Pembagian Raport dan Tuan Tanah

Diastri Satriantini 23 Juni 2011

09.12 WIT | 07.12 WIB

Hari ini hari pembagian raport bagi kelas 1 s/d 5 dan perpisahan kelas 6 SD Lumasebu. Sudah diumumkan ke seluruh kampung bahwa acara hari ini dijadwalkan akan mulai pukul 08.30 WIT, terutama yang perlu hadir adalah para orang tua murid yang akan mengambil laporan pendidikan a.k.a. raport anaknya. Namun hingga jam segini belum ada satu pun orang tua murid yang datang. Hanya beberapa tamu undangan yang sudah mengisi aula, seperti bapak ketua Komite Sekolah dan bapak mantan kepala SD Lumasebu.

Mungkin saya terlalu cepat menyimpulkan—padahal baru 2 hari di sini—tapi apa yang saya lihat hari ini seolah mengindikasikan kurangnya “rasa memiliki” orang tua (baca: warga desa) terhadap SD Lumasebu ini. Diundang ke acara perpisahan putra-putri mereka yang lulus SD, plus pembagian raport untuk siswa kelas 1 – 5, seolah bukan merupakan hal penting bagi mereka. Padahal mereka pun tidak ada kegiatan yang dilakukan di rumah.

Saya pun merumuskan sebuah jargon: “Community involvement in education”. Yak, itu dia. Keterlibatan masyarakat Lumasebu dalam mendukung pendidikan anak-anak mereka harus lebih ditumbuhkan lagi.

Saya jadi teringat saat Direct Assessment di Surabaya. Topik ‘community involvement’ ini jugalah yang menjadi perdebatan hangat dengan teman-teman kelompok saat itu—satu diantaranya adalah yang kemudian menjadi Ketua Angkatan PM II, Jaka Arya Sakti J. Community comprises of parents, and parents are one of the key factor in supporting children’s education. Saya ingat, Jaka saat itu bilang, bahkan tokoh-tokoh dalam Laskar Pelangi pun mendapat dukungan penuh dari orang tua mereka untuk terus, terus, dan terus menuntut ilmu.

Kini, pertanyaannya adalah: pendekatan macam apa yang bisa digunakan untuk menumbuhkan dukungan penuh orang tua atas pendidikan anaknya, di desa kecil macam Lumasebu ini?

Yang sudah terpikirkan oleh saya sebagai tugas pertama adalah mengambil hati masyarakat desa sebesar-besarnya. Saya adalah penganut aliran personal approach dan one-on-one approach. Maka, sepertinya yang bertengger di puncak To-Do List saya adalah bertandang dan mengobrol ke rumah-rumah warga desa di sore hari. Saya perlu tahu, siswa A siapa orang tuanya dan rumahnya di mana. Tidak perlu ada “ceramah” dulu. Yang penting mereka mengenal saya lebih dekat.

Jangan lupa juga untuk membuat sekolah menjadi suatu konsep yang menarik, bukan hanya bagi anak-anak tapi juga bagi orang tuanya. Tampilkan students’ performance di tiap acara sekolah, ajak anak-anak membuat prakarya, pokoknya segala hal yang bisa terlihat oleh orang tua yang mengamati dari luar pagar sekolah. Tangible things. Juga, saat ada acara sekolah, saya mau keliling kampung dengan ceria pada sore hari sebelumnya, mengingatkan para orang tua murid untuk datang esok pagi pukul sekian-sekian. Hehe.

Any more ideas? :)

 

20.00 WIT | 18.00 WIB

Done. Akhirnya saya sudah sowan ke rumah Tuan Tanah dan mengikuti ritual adat bagi pendatang di desa ini.

Ikut serta dalam ‘upacara’ ini adalah Bapak Tuan Tanah, istrinya, seorang putri/menantunya, seorang putra/menantunya, Ibu Torim, Ibu Loupatty, Bapak & Ibu Lasuatbebun, dan saya sendiri.

Tidak seperti perkiraan sebelumnya, saya tidak perlu (berpura-pura) minum sopi dalam ritual adat ini. Bahkan saya ditawari pun tidak. Bahkan ritual mengedarkan segelas sopi untuk disesap tiap-tiap orang di ruangan itu pun tidak ada.

Ritualnya hanyalah berdoa dalam bahasa daerah, dipimpin oleh Bapak Tuan Tanah, sementara semua orang lain menundukkan kepala. Setelah selesai berdoa, Tuan Tanah mengambil kapur dan sirih, meletakkannya di lantai dan menginjaknya. Berikutnya, Tuan Tanah menuang sedikit sopi ke dalam gelas, lalu menumpahkannya ke atas kapur dan sirih di lantai tadi. Tidak ada sepatah kata ataupun bahasa tubuh yang bertujuan meminta saya minum sopi atau mengangsurkan segelas sopi pada saya, maupun orang-orang lain. Sudah. Hanya begitu saja dan ritual adat menyambut pendatang ini pun selesai. :)


Cerita Lainnya

Lihat Semua