Rapat Sampai Tengah Malam
Diah Setiawaty 17 Desember 2010
Tanggal 2 Desember 2010 lalu, saya menghadiri Rapat Kordinasi Pembangunan Tahun Anggaran 2011 di Kecamatan Tanah Grogot. Rapat ini diadakan satu tahun sekali sebagai forum aspirasi antara kepala desa dengan Bupati Passer M. Ridwan Suwudi dalam rangka proses penyusunan RAPBD 2011. Rapat dimulai sekitar pukul delapan yang didahului dengan makan malam, dilanjutkan dengan presentasi rancangan APBD dari setiap desa oleh para kepala desa baru kemudian sesi tanya jawab, kemudian di lanjutkan dengan penutupan. Mungkin hanya Passer satu-satunya daerah yang menyelenggarakan rapat mengenai anggaran pada malam hari. Setidaknya itu yang saya dengar dari salah satu panitia penyelenggara pada malam itu.
Ketika mendengar sesi presentasi para Kepala Desa sekecamatan Tanah Grogot saya tertegun. Mereka tidak meminta banyak dari Republik yang sudah 65 tahun berdiri ini. Tengok saja Kepala Desa Tanah Periuk yang meminta kenaikan gaji direalisasikan. Untuk gaji kepala desa mereka hanya mendapatkan RP.1.500.000 padahal pekerjaan mereka tidak kenal waktu. Terkadang mereka harus mengabdi kepada masyarakat selama 24 jam. “Bahkan stempel pun harus kami bawa pulang” ujar Pak Kepala Desa. Sedangkan janji pemerintah besar gaji dan tunjangan mereka bisa mencapai Rp.3.500.000, gaji yang relatif kecil untuk ukuran pejabat dibandingkan strata-strata pejabat lainnya. Apalagi kalau dibandingkan dengan gaji dan tunjangan anggota DPR yang mencapai 46 juta sebulan, belum lagi ditambah kendaraan, biaya rapat, dan studi banding. Miris hati saya menyaksikan kenyataan ini. “Kalau Kepala Desanya bisa usaha sendiri atau punya lahan untuk digarap itu tidak apa-apa, tapi bagaimana yang seperti saya ini?” Jelas beliau. Pantas saja jika kemudian terjadi demonstrasi di Jakarta bahwa staf desa ingin diangkat menjadi pegawai negeri, mengingat besarnya pengabdian mereka untuk kompensasi yang sedemikian kecilnya. Tidak adanya penghargaan dari pemerintah menjadi pemicu atas berbagai masalah. Saya kemudian teringat kepada presentasi lomba karya tulis ilmiah yang dulu pernah saya ikuti ketika menjadi mahasiswa. Saat itu saya dan teman sekelompok sudah memberikan saran yang konkrit untuk menaikkan gaji para birokrat demi memperbaiki kinerja dan kesejahteraan mereka. Yang kami maksud birokrat terutama adalah tidak terkecuali aparat pemerintah dari level terendah. Tentunya termasuk Kepala Desa. Walau kami mendapat sanggahan keras pada saat itu tapi kami bertahan dengan argumentasi walau bagaimanapun basic need harus terpenuhi baru kinerja bisa lebih profesional dan juga meminimalisir korupsi. Saya benar-benar berharap saran tersebut bisa didengar dan dilaksanakan karena saya sudah menemukan bukti konkritnya di lapangan. Bagaimana seorang kepala desa dengan gaji sedemikian, dengan tidak adanya aset atau lahan yang bisa digarap, harus menghidupi anak istri sementara waktunya habis untuk melayani masyarakat.
Banyak dari kepala desa yang juga mengajukan aspirasi bahwa dana pembangunan di wilayah mereka harus dialokasikan untuk jalan, jembatan, listrik, pengairan, dan infrastruktur dasar lainnya. Di wilayah seluas Kalimantan desa-desa yang sangat terpencil memang tidak mendapatkan akses tersebut. Bahkan Desa Rantau panjang yang saya tempati, yang jaraknya hanya sekitar 15 menit dari Ibukota Kabupaten, yaitu Tanah Grogot, masih belum mendapat listrik dan jalannya masih belum diaspal. Hal ini merupakan paradoks, karena di desa ini bahkan hendak di bangun Bandara Udara yang saya yakini dibuat untuk korporasi, mengingat komoditas utama wilayah ini adalah kelapa sawit dan tambang batu bara. Walau begitu Bupati sudah menjanjikan minimal 2012 listrik dan jalan sudah akan terpenuhi.
Dari desa saya sendiri yang saya usulkan adalah perbaikan lapangan SD 32 tempat salah satu rekan Pengajar Muda mengajar. Di sana lapangan sekolahnya masih berupa sawah, sehingga siswa tidak pernah melaksanakan upacara bendera atau olahraga. Karena itu tidak heran banyak siswa yang tidak hafal lagu Indonesia Raya. Di sekolah itu jarang sekali anak SD yang memakai sepatu untuk bersekolah, karena lapangan mereka tergenang air, kebanyakan dari mereka hanya memakai sandal atau bahkan tidak memakai alas kaki. Selain desa Rantau Panjang ada juga desa yang memprioritaskan pendidikan sebagai salah satu agenda utama mereka untuk alokasi dana pembangunan. Diantaranya Desa Pepara yang meminta rehabilitasi gedung SD 007 dan pembangunan kantor SD 007.
