info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Perkenalan Pulau Rantau: Another Tragic Comedy (Part I)

Diah Setiawaty 1 Januari 2011
Sabtu, 18 Desember lalu saya mengunjungi Pulau Rantau. Desa kecil di seberang desa kami. Di sebut pulau rantau karena daerah ini seperti sebuah pulau yang terletak di tengah Sungai Kandilo. Pulau ini terbagi dua, pulau yang dekat dengan hilir dekat dengan rumah dan sekolah saya. Sedangkan bagian yang kedua, yang saya dan pulau yang terletak dekat hilir yang juga mengalir melewati pusat Ibu Kota kabupaten Passer sebelum tanah grogot. Pulau rantau yang dekat hilir adalah pulau di seberang sekolah tempat saya mengajar. Pulau ini relatif lebih dekat dengan sekolah dan rumah saya dibandingkan pulau rantau yang dekat dengan hilir dan melintasi Siring, Tanah Grogot. Pulau ini pula yang saya kunjungi sore itu. Tujuan dari kunjungan ini selain mengetahui kondisi anak-anak kami yang biasa menyebarangi sungai besari ini untuk menuju ke sekolah adalah untuk meminta ijin kepada aparat setempat agar kami dapat memberikan les di pulau ini karena banyak murid di SD tempat teman saya dan Zaki, sesama Pengajar Muda yang sulit untuk datang ke sekolah apalagi untuk datang les akibat tidak ada yang mengantar. Terkadang mereka ikut perahu antar jemput yang dibayar bulanan yang sudah tetap jam antar-jemputnya sehingga murid yang les di tempat teman saya relatif lebih sedikit dibanding tempat saya. Kondisi sebaliknya di alami anak-anak dari SD saya yang tidak begitu terkendala untuk ikut les bahkan sampai sore sekalipun. Beberapa penghuni Pulau Rantau di seberang rumah bahkan terkadang menyebrang hanya untuk membeli Pentol Udang buatan Ibu Kades. Saya ingin sekali mengetahui kehidupan anak-anak di pulau rantau dekat hilir ini dan saya sangat tergerak untuk membantu kawan saya Zaki untuk mengajar di sana. Akhirnya kami berangkat kesana dengan menggunakan perahu mesin kecil yang disebut perahu klotok. Mungkin anda pernah melihat perahu ini dalam buku-buku atau liputan TV yang menggambarkan situasi pasar terapung di Kalimantan. Ada dua jenis perahu kecil yang ada di daerah ini. Pertama adalah perahu dayung kecil yang dapat memuat satu sampai lima orang, sedangkan perahu klotok adalah perahu ketinting yang sedikit lebih besar dan sudah menggunakan mesin kecil. Jarak dari tepi perahu ke air hanya satu jengkal jadi pada saat kami menaikinya saya merasa seperti menaiki kayak, hanya saja lebih besar dan bermesin. Personil kami saat itu ada enam orang. Saya, Zaki, ayah dan adik angkat zaki, serta Ibu Erni dan anaknya. Ibu Erni adalah salah satu calon guru TK yang mau bersusah payah mengajar di Pulau Rantau. Untuk pertama kalinya Pulau rantau akhirnya memiliki Taman Kanak-kanak, kelak satu-satunya institusi pendidikan yang ada di sana. Dahulu sebetulnya ada sebuah SD yang terletak di sana, tetapi entah bagaimana SD tersebut ditutup dan digabungkan ke SD 32 tempat Zaki mengajar. Akibatnya tentu anak-anak semakin sulit untuk mengakses pendidikan, terutama ketika mereka harus menyebrangi sungai besar kandilo yang didalamnya banyak buaya-buaya liar berkilo-kilometer jauhnya. Tentunya saat ini tidak ada satu lembaga pendidikan apapun kecuali sebuah rumah di pinggir kali tempat mereka mengaji. Sepanjang perjalanan saya takjub dengan pemandangan dari atas perahu kecil itu. Kami duduk bersila berjejer mengahadap ke depan perahu. Dengan jarak yang tipis antara kami dengan air, rasanya seperti duduk dan melaju di atas air. Tidak henti-hentinya saya mengucap syukur dapat pergi dan di tempatkan di daerah ini. Bersyukur hidup di Indonesia dengan alamnya yang sangat kaya dan asri. Bersyukur di tempatkan di pedalaman Kalimantan, paru-paru dunia, hutan hujan terbesar. Sungguh sebuah mimpi menjadi kenyataan dapat mengajar sekaligus bertualang di tempat ini. Ini pertama kalinya saya melaju di sungai yang demikian besar dengan perahu yang sedemikian kecil dan melaju dengan cukup cepat Rasanya diri kami begitu kecil di semesta raya ini. Pemandangan semakin dramatis dengan hamparan hijau berbagai pohon-pohon yang tinggi menjulang di tepian kanan dan kiri sungai tersebut. Bagi saya dan orang-orang lain yang suka berenang yang saya pikirkan saat melihat hamparan air seluas itu hanyalah Pasti enak sekali berenang di sini Terkadang perahu kecil kami oleng ke kiri dan ke kanan tetapi hal itu tidak menggentarkan niat kami sama sekali. Padahal sebelumnya guru di SD saya baru saja berdukacita karena baru saja kehilangan saudaranya di sungai ini. Ia terjatuh dari kapal di daerah muara sungai pada malam hari. Seluruh warga desa pun kalang-kabut mencarinya. Prosesnya pun sangat sulit karena sungai ini begitu keruh sehingga siapapun yang terjatuh ke dalamnya tidak akan terlihat sebelum tubuhnya mengambang di permukaan. Terlebih lagi berat jenis air sungai berbeda dengan air laut, sehingga jika terjatuh akan sulit bagi kita untuk tetap mengapung terutama jika kita tidak menemukan alat apapun untuk bersandar. Pada akhirnya jasad saudara kolega saya tadi ketemukan dua hari kemudian dalam keadaan tak bernyawa. Beruntung jasadnya utuh, karena sebenarnya para penduduk mengkhawatirkan jasadnya tidak diketemukan karena dimakan buaya. Itulah sekelumit cerita tentang Sungai Kandilo. Kembali ke perjalanan, setelah lebih dari satu kilometer perahu melaju, di saat saya sedang begitu menikmati perjalanan, saya tertegun ketika melihat beberapa rumah sederhana dari kayu di pinggir sungai. Satu kluster hanya terdiri dari tiga sampai empat rumah. Tidak ada sarana sanitasi di sana. Tidak ada listrik. Tidak ada sarana hiburan tempat bermain anak-anak. Tidak ada halaman atau jalan disekitarnya. Hanya semak belukar, ilalang-ilalang yang lebih tinggi dari manusia, pohon-pohon besar, dan sungai Kandilo. Seketika kemegahan ini terasa menyesakkan dan begitu menghimpit. Begitu berat seperti beban. Paradoks. Lagi-lagi sebuah komedi tragis saya saksikan di tempat ini, di alam Indonesia yang penuh dengan sumber daya alam yang melimpah. Bagaikan pribahasa ayam mati di lumbung padi, masyarakat miskin dan sangat kekurangan tinggal di tempat ini. Bertahan dari satu generasi ke generasi di tempat ini. Menjalani hari demi hari tanpa banyak berharap, tanpa banyak menuntut kepada pemerintah, tanpa banyak menagih janji kemerdekaan. Sungguh pantaskah kita yang memiliki kehidupan lebih baik...jauh lebih baik...mengeluh? Saya tidak dapat membayangkan kehidupan di sana. Bagaimana anak-anak ini bertahan hidup dengan sarana yang sangat minim seperti ini. Untuk sampai ke kota harus dengan perahu, jangankan itu untuk pergi ke sekolah saja mereka harus meregang nyawa menempuh sungai Kandilo. Ironis, di tempat yang demikian kaya, dengan hasil hutan dan sungai yang melimpah. Masih ada Selama ini saya hanya mendengar cerita bagaimana anak-anak Pulau Rantau harus menyebrang, saya sungguh tidak menyangka medannya benar-benar begitu sulit. Sungguh di luar perkiraan dan akal sehat saya. Perjuangan mereka untuk pergi menuntut ilmu bahkan jauh diluar khayalan-khayalan terliar saya. Anak-anak sekecil itu... Saya teringat seseorang pernah berkata ketika saya baru sampai di Kalimantan, bahwa tingkat antusiasme masyarakat dan anak-anak di sini rendah. Mereka tidak punya bayangan akan jadi apa setelah besar. Yang dipikirkan hanya bagaimana dapat bertahan hidup, menjaga keluarganya, meningkatkan ekonomi keluarga. Kini setelah sampai dan melihat bagaimana kehidupan mereka akhirnya saya tahu kenapa? Kini saya yakin bahwa anak-anak yang dengan semangat pergi ke sekolah dengan menyebrang, walaupun di sekolah mereka hanya bermain-main saja karena kurangnya kualitas dan kuantitas pengajar. Mereka sungguh bukan anak-anak biasa. Merekalah anak-anak terpilih yang jika dibina dan terus di motivasi niscaya akan mengharumkan masa depan bangsa. Mereka putra-putri Spartan yang tidak mudah putus asa dan menyimpan potensi yang begitu besar. Anak-anak kecil yang sering saya lihat di sekolah begitu kurus, dengan seragam yang begitu kumal, berbintik-bintik hitam karena faktor air keruh yang digunakan untuk mencuci. Mereka yang menggunakan seragam-seragam lapuk,kadang robek di sana sini turunan dari kakak-kakak mereka. Kaos kaki selutut bolong-bolong adalah murid yang sama yang menyebrang berkilo-kilometer di sungai besar penuh buaya. Mereka lebih besar dari tubuh mereka.... Mereka yang menggunakan sandal bahkan terkadang tidak memakai alas kaki. Merekalah siswa-siswi jenius yang bersinar terang di ruang-ruang kelas. Indonesia sungguh harus berbangga memiliki bibit-bibit seperti ini. Saya menitikkan air mata bangga terhadap anak-anak ini. 

Cerita Lainnya

Lihat Semua