Awas, Palaka !!!

Anita 5 Maret 2012

Jumat sore itu, ketika sedang memberikan les tambahan untuk kelas V, desa Torosubang diguyur oleh hujan lebat. Tepat ketika les usai, hujan pun mulai reda meninggalkan titik-titik air yang tidak lagi deras. Saya dan anak-anak dengan santai berjalan pulang dari sekolah. Tidak mempedulikan hujan yang seakan tidak bernyali saat itu. Tiba-tiba salah satu anak nyeletuk, “Ibuuuu..batoboh yuk, Buk”. Tanpa babibu, tawaran itu langsung ku-iyakan. Terdengar suara anak yang lain ikut bersorak riang. “Ibu, torang pulang baganti dulu ya buk e. Tunggu kita ya buk”. Begitu pesan mereka sebelum pulang untuk berganti pakaian.

Memang sudah lama aku tidak berenang dengan anak-anak. Apalagi air laut setelah hujan sangat menggoda untuk menyebur ke dalamnya. Langsung saja kutaruh tas di dalam kamar, berganti pakaian, menyiapkan baju ganti dan perlengkapan mandi untuk mandi air bersih setelah berenang. Anak-anak sudah menantiku tidak sabar di luar rumah. Tempat berenang favorit kami adalah di belakang rumah panggung keluarga piaraku. Rumah itu lebih maju ke tengah laut sehingga dengan menyebur dari beranda belakang, kami sudah dapat menikmati air laut yang sangat jernih.

Seperti acara batoboh sebelumnya, ritual yang kami lakukan untuk berenang adalah melompat dari beranda belakang rumah panggung. Eitss... apakah saya sudah bisa berenang? Tentu belum. Lalu bagaimana caranya saya bisa menyebur dengan anak-anak di laut yang cukup dalam itu? Perlu saya laporkan bahwa kemajuan saya dalam hal berenang adalah saya tidak pernah lagi memakai pelampung di tubuh saya ketika berenang ataupun menyebur ke dalam laut. Apakah itu artinya saya sudah bisa berenang? Sekali lagi, tentu saja tidak. Cara berenang saya adalah dengan meminta salah satu anak menanti saya di laut dengan pelampung. Saya akan menyebur, berenang sedikit lalu bergelayutan di pelampung itu. Please, underline. Bergelayutan. Itulah progres saya. Saya menggantungkan badan saya di pelampung, tanpa mengikatkan tali pelampung itu di tubuh saya. Tidak seperti pertama kali saya berenang disini.

Anak-anak pun gembira dengan kemajuan saya. Mereka selalu gembar gembor kalau saya sudah bisa berenang. Padahal saya paham dengan sesadar-sadarnya bahwa saya tidak mampu berenang jika lebih dari 2 atau 3 meter. Begitupun ketika mendayung perahu, saya sama sekali tidak memakai pelampung. Selain membuat repot, saya akan terlihat sangat lucu mengenakan pelampung oranye, duduk diatas perahu kecil yang didayung oleh bocah-bocah puluhan tahun lebih muda dari saya. Maka saya telah membiasakan tidak mengenakan pelampung jika mendayung. Setidaknya jika perahu terbalik, saya masih bisa bergelayutan di atas perahu, yang pastinya akan mengambang kan? Itu perkiraan saya.

Dengan bermodal asumsi itu, saya berperahu dengan anak-anak. Terkadang saya mendayung, namun lebih sering saya kembalikan ke anak-anak karena ketika saya yang mendayung, perahu menjadi berputar-putar di tempat yang sama. Di atas perahu ada 3 anak murid saya yang ikut, sementara yang lain saya minta berenang dekat rumah panggung saja dulu. Lalu insiden itupun terjadi. Dari rumah panggung sebelah, ada siswa SMP yang melemparkan jambu Bagea, sejenis jambu monyet yang saya akui memang nyamang (enak).

Tentu saja, kurcaci- kurcaci di perahu yang saya tumpangi langsung antusias bergerak sana sini bahkan ada yang mencoba berdiri di atas perahu untuk menangkap jambu yang dilemparkan oleh anak SMP tadi. Perahu balenggang (bergoyang), akibatnya air dari sisi kiri dan kanan mulai mengisi perahu. Volume air yang masuk membuat perahu menjadi tidak mengapung lagi, tapi melayang (Ayo, apa bedanya mengapung dengan melayang?).

Anehnya saya tidak panik saat itu. Saya malah tertawa keras karena akan menarik sekali jika perahu ini benar-benar palaka (tenggelam). Palaka, bagi orang Bajo berarti perahu terbalik seperti cerita Tangkuban Perahu. Saya justru penasaran bagaimana rasanya jika saya ikutan palaka. Tidak ada rasa takut, tapi justru merasa tertantang. Yang panik justru anak-anak saya. Mereka tahu saya belum tahu benar berenang. Irga, salah satu anak di perahu berteriak, ”Ibu, bikin seperti ini Buk!”. Saya melihat dia mengeluarkan kedua kakinya ke pinggir perahu sehingga posisi duduknya seperti menunggangi kuda. Ide yang brilian. Posisi demikian akan mencegah perahu terbalik.

Saya menirukan posisi duduk Irga dan 2 anak yang lain. Situasi yang lucu sekali sampai saya ikutan tertawa. Malah, dengan posisi seperti itu saya masih sempat berebutan jambu Bagea dengan anak-anak. Irga yang khawatir dengan kondisi saya, berteriak memanggil salah satu yang sedang berenang. “Bantuaaannnn... Pelampung cepaaattt!!!”, dia berteriak seperti orang yang membutuhkan bantuan dari Tim SAR. Saya hanya tertawa melihat Irga karena dengan suara canda tawa anak-anak di sekitar saya, sungguh tidak ada yang saya takutkan. Bahkan jika saya harus mengalami yang namanya tenggelam, I dare for that.


Cerita Lainnya

Lihat Semua