Coretan Tinta, 7 Hari Pertama di Penempatan !

Didit Priyanto 1 Oktober 2013

Sabtu, 15 Juni 2013

Tepat pukul 07.30 WIT, empat belas pengajar muda penempatan Maluku Tenggara Barat (MTB) dan Fak-fak tiba di Bandara Pattimura - Ambon. Ya, pesawat lion air telah mendarat dengan selamat di kota penghasil rempah-rempah ini, setelah menempuh perjalanan selama 3,5 jam dari Bandara Soekarno Hatta - Jakarta. Rintikan hujan ringan menyambut kedatangan kami. Di Bandara ini pulalah, kami harus berpisah. Pengajar muda MTB dan Fak-fak berpisah untuk melanjutkan perjalanan masing-masing dengan pesawat yang berbeda. Berpelukan dan foto bersama menjadi ceremony perpisahan sederhana yang kami lakukan di depan $pintu keluar Bandara. Perasaan haru diantara kami tidak bisa dihindarkan.

Kami bertujuhpun yang mendapatkan amanat untuk mengabdi di MTB segera mengurus perjalanan berikutnya, yaitu ke Saumlaki, ibukota Maluku Tenggara Barat. Pak Max, adalah orang yang pertama kali kami cari, karena beliau adalah orang Trigana air yang sudah menjadi “sahabat” para Pengajar Muda MTB. Dengan bantuan beliau, proses check in pun berjalan lancar.

Pukul 08.00 WIT, pesawat Trigana lepas landas dari bandara Pattimura. Pesawat kecil inipun akhirnya mendarat setelah 2 jam terbang di atas tanah Maluku. Pukul 10.00 WIT, kami sampai  bandara di Saumlaki, ibukota MTB. Hujan besar pun menyambut kedatangan kami. Alhasil, kami pun turun satu persatu menunggu petugas bandara menjemput kami dengan membawakan payung. Meskipun hujan mengiringi kami, namun dua bola mata ini tetap mampu melihat dengan jelas rompi Indonesia Mengajar yang dipakai oleh enam pengajar muda yang menunggu kedatangan kami di depan pintu Bandara. Satu dari mereka, Casandra, tidak dapat datang menjemput kami, karena sedang kurang sehat dan masih di desa tempatnya bertugas, Lumasebu. Wajah sumringah dan senyum lebar pun menghiasi wajah mereka, ketika melihat kami yang telah tiba dengan selamat. Penerus mereka!

Perjalanan berikutnya, kami di bawa menuju tempat penginapan di Saumlaki. Galaxy hotel adalah tempat yang dipilih oleh para pengajar muda IV sebagai tempat kami beristirahat, sebelum nantinya kami menuju ke desa masing-masing. Ya, kami bertujuh yang bertugas di MTB akan di bagi ke dalam 7 desa, di 5 kecamatan. Martella bertugas di Desa Adodo Molu, Eko bertugas di Wadankou, Aditya bertugas di Wunlah, Ibrena bertugas di Lamdesar Barat, Intan bertugas di Lumasebu, Bunga di Adaut dan saya sendiri bertugas di Werain. Sesampainya di hotel, langsung kami berganti pakaian untuk mengikuti agenda berikutnya.

Agenda pertama adalah menuju kantor Bupati MTB, bapak Drs. Bizael S. Temmar. Dengan ditemani oleh Bapak Bambang Eko, kamipun bergegas menuju ke kantor bapak Bupati menggunakan oto, sebutan untuk angkutan pedesaan. Mas Eko, adalah panggilan akrab para pengajar muda dari awal untuk Bapak Bambang Eko Priyanto. Beliau secara konsisten yang membantu para pengajar muda selama bertugas di MTB. Mas Eko adalah orang asli Banyuwangi Jawa Timur yang telah 22 tahun bertugas sebagai PNS di MTB. Pak Bito, begitu sapaan akrab kepada bapak Bupati, menerima kedatangan kami di ruang kerja beliau. Obrolan hangat dan canda tawa mewarnai tatap muka kami selama berada  di ruang bapak Bupati, yang berada di jalan Ir. Sokerno, dan belum lama ini diresmikan oleh Bapak Boediono, Wakil Presiden Republik Indonesia. Silaturahmi inipun diakhiri dengan foto bersama.

Lepas dari kantor bapak Bupati, kami berenam, saya, Martella, Ibrena, Billy (PM IV), Dimas (PM IV), dan Hanan (PM IV), berjalan kaki menuju ke radio lokal di Saumlaki, Urayana. Sedangkan rekan yang lainnya kembali ke tempat penginapan. Kunjungan kami pun disambut dengan hangat dan tidak selang lama, kamipun langsung on air. Selama satu jam kami berenam mengudara melalui radio yang sangat populer di kalangan masyarakat MTB. Bagi kami bertiga pengajar muda yang baru tiba, ini merupakan kesempatan kali pertama untuk memperkenalkan diri melalui udara. Obrolan sore yang dikemas secara menarik ini ditutup dengan menyanyikan lagu andalan kami, yang liriknya sebagai berikut:

Katong pe pengajar muda, Tugasnya di MTB, Katong ngajar anak-anak manise, Tujuh orang beda-beda, Tapi tetap bersatu e, Susah senang katong bahu rame-rame, Hei ale ale, mari katong mengajar rame-rame, Hei Tanimbar, Maluku Tenggara Barat, Manise Manise Manise

Selesai mengudara, kami pun kembali ke penginapan, bersiap diri untuk acara berikutnya, yaitu jamuan makan malam dari bapak Kepala Dinas Pendidikan MTB, bapak Holmes Matrutty. Acara makan malam ini juga dihadiri oleh beberapa pejabat dari Pemerintah Daerah (Pemda) MTB. Kamipun pengajar muda, baik IV maupun VI  lengkap hadir, karena Casandrapun, sudah bergabung bersama kami semua. Jamuan ini pun diakhiri dengan acara bernyanyi bersama di salah satu cafe, di Saumlaki. Dan selanjutnya kami kembali pulang ke tempat penginapan.

Minggu, 16 Juni 2013

Hari kedua di Saumlaki. Agenda siang sampai sore adalah makan siang bersama dan membahas mengenai transisi dari pengajar muda IV ke pengajar muda VI. Hari kedua ini diakhiri dengan acara jamuan makan malam di rumah dinas bapak Bupati. Dari jamuan makan malam ini lah, kami akhirnya dipersilakan untuk dapat tinggal di rumah dinas bapak Bupati ketika kami berada di Saumlaki. Ini adalah salah satu bentuk kebaikan dari sosok pemimpin MTB yang sangat rendah hati, dan memiliki kepedulian yang sangat tinggi atas kondisi pendidikan di MTB.

 Senin, 17 Juni 2013

Hari ketiga di Saumlaki diisi dengan  kunjungan ke Rumah Sakit Bergerak dan Kodim. Ya, di Saumlaki terdapat 3 (tiga)  rumah sakit yaitu  Rumah Sakit Bergerak, RSUD dan Rumah Sakit Fatima. Rumah Sakit Bergerak, begitulah namanya, karena kondisi bangunannya yang memang tidak permanen, berbeda dengan rumah sakit pada umumnya. Setelah itu, kami melakukan gladi resik untuk acara lepas sambut di pendopo Bupati bersama beberapa anak dari Lumasebu dan Adaut..

Acara malam di hari ketiga ini diakhiri dengan makan malam di warung nasi goreng Brebes. Ya, ternyata di Indonesia Timurpun,saya masih bisa menemui warung nasi goreng khas jawa dan yang jualanpun asli Brebes. Kesempatan ini jelas kami gunakan sebagai pengobat rindu akan makanan khas Jawa. Nasi goreng gerobak yang sudah 11 tahun jualan ini, ternyata sudah menjadi langganan pengajar muda, sebagai salah satu cara “saving” mengingat harga-harga di Saumlaki yang relatif lebih mahal.

