info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Persiapan UASBN, Math, and Fighting!

Diah Setiawaty 23 Juli 2011
Beberapa bulan terakhir saya disibukkan dengan memberikan kursus intensif untuk kelas VI dalam rangka persiapan UASBN. Saya memberikan mata ajar matematika, IPA, dan akhirnya sedikit tentang Bahasa Indonesia karena guru Bahasa Indonesia juga memberikan les tambahan di sekolah ini. Kesulitan yang dialami anak-anak di sekolah lebih kepada pelajaran Matematika dibandingkan dengan pelajaran-pelajaran lainnya. Ya Matematika telah lama menjadi momok yang menakutkan dibandingkan pelajaran-pelajaran lainnya. Ketika saya mengajar matematika saya baru menyadari bahwa di sekolah ini matematika tidak menakutkan bagi anak-anak, hanya membosankan. Fakta ini baru saya sadari ketika banyak anak yang menguap dan mengeluh mengantuk ketika saya mengajar matematika. Anak-anak di daerah ini sangat berani dalam mengemukakan pendapat dan tidak malu-malu sehingga kerap kali justru membuat guru yang mengajarnya yang malu jika anak-anaknya membuat kesalahan. Pada awalnya saya menggunakan musik untuk mencegah anak-anak mengantuk dan agar lebih semangat dalam mengerjakan. Saya menjejali mereka dengan musik-musik bernada beat dan hip-hop, which is useless by the way, karena saya tetap tidak melihat hilangnya ekspresi kebosanan dan kelelahan yang mereka tampilkan dari wajah-wajah lugu mereka. Walaupun mereka terkadang terlihat antusias tetapi itu lebih karena musik yang saya putar kebetulan cocok dengan selera mereka, Yup, I’m literally Dj-ing them. Setelah itu saya mulai membuat satu gebrakan. Terinspirasi oleh PM Roy (Bengkalis) dan PM Zaki (Paser) saya membuat ikat kepala putih lambang kerja keras yang biasa digunakan oleh murid-murid di Jepang ketika mereka akan mengikuti ujian. Saya dan Zaki membuatnya di tukang jahit langganan yang pernah membuatkan kami baju dinas guru.  Rencananya ikat kepala ini akan dipakai selama persiapan UASBN dan akan ditulisi dengan kata-kata penyemangat. Syukurnya, mereka sangat bersemangat ketika menerima dan memakainya, cerita tentang ini akan saya tulis di bagian tersendiri coz there’s gonna be a lot of interesting story about this one. Setelah ini saya mulai menerapkan metode-metode creative learning, beserta reward and punishment. Saya terus memberikan berbagai soal-soal dalam bentuk kuis atau perlombaan. Sebelum pelajaran dimulai saya mulai memberikan soal-soal penjumlahan, perkalian, dan pembagian pecahan yang harus dijawab tanpa menggunakan kertas coret-coretan melainkan menghitung hanya di bayangan dan kepala saja. Terkadang kuis ini dilakukan di lapangan untuk menyegarkan pikiran, tentu dengan punishment jika tidak bisa menjawab, tetapi hukuman ini bukan perorangan melainkan satu kelas. Jika dalam satu kelas tidak satupun yang  bisa menjawab maka seluruh kelas harus lari keliling lapangan. Mungkin cara ini dapat digolongkan “tangan besi” (terinspirasi dari salah satu dorama Jepang yang saya tonton) tetapi saya membuatnya menyenangkan dan efeknya, seluruh murid berpikir keras agar tidak ada satupun di antara mereka berlari. Metode menjawab soal-soal UASBN dari tahun-tahun sebelumnyapun saya kompetisikan. Pertama-tama anak-anak dibagi ke dalam beberapa kelompok. Setelah itu mereka berlomba-lomba menjawab soal-soal yang diberikan kepada mereka. Kelompok yang sudah menyelesaikan soal tertentu boleh langsung maju dan menuliskan caranya di papan tulis. Setelah itu saya akan membahasnya. Jika benar maka ia akan mendapat bintang di papan tulis. Pada akhir pelajaran kita akan menghitung kelompok dengan jumlah benar paling banyak. Reward yang diberikan tidak banyak, hanya tepuk tangan dari seluruh kelas sambil sesekali diiringi dengan Superman Woosh tetapi mereka sudah cukup senang dengan penghargaan yang mereka dapatkan. Dengan cara ini pembahasan matematika yang tadinya kaku dan cenderung membosankan mendapatkan suntikan spirit berkompetisi. Salah satu hal yang jarang dirasakan oleh anak-anak di SD ini sebelumnya. Menjelang UASBN ikat kepala itu bahkan digunakan tidak hanya saat les tetapi juga saat pelajaran sehari-hari di dalam kelas. Pada awalnya memang ikat kepala ini mengundang pro dan kontra. Beberapa siswa bahkan malu menggunakannya, tetapi setelah beberapa hari mereka bahkan mengenakannya sejak dari rumah, sehingga semua orang dapat melihat bahwa mereka adalah siswa-siswa kelas 6 yang akan mengikuti ujian sekolah. Beberapa anak bahkan tidak ingin mencuci ikat kepala putih itu karena takut kata-kata penyemangatnya luntur atau hilang. Tetapi setelah yakinkan tinta di kepala mereka itu tidak akan hilang maka mereka tidak ragu-ragu mencucinya. Untuk menyemangati mereka, terkadang saya juga menggunakan ikat kepala putih itu. Bahkan ke sampai ke dalam ruang guru. Setelah UASBN, Alhamdulillah mereka lulus 100% dengan seluruh nilai tertinggi UASBN meningkat, terutama di mata pelajaran IPA dan Bahasa Indonesia. Mata pelajaran yang juga saya ajarkan pada saat les. Saya sangat bahagia atas mereka, saya bahkan meminta guru-guru untuk menuliskan pesan-pesan motivasi di atas karton warna-warni sebagai penyemangat bagi mereka yang kemudian saya ikat dengan pita. Seperti yang terlihat di photo-essay: graduation pesan tersebut saya bagikan kepada mereka pada saat perpisahan. Seperti yang terlihat, perpisahan kami penuh dengan suka-cita. Kami menikmati setiap momennya dengan tawa bahagia. Kebetulan SD kami satu atap dengan SMP sehingga saya masih dapat melihat mereka setelah mereka SMP. Bahkan saya menggunakan ruangan SMP untuk les UASBN agar mereka dapat memvisualisasikan bagaimana rasanya kalau mereka lulus nanti dan benar-benar belajar di ruang kelas SMP. Jadi secara tidak langsung saya telah mengisi masa orientasi mereka. Saat ini ketika mereka semua sudah masuk SMP, mereka masih ikut les Bahasa Inggris bersama saya seminggu sekali. Saya bersyukur bisa mengajar mereka dan melatih di saat-saat terpenting mereka. Mungkin kelas enam adalah kelas yang “ditakuti” guru. Karena beban yang besar ketika mengajar di dalamnya mengingat anak-anak akan menghadapi Ujian Nasional, dan sudah sewajarnya setiap  stake holder pendidikan berekspektasi bahwa anak-anak didik ini harus dapat lulus 100%. Para pengajar muda pun tidak disarankan langsung memegang kelas 6 ketika masuk sekolah tetapi yangsaya rasakan ketika harus mengajar kelas 6 ini adalah betapapun beban begitu besar tetapi begitu menantang. Terdapat kepuasan tersendiri ketika menyaksikan mereka akhirnya benar-benar lulus dan dapat melanjutkan belajar kemanapun kaki mereka melangkah. Terdapat kebanggaan yang tiada terkira, walaupun saya sadar sepenuhnya bahwa ini adalah hasil jerih payah, keringat, dan  kerja keras mereka tetapi saya benar-benar merasa bahagia untuk mereka.

Cerita Lainnya

Lihat Semua