Lihat Senyum Syukur Mereka
Diah Setiawaty 14 November 2010
Dari yakinku teguh Hati ikhlasku penuh Akan karuniamu Tanah air pusaka Indonesia merdeka Syukur aku sembahkan KehadiratMu Tuhan Itulah lantunan lagu yang pertama kali keluar dari mulut Suryani, gadis kecil berusia kurang dari tujuh tahun yang belum lagi menginjakkan kaki di sekolah. Saya menjumpainya di pesisir Pedalaman Kalimatan Timur, tepatnya di kabupaten Slengot, ketika mengantarkan teman-teman saya sesama Pengajar Muda yang akan Deployment di Pesisir Kalimantan Timur. Syukur. Sebuah kata yang mudah diucapkan tetapi sulit untuk dilakukan. Terlebih lagi di daerah-daerah terpencil sebagaimana yang didatangi oleh para Pengajar Muda. Terus terang saya sulit mempercayai penglihatan saya ketika mendatangi dan melihat kehidupan orang-orang di Pesisir Kalimatan Timur,terutama di Slengot, Tanjung Aru, dan Labuang Kalo. Mereka tinggal di rumah-rumah panggung di atas laut dengan fasilitas yang minim. Jangan bayangkan mereka bisa mengkonversi air laut menjadi air tawar sebagaimana yang sudah di terapkan di Alam Saudi. Air bersih sangat langka dan mereka mengandalkan air tadah hujan untuk memenuhi persediaan akan air untuk kebutuhan sehari-hari, terutama untuk minum, mandi dan mencuci. Seringkali mereka mandi dan minum dengan air asin. Bagaimana dengan fasilitas pendidikan? Setiap daerah hanya memiliki kurang lebih 1 SD dan biasanya sekolah tertinggi yang ada didaerah pesisir hanya sampai SMP. Beberapa siswa yang beruntung atau mau melajutkan pendidikan yang lebih tinggi harus berjuang merantau ke Ibu kota kabupaten yang untuk mencapainya harus pergi berjam-jam menggunakan perahu atau speed boat yang dilanjutkan dengan perjalanan darat sehingga kebanyakan dari mereka memutuskan untuk menyewa kamar kost atau rumah kontrakan di Ibu Kota kabupaten tersebut. Sehingga bertahan hidup sudah merupakan aktivitas sehari-hari, anak-anak pesisir yang kebanyakan masih SD. Kenyataan bahwa mereka sangat membutuhkan tenaga-tenaga pengajar berkualitas berbenturan dengan permasalahan yang dihadapi adalah minimnya tenaaga guru karena medan mereka yang begitu sulit. Saya yakin setiap pendatang akan berpikir berkali-kali untuk menetap. Apa lagi mengajar disitu. Tetapi teman saya yang berasal dari keluarga mampu dan merupakan anak tunggal sejak pertama memilih untuk menetap disitu. Suryani dan teman-teman sangat antusias ketika mendengar kabar bahwa ada seorang guru baru yang akan mengajar disana. Beberapa di antara mereka bahkan bertanya “Berapakah guru baru yang akan mengajar disini?” ketika kami jawab hanya satu mereka terlihat kecewa dan bingung “Kenapa cuma satu? Kenapa tidak semua? Disini gurunya kurang.” Ujar mereka dengan ekspresi kecewa. Bagaimana tidak? Di daerah pesisir ini bahkan ada satu sekolah yang muridnya kira-kira berjumlah seratus orang dengan jumlah guru hanya satu orang. Sang guru harus berlarian kesana kemari untuk dapat mengajar seluruh muridnya. Akhirnya saya melepas teman saya dengan tangis sedih bercampur haru karena di daerah yang kaya di Indonesia ini, khususnya Kalimantan Timur, masih ada anak-anak yang tinggal dalam keadaan sangat miskin dan terbatas dengan akses pendidikan yang sangat minim. Terharu akan keikhlasan teman-teman saya yang akan mengajar di daerah tersebut selama satu tahun. Sangat berharap mereka bisa membukakan mata anak-anak itu, membentangkan cakrawala dunia. Melahirkan generasi-generasi masa depan yang bisa menjadi pemimpin dunia dari daerah tersebut. Saya yakin mereka bisa, karena bagaimana mungkin saya bisa saya ragu kepada kekuatan dan kemampuan mereka untuk menaklukkan dunia? ketika mereka dengan ceria dan semangat menyerbu laut lepas dan menerjunkan diri dari dermaga seraya berteriak “Ibu, lihat kami mandi!” Kembali bulir-bulir hangat menetes tanpa saya sadari. Terngiang suara Suryani melantunkan lagu syukur. Lagu yang baru saya hayati dan pahami maksudnya. Di siang hari yang sangat terik. Di Slengot, pesisir Kalimantan Timur. Senyum syukur mereka senantiasa mengalahkan kemiskinan dan keterbatasan, menggantikannya dengan keceriaan dan semangat mereka.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda