Hari Pertama di Lumasebu

Diastri Satriantini 22 Juni 2011

Jam 06.17 WIT | 04.17 WIB

Yak. Malam pertama di rumah baru sudah terlewati. I’ve survived my first 12 hours in Lumasebu.

Tentu, meski baru 12 jam, namun sudah banyak hal baru yang saya lakukan. Untuk pertama kalinya saya mandi dengan memandangi langit biru. Dan hujan pula, haha. Saat hujan mulai turun, Ibu Torim―kepala sekolah SD Lumasebu―heboh memanggil saya yang sudah di kamar mandi, katanya, “Wah hujan, hujan! Nanti basah kamu...!” Dengan lugunya saya pun menjawab, “Tidak apa-apa, Bu, saya mandi juga basah...” Hehe.

Tenang, kamar mandinya berdinding kok. Hanya saja tidak beratap. Sebenarnya, kalau mau cari untung, panjat saja tebing di sebelah rumah Bu Torim, nah dari situ bisa intip katorang (kita orang) mandi, hehe. Karena itu, sekarang saya sudah mulai menjajaki skill baru, yakni mandi memakai sarung. Saya tidak mau memakai sarung itu menjadi kemben, melainkan saya usahakan menutupi hingga bawah dagu. Ada tekniknya lhoo... Kapan kita menggantikan handuk dengan sarung untuk menutupi badan, bagaimana cara satu tangan memegangi sarung sementara tangan lain mengambil air mandi, dan terakhir, bagaimana cara agar badan tetap tertutupi sarung saat melepas dan memakai baju. Haha.

Rumah host family saya, keluarga Lasuatbebun, memang tidak memiliki WC, boro-boro kamar mandi. Kalau mau mandi atau buang air kecil, saya biasa menyeberang jalan ke rumah Bu Torim. Nah, untuk pup, Bu Torim juga tidak punya WC. Jadilah pagi-pagi uthuk-uthuk saya pergi ke toilet SD saya, nah di sana ada WC.

Keluarga angkat saya terdiri dari kepala keluarga, Bapak Maisala Lasuatbebun―sering disapa Pa Mais, dengan istrinya Ibu Feronika Lasuatbebun―Mama Roni, dan 2 anak mereka, Mathias dan Justina Bunga. Mathias baru saja lulus dari SMA di Waturu, sementara Bunga duduk di kelas 5 SD Lumasebu. Mereka hidup dari hasil bertani dan menangkap ikan. Di musim seperti sekarang, Angin Timur bertiup kencang, sehingga tidak memungkinkan nelayan untuk pergi melaut. Nanti, sekitar bulan September-April barulah Angin Timur mereda dan mereka bisa berlayar mencari ikan.

 

10.04 WIT | 08.04 WIB

Sekarang saya sedang duduk di ruang guru, sambil bersusah payah menahan airmata agar tak menetes.

Saya berjanji, setelah ini tidak akan lagi menonton video berisi slide foto-foto Pengajar Muda semasa kegiatan ekskul Hubla, yang diiringi lagu “Ku Bahagia”-nya Sherina, di tempat umum. Mustinya video itu dilabeli precaution: “WARNING! Jangan menonton video ini di tempat umum. Risiko menangis tanggung sendiri.”

Saya sangat merindukan teman-teman PM. Each and every single one of them.

Saat kita berada di “medan perang” seperti ini—memutar otak sendirian, beramah tamah sendirian, merasa asing sendirian, beradaptasi sendirian—saat itulah terasa betapa kehadiran teman-teman sungguh tak ternilai harganya. That’s what you call priceless.

Oh Gosh...

I want a cellphone coverage. Now. :(

I want to call my friends.

Now.

I miss them so badly.

Di saat inilah saya teringat kata-kata indah Shally, “...maka puncaknya kerinduan adalah ketika kita saling mendoakan.”

Ya Allah, lindungilah teman-teman saya, yang tersebar di seluruh penjuru negeri ini, berjuang.

Mohon kuatkanlah iman mereka, serta jagalah kesehatan, kebahagiaan, dan kelapangan hati mereka.

Amin.

 

14.40 WIT | 12.40 WIB

Oke. Setelah mellowmood mode di ruang guru tadi, yang terjadi siang ini justru SERU! :)

Sekitar jam 13.30 sesudah sholat Dhuhur, saya yang merasa bosan akhirnya mengajak Bunga menemani saya jalan-jalan keliling kampung. Saya mau pigi lihat pantai, lihat gereja, lihat sungai.

Lucunya, di sepanjang jalan tiap kali saya temui anak-anak, mereka akan otomatis ikut jalan di belakang saya. I ended up walking with this huge crowd of kids following me. Walhasil begitu sampai di depan gereja, saya sudah punya buntut berupa 30 anak-anak yang penuh semangat minta difoto. Haha.

Mereka sangat sangat senang difoto dengan kamera saku saya. Untungnya, kamera ini juga punya layar yang luas, sehingga bisa puas melihat hasil jepretan. Jangankan anak-anak, orang dewasa pun excited ingin difoto. Bapak-bapak yang sedang mengerjakan pembangunan Pastori—rumah dinas pendeta—di sebelah gereja pun memanggil saya, minta difoto.

Puas ronda-ronda (keliling-keliling) dan foto-foto, saya pun kembali ke rumah. Di sinilah saya menyesal tidak membawa serta buku-buku cerita anak ataupun permainan anak. Kargo berisi buku-buku yang dikirim dari Jakarta belum sampai di tangan saya. Setelah main tepuk-tepuk dan nyanyi-nyanyi beberapa saat, saya pun mati gaya. Anak-anak saya biarkan main gici-gici (alias engklek) dan main lompat karet, sementara saya menulis jurnal ini. Lucunya, kadang-kadang anak-anak ini berhenti main hanya untuk berkerumun di sekeliling saya dan duduk diam memandangi saya menulis. Hehe...


Cerita Lainnya

Lihat Semua