Permasalahan pelik lainnya adalah mengenai tapal batas wilayah antara desa yang satu dengan yang lainnya. Hal ini menjadi salah sumber konflik di beberapa desa. Salah satunya desa Zone yang kebanyakan ditanami kelapa sawit. Beberapa tanah penduduk sudah habis diklaim oleh penduduk lain di daerah perbatasan. Banyak yang berharap pemerintah menentukan dengan segera mengenai tapal batas tersebut.
Acara semakin menarik ketika Bapak Kepala Desa Rantau Panjang membacakan usulan-usulan rencana pembangunan yang salah satunya terkait dengan pendidikan, saya turut diperkenalkan kepada Bupati dan seluruh peserta rapat. Ketika itu tiba-tiba banyak lampu blitz mengarah kepada saya, rupanya banyak wartawan lokal yang tadinya tidak menyadari siapa saya menjadi lebih aware dan tertarik kepada saya ketika saya diperkenalkan. Setelah itu salah seorang Staf Bupati menjelaskan kepada saya bahwa Kalimantan Timur sebagai salah satu Provinsi terkaya di Indonesia yang menyumbang APBN sebesar kurang lebih 346 Triliyun. Ironisnya hanya mendapat dana balik dari pusat sebesar Rp. 1,3 Triliyun yang harus di bagi-bagi ke beberapa kabupaten dan kecamatan. Tidak heran kalau anggaran untuk pendidikan sangat minim, kalau diwajibkan oleh pemerintah sebesar 20% maka anggaran tersebut hanya berkisar 260 Milyar, sedangkan kalau tidak maka kemungkinan hanya sekitar 10% yaitu berkisar 130 Milyar. Jumlah yang minim ini saya ragukan sesuai dengan undang-undang otonomi daerah. Jumlah ini juga yang mengakibatkan pembangunan di Kal-Tim masih tertinggal, paradoks dengan fakta bahwa mereka adalah salah satu Provinsi terkaya di Indonesia. Pemerintahan Kal-Tim sendiri berharap dengan adanya kami para pengajar muda, dapat mengabarkan kondisi terkini di Kaltim, Passer khususnya. Staf Bupati tersebut juga berharap bahwa Yayasan lndonesia Mengajar, yang dipimpin oleh Anies Baswedan dapat menyampaikan aspirasi mereka dan memberikan solusi terkait dengan permasalahan yang dihadapi.
Tentunya permasalahan-permasalahan serupa seperti ini tidak hanya terjadi di Kal-Tim tetapi juga di Provinsi-provinsi kaya dan potensial lainnya di Indonesia. Tengok saja Provinsi Papua dan Papua Barat yang luar biasa kaya tetapi perekonomian, pendidikan, dan kesehatan paling tertinggal dari provinsi-provinsi lainnya di Indonesia. Permasalahan ini di harapkan dapat selesai lewat kebijakan dan Undang-undang mengenai Otonomi Daerah. Tetapi pada akhirnya banyak juga permasalahan yang muncul seputar Otoda mulai dari terbentuknya raja-raja kecil di daerah sampai berbagai konflik terkait dengan pemilihan kepala daerah secara langsung.
Saya mengapresiasi pemerintah Passer bahwa ditengah minimnya dana mereka masih memberikan beasiswa kepada putra-putri terbaik mereka untuk bersekolah di Jawa sebagai tenaga medis. Di rapat itu saya juga berusaha meyakinkan Bupati dan stafnya bahwa pendidikan adalah salah satu syarat utama untuk memecahkan permasalahan di Kal-Tim. Terlebih lagi jika generasi terbaik dari daerah ini dapat kembali ke Kal-Tim untuk membangun desanya dan kami akan memberikan kinerja terbaik untuk anak-anak di sini. Tentunya hal ini menjadi harapan kita bersama tidak hanya di daerah Passer tetapi juga di seluruh Indonesia. Rapat tersebut akhirnya selesai sekitar pukul 12 setelah sebelumnya hujan interupsi oleh para Kepala Desa dalam sesi tanya jawab.
Dalam rapat ini saya mendapatkan banyak pelajaran berharga, selain mengenai fakta-fakta tentang berbgai persoalan tersebut saya juga mendapatkan pengalaman menyaksikan politik praktis secara langsung. Rapat yang berlangsung hingga tengah malam, hujan interupsi, rendahnya keterwakilan perempuan (pejabat wanita hanya dua orang salah satunya adalah Ibu Camat Tanah Grogot, dari puluhan kepala desa (baca:laki-laki) yang datang.) Walaupun saya sendiri tidak bersuara sama sekali di forum itu, karena memang tidak punya hak suara, tetapi saya sangat bersyukur bahwa aspirasi mengenai lapangan SD 32 disampaikan oleh Kepala Desa dan didengarkan oleh Bupati.
Semoga segera ada solusi bagi permasalahan ini.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda