info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Bukan Apa-apa

Diah Setiawaty 17 Desember 2010
Minggu-minggu awal yang saya lalui sebagai Pengajar Muda adalah salah satu minggu terberat yang saya lalui. Seperti judul tulisan ini, saya merasa belum mengerjakan apa-apa walaupun jadwal saya pernah penuh dari senin sampai minggu. Saya mengajar Bahasa Inggris dari kelas satu sampai kelas enam. Saya pun mengajar dua kelas ini dua kali seminggu plus kelas 2 SMP sebagai upaya pemberdayaan masyarakat. Selain itu saya juga melatih pramuka dan klub sastra serta membimbing mereka melakukan percobaan-percobaan ilmiah sederhana. Rencananya saya juga akan mengajar TIK (Teknologi dan Ilmu Komputer). Setelah semua itu saya juga senantiasa berusaha membuka mata mereka bahwa ada dunia lain di luar Kalimantan, tepatnya di desa Rantau Panjang tempat mereka hidup dan belajar saat ini. Kenapa saya merasa belum berbuat apa-apa? Ini dipicu karena cerita teman-teman saya di tempat lain yang sangat menginspirasi. Sebagai contoh cerita dari  sesama teman pengajar muda yang mengajar di Pulau Passau Majene pada hari guru yang lalu. Di saat di kota-kota besar yang lebih maju sekolahnya banyak guru-guru yang mengikuti upacara dalam rangka hari guru. Salah satu teman saya di Bengkalis bahkan memenangkan juara lomba pidato dalam rangka hari guru yang dilaksanakan di sana. Di tempat lain seperti Passer, Majene, dan Halmahera Selatan masih tertatih-tatih berjuang, berusaha memaknai hari guru. Berusaha mengapresiasi dan membuat kejutan untuk para pahlawan tanpa tanda jasa ini agar membuat mereka ingat bahwa; “Ada loch yang namanya hari guru” dan melalui hal itu kami berusaha membuktikan kepada murid-murid bahwa kami (para guru) ada untuk mereka dan mencintai mereka dengan tulus. Kembali kepada teman saya, ia bercerita bahwa pada hari guru ia sendirian di sekolahnya karena hujan yang begitu deras membuat para guru tidak datang ke sekolah. Dapat di mengerti karena sekolahnya berada di atas gunung yang tinggi, terjal, dan penuh dengan batu yang hanya dapat di tempuh dengan kendaraan roda dua. Itupun kalau kita menyewa ojek untuk pergi ke sekolah tersebut, tukang ojek akan berkata “Selamatkan diri masing-masing ya Bu.” Hal itu karena resiko terpleset, terpental, dan jatuh dari motor sangat tinggi. Tidak heran para tukang ojek di sana pun meminta tarif yang sangat tinggi sekitar Rp.40.000 s.d Rp. 100.000 sekali naik!.  Di hari guru, disaat semua orang seperti sedang bersuka cita, Ia sendirian di sekolah yang begitu hening, memeluk anak-anaknya, di tengah hujan deras dan dinginnya udara pegunungan yang menusuk tulang. Saya menangis mendengarnya. Ia mengguntingi kuku-kuku hitam murid-muridnya satu persatu sebanyak 75 anak sekaligus, karena mereka tidak memiliki gunting kuku di rumahnya. Ia menutup ceritanya dengan pernyataan pamungkas “Gusti Allah, aku mencintai anak-anak alien yang pemalu ini!” Anak-anak dari Pulau Passau Majene Alien bukan karena mereka berbeda tetapi karena begitu teralienasi dari peradaban sehingga menjadikan mereka begitu pemalu, sampai di tahap membuat teman saya itu  frustasi di awal-awal kedatangannya. Sekedar tambahan informasi teman saya ini adalah penulis novel best seller dan semua orang percaya setelah satu tahun ini ia kembali akan menulis sebuah buku best seller. Saya pun percaya akan itu. Mendengar penuturan ini saya benar-benar merasa belum berbuat apa-apa,tiba-tiba saya mempertanyakan cinta saya kepada anak-anak didik saya, sudah demikian kuat kah?  