info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Wall of Fame (part II)

Diah Setiawaty 26 Februari 2011

Irma

Kenapa tulisan dari anak yang satu ini sangat berarti bagi saya? Kita lihat apa yang paling saya ingat darinya

Irma atau biasa dipanggil Sito adalah salah satu anak yang paling hiperaktif dan kritis di kelas. Saya akui saya menganggap dia siswa luar biasa yang sebenarnya paling menonjol. seringkali ia dianggap pembangkang karena  dianggap sering melawan guru. Kalau anda pernah baca tulisan saya yang berjudul Bercak Adalah Warna-warna Mempesona maka anda pasti tahu siapa yang dengan sigap membetulkan meja sekolah yang sudah reyot, lebih tepatnya yang sudah hancur, dan hampir mencelakai saya.

Ketika awal saya datang mengajar, banyak sekali kebijakan saya yang ditentang olehnya.  Mulai dari susunan bangku di kelas, saya ingat Ia marah sekali ketika harus dipindahkan dan duduk dengan teman perempuannya. Hiperaktif dan tidak bisa diatur,  ia tidak mau menulis apa yang saya tulis di papan tulis, dan sekalipun ia menulis ia menulis dengan setengah hati sehingga tulisannya tidak dapat dibaca. Sembarang aja dalam bahasa lokal untuk menggambarkan tulisannya yang asal-asalan.

Irma adalah orang pertama yang benar-benar member kritik dan saran kepada saya melalui Magic Box. Ia berkata “Saya tidak suka kalau Ibu diam saja, kalau anak-anak rebut. Marahi saja mereka itu Bu, tidak apa kalau Ibu di benci mereka.”

Saya terlambat menyadari bahwa Irma berbuat onar untuk mendapatkan perhatian, dan saya tidak menanggapinya. Tidak seperti guru-guru lain dan itu membuatnya marah kepada saya. Mungkin ada baiknya juga, saya mengajarinya bahwa dirinya tidak akan mendapat perhatian dari saya dengan melakukan keonaran.

Saya terkegun, kaget, sekaligus geli membaca tulisan Irma karena satu-satunya anak yang ribut di kelas ketika saya mengajar adalah Ia. Ia seringkali bersenandung dengan keras ketika anak-anak lain belajar, terkadang saya menegurnya karena suaranya mengganggu. Tetapi kemudian saya biarkan karena mungkin itu gayanya belajar, dan anak-anak lain juga sepertinya tidak terganggu dengan senandungnya.

Minggu berikutnya ketika saya mengajar Bahasa Inggris di kelas, ia melakukan banyak keonaran dan saya mengikuti sarannya. Saya  banyak menegurnya dengan harapan tindakan saya cukup tegas. Sepulang sekolah ketika  saya membuka kotak saran saya melihat tulisan, “Saya tidak suka Ibu Diah karena suka marah-marah.””


Fiuuh... saya menghela napas panjang, mungkin saya tidak sadar saya terlalu keras kepadanya hari ini. Saya belajar banyak darinya, bahwa tegas bukan berarti marah-marah.

Irma jarang sekali ikut les Bahasa Inggris  yang saya adakan setiap minggunya. Saya pun terkaget-kaget ketika suatu sore teman-temanya berkata bahwa Irma bilang dia tidak mau ikut les

“Munyak aku belajar Bahasa Inggris terus” katanya kepada teman-temanya

Saya sedih sekali, tetapi sore itu saya juga senang karena Irma datang, walaupun ia tidak belajar dan katanya mau main bola. Ketika saya mengajaknya belajar ia berkata

“Saya hanya mau mampir aja Bu, karena mau main bola” tetapi ia melihat teman-teman sekelasnya les dan berjanji akan ikut les minggu depan. Itu sudah lebih dari cukup bagi saya, meskipun teryata minggu berikutnya ia kembali tidak hadir.

Suatu siang ketika pulang sekolah ia pernah berkata kepada saya,

“ Bu Susi ndak turun hari ini katanya takut sama Ibu”

Saya kaget,  seingat saya susi masih jogging bersama saya hari sebelumnya,  lalu saya tanya takut kenapa dia? Irma pun menjawab

“Itu Bu katanya kemarin dia menciprat wajah Ibu dengan air, makanya ia takut dimarahi.”

Saya pun flashback ingatan saya, ya memang ketika jogging dengan saya anak-anak sempat main air di parit dan menciprat wajah saya. Susi meminta maaf kepada saya dan saya menjawabnya dengan bercanda dan tertawa-tawa “Tiada maaf bagimu” sambil berlari meninggalkannya. Tetapi murni itu hanya bercanda dan saya bahkan sempat mengobrol lagi dengan Susi sebelum akhirnya benar-benar berpisah. Jangan-jangan ia takut karena berpikir ia tidak akan dimaafkan.

Saya pun berkata kepada Irma “Irma tolong bilang ke Susi ya, Ibu ndak marah”

Irma mengayuh sepedanya cepat-cepat sambil berteriak “Saya bilang Ibu marah!”

Arrghh...saya panik, singkat cerita saya dan Ibu Kades pergi kerumah Susi untuk menjernihkan persoalan. Saya berniat minta maaf karena takut Susi tidak boleh bersekolah lagi, mengingat di semester satu dia hampir putus sekolah setelah lebih dari satu bulan tidak masuk sekolah. Kakaknya yang biasa dipanggil Gue, putus sekolah di kelas tiga , setelah hampir mencelakai anak ketika ia bercanda di sekolah, saat itu dia melempar mata temannya dengan sapu lidi, hampir saja membutakan mata jika tidak meleset sekian derajat, sehingga hanya melukai pipi si korban saja.  Setelah saya meminta maaf kepada orang tua Susi barulah saya tahu bahwa ternyata Susipun tidak masuk sekolah karena kesiangan bukan karena takut. Alangkah marahnya saya kepada Irma saat itu, mengingat rumah Irma di sebelah rumah Susi saya ingin sekali melangkah dan berbincang-bincang dengan orang tua Irma mengenai anaknya. Tetapi saya menahan diri, saya tidak ingin lagi ada konflik tidak penting dan kesalahpahaman yang terjadi. Saya pun merasionalisasikan bahwa Irma hanya menyampaikan rumor yang beredar di kelas. Asumsi saya terbukti , keesokan hari ketika saya bertanya kepadanya kenapa ia bicara begitu, padahal Susi tidak masuk karena kesiangan ia pun menjawab:

“ Bilangnya teman-teman begitu Bu, bilangnya susi tidak masuk karena takut”

Saya bersyukur saya tidak melangkah ke rumah Irma saat itu...

Minggu ketika saya akhirnya mendapat kata sayang darinya darinya, seperti yang bisa dilihat di posting sebelumnya ia menulis. Saya sayang kepada Ibu, sebelumnya saya tidak sayang kepada Ibu. Itu adalah minggu ketika saya memasukkan namanya kedalam salah satu soal ulangan perbaikan. Soalnya adalah menerjemahkan Bahasa Indonesia ke dalam Bahasa Inggris. Saya menulis: Irma sangat pintar

a.       Irma is very smart

b.      Irma is very stupid

c.       Irma is very...

d.      Irma is very...

Ia pun bertanya, “Bu kenapa nama saya ada di soal Bu?”

Saya menjawab dengan tersenyum “Karena kamu pintar”

Ya meskipun ia tidak mengerti pelajaran Bahasa Inggris atau pelajaran apapun yang menulis dan membaca ia selalu menang untuk games-games yang saya adakan di dalam kelas. Ia punya intuisi yang bagus dan sebenarnya daya tangkap yang baik, hanya saja ia agak malas untuk mengingat apa-apa yang tidak menarik baginya. Hari itu ketika ia mengumpulkan ulangan ia berkata, “Ibu saya hanya menyontek dua soal, saya jujur Bu. Tapi saya paling senang soal yang ini Bu, soalnya ada nama saya di dalamnya. “ ujarnya sambil tertawa-tawa

Saya pun menjawab.

“Saya hargai kejujuranmu Irma, tapi lain kali jangan menyontek ya. Saya pun mengumkan sekali lagi kepada murid-murid kalau sampai ketahuan mencontek, ia terpaksa harus keluar kelas dan tidak mendapatkan nilai sama sekali untuk ulangan itu. Yang mengagetkan ..Irma mengangguk setuju, afirmatif untuk pertama kalinya selama tiga bulan saya mengajar di kelas V

Saya piker untuk anak-anak hiperaktif seperti Irma, kegiatan yang membutuhkan banyak gerak atau kinesketik sangat menyenangkan, siang itu setelah ulangan harian saya membuat  kegiatan Amazing Race. Yaitu mengumpulkan berbagai kosakata bahasa Inggris yang saya tempel di kertas post it kuning pada tempat-tempat tertentu di sekolah. Hal ini ditujukan untuk mengajarkan nama-nama lingkungan sekolah, seperti perpustakaan: library, saya membagi mereka dalam kelompok dan meminta mereka mengumpulkan sebanyak-banyaknya kosa kata dalam Bahasa Inggris serta menebak artinya dalam waktu yang secepat-cepatnya. Petunjuknya hanya satu: artinya adalah nama tempat di mana kalian menemukan kosa kata tersebut. Anak-anak sangat menyukai permainan tersebut, terutama Irma dan benar saja meskipun kelompok Irma bukan yang tercepat tetapi kelompoknya lah yang mendapat nilai paling tinggi.

Siang itu saya kaget melihat tulisan acak-acakan di dalam kotak saran, meskipun tidak diberi nama saya langsung tahu bahwa itu tulisan Irma.

“Saya sayang Ibu Diah, tadinya saya tidak sayang terhadap Ibu Diah.”

Saya tertawa terbahak-bahak seraya bercerita riang kepada Ibu Kades.

Tapi itu hanya penampakan dari luar, dari dalam saya terduduk lemas dan bahagia, betul-betul seperti mendapat jawaban surat cinta, mendapat jawaban akan kerja keras saya. Dan saya betul-betul bertekad untuk dapat mengajar lebih kreatif lagi, agar tidak kehilangan dirinya dan menumbuhkan minatnya untuk menyukai bahasa Inggris, atau setidaknya tidak akan berkata b

“Munyak aku belajar Bahasa Inggris terus!”

 Saya cukup senang sekali mendapatkan surat itu, meskipun kisah saya dan Irma masih panjang dan perjuangan tentu saja tidak berhenti di sinI, terutama karena surat terakhir yang saya dapatkan darinya adalah:

"Saya benci Ibu Diah, karena Ibu Diah jahat sama saya, karena itu saya benci saya"


Cerita Lainnya

Lihat Semua