Selasa, 18 Juni 2013

Agenda utama hari keempat adalah lepas sambut pengajar muda oleh bapak Bupati. Acara ini diselenggarakan di pendopo, tepat berada di samping rumah dinas bapak Bupati. Acara dimulai dengan  penampilan paduan suara anak-anak dari Adaut dan Lumasebu yang menyanyikan lagu Terima Kasih Guruku. Kemudian dilanjutkan dengan sharing pengalaman dari Sandra dan Dimas, mewakili pengajar muda IV. Sedangkan perkenalan dari pengajar muda VI, diwakili oleh Martella dan Eko. Untuk meramaikan acara, kami pengajar muda yang baru tiba, juga menyanyikan kembali lagu yang telah kami  nyanyikan saat perkenalan melalui radio urayana. Namun, dalam kesempatan ini, kami menambahkan lagu baru, dengan lirik sebagai berikut:

Ada tujuh orangMengajar di tanimbar,Ada Ibu Tella mengajar di Adodo, Ada Bapak Eko mengajar di Wadankou, Kalo ibu Ibe mengajar di Lamdesar, Kalo bapak Didit mengajar di Werain, Kalo di Lumasebu adanya ibu Intan, Ibu Bunga di Adaut, Wunlah Bapak Adit

*) dinyanyikan menggunakan lagu ampar-ampar pisang.

Acara lepas sambut diakhiri dengan sambutan bapak Bupati, penyerahan cendera mata dan foto bersama. Hari keempat di Saumlaki inipun sebagai hari perpisahan dengan teman-teman pengajar muda yang bertugas di Wunlah, Lamdesar Barat, Adodo dan Wadankou. Karena dihari itu, teman-temanyang di  utara tersebut akan menggunakan kapal feri yang segera akan berangkat. Grasa grusu mewarnai proses check out dari hotel karena waktu yang sudah sangat mepet. Karena bantuan bapak Kadis perhubungan saja, kapal feri ini delay satu jam demi para pengajar muda. Ya, “kebijakan” ini sebagai sebuah bentuk apresiasi karena acara lepas sambut yang sedikit molor dari jadwal yang telah direncanakan.

The real of deplyoment, adalah perasaan yang bergumam dan mucul dalam hati kecil saya. Rasa sedih dan terharu, adalah perasaan yang saya rasakan saat itu. Melepas ke empat teman saya, teman seperjuangan, keluarga baru saya, yang tadinya bersama dan akhirnya harus berpisah menuju ke desa masing-masing. Sesaknya kapal menjadikan mereka harus berjuang untuk dapat masuk ke dalam kapal. Perlahan, kapalpun bergerak dan lambaian tangan kami jadikan sebagai simbol “perpisahan” untuk sebuah tugas mulai sebagai pengajar muda.

Rabu, 19 Juni 2013.

Pukul 12.00 WIT, saya bersama Prita, pengajar muda Werain yang akan saya gantikan, meninggalkan kediaman bapak Bebena. Untuk selanjutnya menuju ke desa penempatan saya, Desa Werain. Desa kecil yang berada di kepulauan Selaru, Maluku Tenggara Barat, yang berbatasan langsung dengan Australia. Sedikit cerita mengenai Bapak Bebena. Beliau adalah camat Tanimbar Selatan, yang rumahnya menjadi tempat singgah para pengajar muda apabila berada di Saumlaki. Sebelumnya, beliau adalah camat Molomaru, yang mana di kecamatan tersebut, terdapat 2 desa yang menjadi penempatan pengajar muda yaitu Adodo Molu dan Wadankou. Kebaikan bapak dan ibu camat kepada pengajar muda sudah mulai dari angkatan pertama. Sungguh kebaikan mereka luar biasa, mulai dari memberikan salah satu kamarnya untuk pengajar muda dan menyediakan makan. Walaupun saya masih baru kenal, saya sudah merasakan kebaikan beliau dan istrinya secara tulus kepada para pengajar muda.

Untuk menuju ke Desa Werain, Prita memilih alternatif melalui Adaut, ibukota kecamatan Selaru. Selanjutnya, saya dan Prita langsung menuju pelabuhan. Disana kami telah ditunggu oleh Bunga, pengajar muda angkatan saya dan Savira, pengajar muda yang akan digantikan Bunga. Bunga yang nantinya akan bertugas di Desa Adaut. Sebagai informasi saja, akses yang dapat saya gunakan untuk menuju desa Werain ada 2 (dua). Yang pertama menggunakan motor laut, langsung dari Saumlaki menuju Werain. Waktu perjalanan yang harus ditempuh minimal 6 (enam) jam. Akses yang kedua adalah menggunakan speed boat atau motor laut menuju Adaut, ibukota kecamatan Selaru. Jika menggunakan speed, hanya sekitar 45 menit, sedangkan apabila menggunakan motor laut, agak lebih lama, sekitar 90 menit, sampai ke Adaut. Dari Adaut, baru lanjut menggunakan ojeg darat menuju Werain, yang waktu tempuh “normal” adalah 3 (tiga) jam.

Speed boat, adalah transportasi yang digunakan oleh Prita, Savira, Bunga dan saya menuju Adaut. Setelah menunggu sekitar 1 jam lebih, akhirnya speed berjalan menuju ke Adaut. Hampir pukul 03.30 WIT, kami sampai di Adaut. Hujan pun menyambut kedatangan kami di Adaut. Dan dengan ojeg, kami pun sampai di rumah orang tua piara Savira yang juga merupakan kepala Desa Adaut. Kamipun langsung dipersilakan makan sore bersama.

Selang tak berapa lama, 2 (dua) ojeg dari Werain pun datang menjemput. Ya, Prita sudah memesan ojeg khusus dari Werain untuk menjemput kami.Akhirnya kami pun bersiap  diri meninggalkan desa Adaut untuk menuju Werain. Meskipun hujan masih turun, kami pun tetap memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju Werain. Bapak Batlayar, begitulah nama Bapa piara Savira, melarang kami untuk melanjutkan perjalanan. Mengingat hujan terus turun dan pasti perjalanan akan susah. Namun, karena akan ada acara lepas sambut malam harinya di desa, maka saya dan Prita memutuskan untuk tetap melanjutkan perjalanan.

Perjalanan yang tidak mudah ini, akhirnya memang kami alami. Jalanan yang sangat rusak, penuh lumpur dan ditambah rintikan hujan yang tidak berhenti mewarnai perjalanan kami. Selain itu, kamipun membawa barang bawaan yang tidak sedikit.  Lebih dari 10 kali, saya harus turun dari motor, karena jalan yang harus di lalui penuh lumpur. Ya, saya turun dari motor demi keamanan, karena saya membawa laptop, alat kerja saya yang harus saya jaga. Pemandangan kanan kiri sepanjang perjalanan hanyalah pepohonan, karena  jalan darat ini memang harus ditempuh dengan melewati jalan hutan. Beberapa kali, kami masih bisa bertatap muka dengan warga yang baru pulang dari kebun dengan membawa hasil kebun nyadan berjalan di bawah rintikan hujan. Di tengah rasa kedinginan, saya pun masih menyempatkan memberi senyum kepada mereka.

Semakin sore, hujan belum juga berhenti, justru semakin lebat. Langit juga semakin gelap dan pemandangan kanan kiri pun semakin tidak jelas. Saya sudah sangat kasihan  dan tidak tega dengan perjuangan Sami, membawa motor dengan badan basah kuyup dan jalan yang penuh dengan lumpur. Akhirnya, saya minta Sami untuk berhenti sejenak dan saya mengambil jaket di dalam tas saya, kemudian menyerahkan ke Sami untuk menggunakannya. Saya befikir, jaket ini bisa sedikit memberikan kehangatan kepada Sami. Bagaimanapun, kami menginginkan perjalanan ini selamat sampai tujuan.  Sedikit penejelasan mengenai Sami. Dia adalah anak Elyasa, desa sebelah Werain, dan sudah lulus dari SMP di Werain. Dia akan melanjutkan  sekolah di Saumlaki. Meskipun saya baru kenal, saya bisa menilai Sami adalah sosok anak yang baik, tulus dalam membantu dan rendah hati. Tidak sedikitpun dia mengeluh dalam perjalanan, meskipun badan dia sudah terlihat gemetar , baju yang dikenakan basah kuyup dan wajahnya pucat. Dengan semangat, dia tetap mengendarai motornya di tengah jalan yang tidak bersahabat.

Setelah lebih dari 2 (dua) jam perjalanan, akhirnya kami menemukan titik terang. Tepat pukul 06.30 WIT, kami sampai di desa Kandar, desa terdekat dari Adaut. Hujanpun masih lebat dan langitpun sudah gelap gulita. Disinilah, saya bertemu kembali dengan warga Werain, yang sebelumnya kami bertemu di speed boat. Dan dua dari mereka, ternyata adalah anak calon orang tua piara saya, yang hendak pulang ke Werain untuk liburan. Akhirnya kamipun berkenalan.

Setelah berdiskusi, diputuskan bahwa perjalanan tidak dapat dilanjutkan karena hujan dan kondisi jalan ke depan yang tidak memungkinkan. Kamipun akhirnya tinggal 1 (satu) malam di desa Kandar, dan  karena kebaikan salah satu warga tempat kami berteduh, kamipun disuguhi teh hangat dan biskuit. Karena perut sudah lapar, dalam sekejapun biskuit yang dihidangkan habis. Haripun semakin malam, akhirnya kami dipisah ke beberapa rumah untuk beristirahat dan melanjutkan perjalanan pagi harinya pukul 06.00 WIT pagi.

Ternyata diluar rencana,pukul 03.30 WIT saya sudah dibangunkan karena perjalanan akan dilanjutkan pukul 04.00 WIT. Tanpa tahu alasan yang jelas, saya hanya ikut saja dan segera berberes. Di tengah kegelapan pagi ditambah udara yang masih sangat dingin , kami melanjutkan perjalanan ke Werain. Total motor yang kahirnya menuju Werain ada 4 (empat) motor. Saya, Prita, anak calon orang tua piara saya, dan bu Kiki (baca : Bung Kiki), suami salah satu guru SD Kristen Werain yang baru pulang dari Saumlaki. Hujan sudah reda, dan tebakan saya adalah jalanan ke depan akan jauh lebih bersahabat. Diluar dugaan saya, baru berselang 10 menit perjalanan, saya harus menghadapi perjalanan yang lebih parah. Ya, jalan yang harus di lewati adalah jalanan yang berlumpur, licin, penuh genangan air dan merupakan jalan setapak yang dijadikan sebagai jalan motor. Susah digambarkan susahnya jalan yang harus kami lalui. Kamipun yang mbonceng harus rela turun dan berjalan kaki lebih dari 40 menit. Lampu dari motorlah yang kami gunakan sebagai penerang perjalanan kami. Dan para pengendara motor jelas berusaha sekuat-kutanya agar motor mereka dalam melalui jalan yang super parah ini.

Terjawab sudah pertanyaan saya, atas keputusan perjalanan yang harus dilanjutkan pagi-pagi buta, tidak sesuai rencana awal, pukul 06.00 WIT. Ternyata, karena perjalanan kami akan melalui jalan pantai. Yang mana apabila sebelum 06.00 WIT, pantai masih meti, sebutan untuk pantai saat surut., sehingga kami dapat berjalan melewatinya. Dan sekitar pukul 06.30 WIT, kami pun sudah sampai di desa Lingat. Desa Lingat adalah desa setelah Kandar dan sebelum Werain. Sedikit plong, karena perjalanan yang penuh dengan perjuangan terlewatkan juga meski belum sampai.

Kamis, 20 Juni 2013

Pukul 07.30 WIT, saya dan Prita sampai di desa Werain. Ya, didesa inilah saya akan bertugas selama satu tahun sebagai pengajar muda. Motorpun berhenti sejenak, dan Prita mengambilkan pasir kemudian menempelkan ke dahi saya sebagai bentuk penerimaan di desa Werain.Perasaan campur aduk, mengisi seluruh rongga tubuh saya. Di satu sisi, saya bersyukur, akhirnya sampai juga ke Werain setelah perjalanan panjang dan melelahkan. Namun disisi lain, ada perasaan yang kaget, karena desa ini sangat sepi dan desa ini yang akan menjadi bagian perjalanan kehidupan saya selama 1 (satu) ke depan. Oleh mama piara Prita, saya pun dikalungkan tenun “selamat datang”, sebagai bentuk penerimaan saya di rumah.

2 (dua) jam berselang, akhirnya saya dan Prita bergegas menuju ke sekolah untuk persiapan acara lepas sambut pengajar muda sekaligus penerimaan laporan pendidikan. Prita memutuskan untuk ke rumah calon orang tua piara saya dulu, untuk berkenalan. Ya, posisi rumahnya memang tepat di samping sekolah. Disilah awal saya bertemu dengan orang tua piara saya, mama Oli dan bapa Sambonu. Mama Oli adalah kepala sekolah SD Kristen Werain dan bapa Sambonu adalah guru SD Kristen Werain. Kembali, kain tenun “selamat datang” pun kembali dikalungkan ke saya oleh mama Oli.

Kami akhirnya bersama mama Oli menuju ke sekolah dan menuju ruang guru. Satu persatu guru pun datang ke Sekolah. Terlihat  juga orang tua siswa datang ke sekolah dan langsung ke ruang kelas, untuk menerima laporan pendidikan putra/putrinya. Sekitar pukul 12an, acara lepas sambut pun dimulai. Acara dimulai dengan penampilan anak-anak kelas 3 sampai kelas 6, menyanyikan lagu khas Maluku. Acara kemudian  dilanjutkan penyampaian kesan pesan oleh Prita dan perkenalan oleh saya kepada orang tua siswa. Kemudian pemberian cendera mata oleh sekolah kepada Prita dan sebaliknya. Acara diakhiri dengan pembagian laporan pendidikan, mulai dari kelas 1 (satu) sampai kelas 6 (enam) oleh wali kelas masing-masing.

Selesai acara, semua guru menuju ke rumah orang tua piara, yang juga mantan kepala sekolah SD Kristen Werain. Saat ini, beliau dipindahkan ke SD Kristen Elyasa, desa setelah Werain. Para guru datang menemani saya dan Prita untuk acara “pindahan” saya dari rumah Prita ke orang tua piara saya yang baru, mama Oli. Masing-masing guru membawakan barang bawaan saya ke rumah yang tidak begitu jauh dari rumah Prita.

Jumat, 21 Juni 2013

Acara di hari ketujuh penempatan adalah permohonan  ijin ke tuan tanah, silaturahmi ke kepala desa dan keluarga besar mama, fam Moriolkosu. Satu persatupun saya mulai kenal, keluarga baru di Werain. Desa yang berbatasan langsung dengan Australia. Desa yang akan menambah cerita dalam perjalanan hidup saya. Desa yang akan menjadi tempat pengabdian saya sebagai pengajar muda Indonesia Mengajar.


Cerita Lainnya

Lihat Semua