Saya melihat banyak kekurangan yang saya buat. Terkadang saya merasa belum berhasil memasukkan setiap kosa kata Bahasa Inggris ke dalam memori jangka panjang mereka, yang menurut Bapak Munif Chatib dalam bukunya Sekolahnya Manusia dapat diciptakan jika kita dapat membuat pengetahuan itu menarik, berkesan, dan terkait dengan nyawa dan keselamatan mereka. Saya merasa belum merencanakan RPP dengan baik. Tiba-tiba saya merasa tidak kreatif. Ya padahal jika dibandingkan teman-teman saya hampir semua saya borong di bulan-bulan pertama saya datang (kurikuler, ekstra kurikuler, dan pemberdayaan masyarakat). Begitu banyak yang ingin saya berikan kepada mereka dan saya akui terkadang ego saya muncul. Saya menjadi terorientasi pada tujuan alih-alih proses. Terlebih lagi menjelang ujian semester ini. Saya begitu khawatir mereka mendapat nilai buruk, padahal kalau dipikir-pikir saya pun masuk hanya satu bulan sebelum mereka ujian, apakah bisa merubah mereka mendapatkan nilai yang bagus dalam Bahasa Inggris. Hati kecil saya percaya bahwa saya bisa, karena saya tahu mereka semua murid yang pandai dan saya pun percaya bahwa tidak ada murid yang bodoh, hanya ada guru yang tidak dapat menyampaikan pelajaran dengan baik sehingga murid tidak mengerti. Maka saya adalah guru bodoh itu jika mereka dapat nilai jelek (belum-belum sudah menyalahkan diri sendiri). Satu hal lagi yang membuat saya belum melakukan apa-apa adalah program advokasi pendidikan. Sekolah saya sangat membutuhkan buku. Anak-anak tidak memiliki buku paket dan buku paket di perpustakaan sekolah jumlahnya sangat terbatas. Terlebih lagi buku ini tidak boleh dibawa pulang karena khawatir rusak terkena air. Bukan saja karena hujan, tetapi lebih karena banyak anak-anak sekolah kami yang harus menyebarangi sungai untuk menuju ke sekolah dan sebaliknya sehingga kerentanan akan rusaknya buku itu begitu tinggi. Beberapa anak bahkan rok dan celananya basah, ketika saya tanya kenapa dia menjawab “Ini karena duduk di perahu ketika menyebrang tadi Bu.” Ketika sampai di sekolah, akhirnya mereka sakit (pusing dan muntah-muntah) apalagi kalau mereka tidak sarapan di rumahnya dan mereka harus upacara bendera. Sungguh, di akhir masa tugas saya,saya ingin sekali dapat berkontribusi dalam bertambahnya buku-buku di sekolah saya ini walaupun sampai sekarang saya belum tahu bagaimana jalurnya, apa yang harus saya kerjakan dan apa yang harus saya lakukan terlebih dahulu. Di penghujung hari saya berjuang keras untuk berusaha kembali kepada kesadaran, bahwa perjuangan baru saja dimulai dan segalanya membutuhkan proses. Bagaimanapun juga aku mencintai kalian murid-muridku, sungguh aku berharap aku bisa berbuat lebih banyak. Semoga ke depannya saya dapat  mewujudkan mimpi-mimpi dan membuka jalan mereka ke mimpi-mimpi dan cita-citanya. Khususnya untuk anak-anak Passer yang cerdas dan penuh potensi dan anak-anak indonesia lainnya, mereka yang belajar di zamrud khatulistiwa, sepanjang garis ekuator . Dekat dengan matahari yang selalu memancarkan panas yang menyengat nan membakar. Sampai-sampai murid saya kerap berteriak ketika kembali belajar ke kelas. “Panasnya ini Bu! Mau mati rasanya!” Seraya membuka kancingnya sampai ke perut. Entah kenapa saya jadi teringat kepada lagu Mentari karya Abah Iwan Abdulrachman. Mentari bernyala di sini Di sini di dalam hatiku Gemuruh apinya di sini Di sini di urat darahku Semoga mentari yang menyala terang dan garang di tempat ini dapat selalu membangkitkan semangat saya dan murid-murid untuk senantiasa berbuat yang terbaik. Senantiasa bersemangat untuk menuntut ilmu.

Cerita Lainnya

Lihat Semua