Takut Gelap
Diastri Satriantini 6 Agustus 2011Dulu saya takut gelap.
Rindam Jaya dan Gunung Bunder menyembuhkan saya.
Saya memang gengsian, tidak mau orang tahu bahwa saya takut gelap. Karena itu, berbagai jurit malam selalu sukses saya lewati dengan cool dan tenang, sejak masa Pramuka SMP, Pramuka SMA, ospek kuliah, maupun saat Caraka Malam di Rindam bulan April lalu. Tanpa ada orang yang tahu bahwa saya sebenarnya takut gelap.
Bagaimanapun, sesungguh-sungguhnya, saya dulu takut gelap. Terutama bila saya sendirian. Bahkan kalaupun saya berada di rumah sendirian, rumah saya sendiri yang sudah saya tinggali sejak kecil, saya tetap takut gelap.
Karena itu, kalau Caraka Malam masih terkesan mudah bagi saya, maka tidak demikian halnya dengan sesi “Survival” di Gunung Bunder, bulan Mei lalu. Saat itu, saya melewati satu malam tidur di hutan secara sebenar-benarnya. Saya dan Arum tidur berdua di dalam “tenda”, literally di tengah pepohonan dan semak-semak yang rapat.
Kami semalaman bergandengan tangan, bukan karena mesra, tapi karena kami cuma punya satu sama lain (cieeeh hahaha). Semalaman, suasananya bisa digambarkan dengan dua kata: GELAP GULITA. Saat kita tidak bisa melihat apa-apa dengan mata kita, maka otomatis telingalah yang mengambil alih, dan indera pendengaran kita pun menajam. Lucunya, saya dan Arum seolah di-setting untuk bergantian tertidur. Saat saya terbangun, saya melirik ke samping dan mendapati Arum sudah tertidur. Demikian pula sebaliknya, saat Arum terbangun, saya yang tertidur. Padahal, justru pada saat-saat terbangun itulah sangat terasa “suasana hutan”nya. Suara gesekan-gesekan daun, suara benda-benda jatuh, suara gerakan-gerakan, dan suara-suara lain yang hanya Tuhan yang tahu apa sumber suaranya.
Ada suatu waktu di mana saya takut sungguhan. Saya merasa ada yang melempari saya dengan kerikil dari arah kanan. Pluk, pluk, pluk, pluk, pluk, tidak kunjung berhenti. Monyet kah, tupai kah, kucing kah, entahlah, sampai sekarang saya tidak tahu dan tidak ingin tahu. Akhirnya saya terpaksa membangunkan Arum, dan kami pun berpelukan hahaha...
Intinya, pengalaman “Survival” itu sangat saya syukuri. Berada di hutan selama 2 malam itu membuat saya terbiasa dengan kegelapan, hingga saya tidak lagi merasa bahwa kegelapan itu mengancam. Saya disadarkan bahwa tidak ada yang perlu ditakuti dari absennya cahaya di waktu malam.
Di sini, hidup di Lumasebu, saya sudah tidak takut gelap.
Hari ini adalah pertama kalinya saya memasak sahur sendiri, pertama kalinya dalam hidup saya (yeah I know, I’m such a princess... :p). Pengalaman pertama ini pun langsung dilakukan secara ekstrem. Saya masak sendiri dengan tungku kayu bakar (juga yang pertama kalinya dalam hidup saya), sendirian, dalam gelap, dalam kesunyian, di rumah pendeta pula! Kemudian dilanjutkan dengan makan sahur sendirian dalam gelap, dengan headlamp yang hampir habis chargenya, dan dengan sebuah senter yang juga hampir habis chargenya.
Ada dua hal yang sangat saya syukuri: (1) saya sudah bisa berteman dengan gelap, dan (2) betapa Tuhan sangat melimpahi makhlukNya dengan kenikmatan.
Walau begitu jauh dari kampung halaman, tanpa teman dan keluarga, bahkan tanpa seorang pun teman berpuasa, saya masih dilimpahi begitu banyak kenikmatan. Saya masih bisa makan sepiring penuh nasi. Menunya pun istimewa: Nasi Goreng Kornet (meskipun ternyata kurang asin haha) ditemani segelas susu Dancow cokelat hangat. Saya masih punya “teman” yaitu laptop saya, yang dengan setia memutarkan lagu-lagu milik Opick, Bimbo, dan Raihan, menemani saya memasak. Selama saya makan pun surat Ar-Rahman tak putusnya terlantun indah. Juga, siapa bilang saya tidak pernah dengar adzan di sini? Sebentar lagi, pukul 05.07 WIT, adzan Shubuh akan berkumandang dari laptop saya.
Bahkan, saya yang sudah tidak takut gelap adalah satu kenikmatan, bukan? :)
“Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan?” (QS. 55 : 13)
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda