Siapa BILANG di Perbatasan Tidak Ada Perayaan ?

Didit Priyanto 1 Oktober 2013

Adaut, 17 Agustus 2013

68 tahun sudah, negara kita tercinta, Indonesia merdeka dari tangan para penjajah. Bapak Proklamator kita, Ir. Soekarno dan Moehammad Hatta, telah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, sehingga kita, bangsa Indonesia bisa menjadi bangsa yang berdiri sendiri.  Tentunya telah didukung oleh seluruh rakyat Indonesia, yang telah berjuang sampai titik darah penghabisan untuk memerdekakan bangsa ini dari kebodohan, kemiskinan dan keterpurukan. Sebuah hal yang tidak mudah kala itu, perjuangan panjang yang dilakukan para pahlawan dengan mengorbankan harta benda bahkan nyawa. Selanjutnya, apa yang telah kita berikan untuk bangsa ini ?Sudah sepatutnya, apa yang telah diperjuangkan oleh para pejuang ini kita hargai dan kita rayakan.

Dan sudah menjadi tradisi sebagian besar rakyat Indonesia, tanggal bersejarah bagi bangsa Indonesia itupun dirayakan dengan berbagai acara. Bisa kita lihat beraneka macam lomba di adakan, bendera merah putih dikibarkan di mana-mana, warna rumah pun diganti dengan nuansa merah putih, kegiatan sosial, bahkan doa bersama pun dilakukan demi memeriahkan kemerdekaan bangsa ini. Tak terkecuali, di kecamatan tempat saya bertugas sebagai Pengajar Muda, kecamatan Selaru. Kecamatan yang beribukota di desa Adaut ini, merupakan salah satu kecamatan yang ada di kabupaten Maluku Tenggara Barat, provinsi Maluku. Kecamatan Selaru merupakan sebuah kepulauan, yang terdiri dari 7 (tujuh) desa di dalamnya. Yaitu Adaut, Kandar, Lingat, Namtabung, Werain, Fursuy dan Eliasa. Jika dilihat dalam peta, merupakan sebuah pulau yang kecil dan belum terlalu populer. Pulau Selaru merupakan pulau yang langsung berbatasan dengan lautan Arafura-Australia. Tepat di desa Eliasa telah di bangun Mercusuar, sebagai tanda desa terluar dari Indonesia di bagian timur.

Minggu, 4 Agustus 2013, kegiatan perlombaan tingkat kecamatan yang diselenggarakan di Adaut di buka oleh bapak Poly, wakil Bupati Maluku Tenggara Barat. Lomba yang dipertandingkan meliputi bidang olah raga dan kesenian. Untuk olahraga, cabang yang dipertandingkan adalah bola kaki, bola voli dan gerak jalan indah. Untuk kesenian, lomba yang dipertandingkan adalah pop song, paduan suara, dan poco-poco. Bukan tanpa pengorbanan warga selaru mengikuti kegiatan perlombaan ini. Selama 14 hari, terhitung dari tanggal 4- 17 Agustus 2013, warga dari masing-masing desa ini meninggalkan kampung halaman untuk sekedar memeriahkan lomba dan berjuang mendapatkan piala kemenangan. Mereka berbondong-bondong pergi baik melalui perjalanan darat maupun laut dan menetap di Adaut selama kurun waktu 2 (dua) minggu. Menginap di ruang kelas sekolah dengan perlengkapan seadanya. Ya, mereka meninggalkan aktivitas rutin mereka, tidak bekerja, tidak mencari ikan, tidak mengurus rumput laut ataupun aktivitas lainnya. Mereka totalitas untuk berlomba!Totalitas memeriahkan HUT Kemerdekaan meski di perbatasan!

Panas terik matahari tidak mengurangi semangat dari masing-masing kontingen saat bertanding. Seperti terlihat ketika lomba poco-poco, yang diselenggarakan di pagi hari, meskipun udara sangat panas dan ditepi lautan, tidak mengurangi sedikitpun semangat mereka bertanding. Dengan sigap dan semangat, mengenakan kostum menarik, mereka bergoyang poco-poco dengan iringan musik lagu khas Maluku. Jujur saya “tersentil”. Mencoba mengintrospeksi diri, sejauh mana rasa nasionalisme yang saya miliki saat ini. Mereka yang di perbatasan tengah semangat memeriahkan kemerdekaan, mempersiapkan segala keperluan dengan baik. Bagimana dengan kita yang berada di tengah segala kemudahan, dekat dengan ibukota?

Puncaknya adalah Sabtu, 17 Agustus 2013, pelaksanaan Upacara HUT RI ke 68 pun di selenggarakan di lapangan yang berada tepat di depan kantor Kecamatan Selaru. Seluruh elemen masyarakat berkumpul memadati lapangan untuk mengikuti upacara diantaranya siswa PAUD, TK, SD, SMP dan SMA di Adaut, kepala desa, guru-guru, pegawai kecamatan, kontingen-kontingen dari masing-masing desa, pegawai puskesmas, TNI, purnawirawan dan tentunya warga yang tadinya hanya menonton tapi diharuskan  mengikuti upacara. Bertindak sebagai Inspektur Upacara adalah Bapak J. Kelmaskosu, camat Selaru. Sementara bertindak sebagai pasukan pengibar bendera (paskibraka) adalah siswa-siswi SMA N Selaru yang telah diseleksi oleh tim dari polsek Selaru dan mengikuti pelatihan intensif selama 3 (tiga) minggu.

Upacara perayaan HUT Kemerdekaan ini pun berlangsung dengan khidmad. Terlebih ketika  sang saka merah putih dikibarkan dan lagu Indonesia Raya di kumandangkan. Perasaan haru dan bangga adalah yang saya rasakan saat itu. Haru karena tatapan mata ini melihat merah putih yang dikibarkan dilatarbelakangi  keindahan laut perbatasan. Bangga, karena pasukan pengibar bendera pun dengan sangat baik melaksanakan tugas mulianya. Tak ada bedanya dengan  mereka yang mendapatkan amanah untuk menjadi petugas upacara di istana negara. Pengalaman ini adalah  kali pertama bagi saya mengikuti upacara bendera di sebuah pulau  kecil dan berada di perbatasan. Jika selama ini banyak media menyajikan berita tentang mirisnya di perbatasan saat HUT Kemerdekaan, justru saya menjadi saksi dari kaca mata yang lain. Di perbatasan, di sebuah pulau kecil yang jauh dari Jakarta, jauh dari istana negara, upacara bendera “sekelas” di istana pun dapat diselenggarakan. Di perbatasan, kami pun masih Indonesia!


Cerita Lainnya

Lihat Semua