu juga ada bupati. Oke, semakin lengkap pula kekhawatiran saya. 

Singkat kata begitu acara camp itu selesai, prediksi saya ternyata benar. Beberapa warga desa yang semula mendukung kegiatan IRBI mulai melarang anak-anaknya untuk mengikuti segala kegiatan yang berhubungan dengan IRBI. Karena banyak isu yang beredar bahwa dalam camp tersebut laki-laki dan perempuan kumpul jadi satu, dan ada beberapa games yang menurut mereka haram untuk dilakukan. Memang saya akui ada beberapa outbond games yang memang butuh saling berpelukan satu sama lain, yang dinamakan Titanic atau mungkin biasa dinamakan Shinking Ship. Akan tetapi niat saya hanya satu untuk mempererat tali persaudaraan diantara mereka bukan untuk saling aji mumpung apalagi memancing tindakan pelecehan antar peserta. Dan terbukti mereka setelah kegiatan itu lebih dekat satu sama lain. Dari sini saya langssung meneguhkan hati jadi apapun kendalanya pasti akan saya hadapi, karena saya tahu niat baik pasti tidak akan selamanya berjalan mulus. Dan biarkan saja mereka berkata apa karena selama saya yakin apa yang saya lakukan benar Insya Allah Tuhan akan selalu bersama saya. Hasil dari camp itu benar-benar membuat saya bangga, dulu jarang sekali ada anak kampung atas jalan bersama dengan anak kampung bawah, akan tetapi setelah camp itu banyak sekali saya temukan mereka jalan-jalan bersama pada sore hari. Belajar bersama, memasak bersama seringkali saya temukan selepas acara camp. Bahkan banyak warga kampung atas memberikan apresiasi positif pada kegiatan tersebut, untuk kampung bawah mungkin mereka masih belum dapat memahami itu tapi perjuangan belum sampai disini. Disini saya seperti anggota DPR atau orang yang sedang melakukan kampanye berusaha untuk selalu bersilaturrahmi ke semua warga desa baik di kampung atas maupun kampung bawah. Mulai dari Imam sampai pendeta, mulai dari merayakan Idul Adha bersama sampai Natal dan Paskah bersama. Semua itu demi niatan saya melihat warga desa bibinoi kembali hidup harmonis seperti zaman dahulu kala, bukan menjadikannya sebagai dongeng atau cerita rakyat yang hanya bisa dibanggakan kepada warga pendatang di desa tersebut tapi praktek di lapangannya, hal itu sudah lama musnah.  


Cerita Lainnya

Lihat Semua