I'm Care
Diah Setiawaty 5 Februari 2011
Minggu-minggu ini saya mulai dihantui dengan janji saya kepada diri saya sendiri untuk mengusahakan buku untuk sekolah saya bagaimanapun caranya. Janji yang saya buat sejak saya menuliskan lembar-lembar esai pada formulir pendaftaran Indonesia Mengajar. Ya, saya salah satu “jualan” saya kepada IM ketika menjawab salah satu soal dalam timbunan esai yang harus dikumpulkan saat pendaftaran tentang apa yang akan diperbuat jika anda dipilih sebagai Pengajar Muda adalah mengusahakan donasi buku dan mengabarkan kabar dari daerah saya melalui tulisan. Saat itu saya bahkan berpikir untuk mulai menulis dalam Bahasa Inggris sebagaimana teman-teman saya yang lain. Tetapi mengingat keterbatasan waktu maka saya berpikir untuk menerjemahkan tulisan saya ke dalam Bahasa Inggris setelah saya pulang nantinya.
Kembali tentang proyek donasi buku akhir-akhir ini semangat saya tentang mengumpulkan buku mulai membuncah dan tekanan yang saya rasakan mulai membuat saya sulit tidur. Hal yang paling ingin saya dapatkan saat ini adalah kiriman buku-buku dari sekolah dan memiliki baju-baju bagus (obsesi terpendam dari sisi feminin saya yang tidak bisa hilang bahkan setelah masuk pedalaman).
Komentar-komentar menyemangati dalam blog inipun khususnya untuk usaha pengumpulan buku mulai terasa mengintimidasi, saya mulai berpikir apakah komentar tersebut murni mendoakan dan menyemangati atau sekedar mengingatkan saya bahwa hasil yang konkrit mau tidak mau diperlukan.
Cara pertama yang saya tempuh adalah meminta bantuan dari teman-teman saya. Saya mulai mengirimkan email, sebagaimana yang telah saya post sebelum tulisan ini. Seperti anjuran New Age Philosophy (Baca: The Secret), ketika akan menekan tombol send saya berdoa sepenuh hati bahkan hingga meneteskan air mata seraya membayangkan menerima paket buku-buku di sekolah kami. Sebagaimana yang sebelumnya saya jelaskan sekolah kami, meskipun memiliki perpustakaan, tetapi masih kekurangan buku sehingga anak-anak tidak diijinkan meminjam buku. Maka saya tekan tombol send beserta do’a saya terpanjat melalui surat elektronik itu. Selain kepada teman-teman dari berbagai kalangan, surat itu juga saya layangkan kepada dosen-dosen saya yang saat ini sedang melanjutkan studi di luar negeri, bahkan kepada guru sekaligus senior saya di kampus yang juga pernah menjadi anggota dewan. Tidak lupa saya mengupload di facebook dan blog tentang permohonan bantuan ini.
Tidak di sangka respon mulai berdatangan. Respon pertama dari salah seorang sahabat yang aktif di organisasi yang membela hak-hak perempuan dan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transeksual). Saat ini ia dan kawan-kawan kebetulan juga sedang menggalang buku di Aceh Utara, bahkan ide penulisan surat singkat mengenai donasi buku ini juga berasal darinya. Sementara itu, ide donasi buku ke Aceh Utara sebetulnya ditujukan kepada sahabat saya yang bekerja di sebuah LSM di Aceh saat ini, ia yang terlebih dahulu meminta bantuan kepada sahabat saya ini karena kondisi anak-anak dan pendidikan di Aceh Utara, tempatnya bekerja, juga sangat memprihatinkan. Sampai saat ini buku-buku tersebut masih dalam tahap pengumpulan tetapi teman saya tetap mengontrol setiap minggunya. Saya sangat bersyukur karena setidaknya jalan sudah mulai terbuka dalam hal pengumpulan buku ini sampai suatu malam.
Salah seorang teman di Jakarta menelpon ketika jam sudah menunjukkan hampir pukul 00.00 WITA. Terus terang saya agak kaget karena ia adalah suami dari sahabat saya sehingga saya benar-benar tidak menyangka ia akan menelpon selarut itu. Ternyata menanyakan hal-hal teknis tentang permintaan donasi buku yang saya luncurkan. Ia bertanya tentang buku apa yang dibutuhkan? Berapa banyak? dll. Ia juga berkata banyak teman-temannya yang tertarik untuk memberikan donasi buku tersebut. Saya menutup telpon malam itu dengan berterima kasih melalui sms. Ia hanya menjawab lugas.
Yep, Yang lebih mengejutkan kemarin ketika saya tanyakan kepada sahabat saya tentang rencana yang digagas suami dan teman-temannya tersebut ia mengatakan bahwa suami dan teman-temannya sudah membuat komunitas bernama Im Care yang ternyata maksud teman saya adalah Indonesia mengajar Care. Ketika saya berbincang dengan suaminya ia berkata bahwa banyak teman-temannya yang tertarik untuk memberikan donasi. Mereka sebenarnya adalah orang-orang yang ingin ikut IM tetapi tidak bisa karena sudah bekerja, menikah, dll. Mereka ingin menjadi salah satu support system berupa pemberian donasi buku, dimulai dari saya dan SD yang saya ajar. Malam ini buah dari ikhtiar saya akhirnya dikabulkan oleh Tuhan, teman saya itu mengirimkan text singkat yang mengatakan bahwa besok buku-buku itu bisa dikirim. Ia bahkan meminta maaf karena saya sudah menunggu lama. Sungguh saya sangat bersyukur dan berterima kasih kepadanya.
Melalui tulisan ini saya mencoba menyampaikan rasa syukur dan terima kasih saya dan seraya menebar lebih banyak lagi harapan siapapun yang merasa ingin berbuat sesuat untuk negeri ini, atau yang masih peduli dengan nasib anak-anak di pedalaman dan pelosok negeri untuk mulai melakukan sesuatu, dan hal itu bisa dimulai dengan mengirimkan buku-buku baik baru maupun bekas kepada kami. Bantuan tersebut betapapun sangat membantu kami dan anak-anak disini.
Kami sangat bersyukur sekali dan berterima kasih karena dengan donsi itu ia bisa memberi tugas membaca kepada anak-anaknya. Selain untuk membudayakan gemar dan cinta membaca buku ini juga kami harapkan bisa membuka mata mereka akan dunia lain di luar sana. Di luar dunia mereka. Membawa gambaran peradaban kepada mereka.
Sebagai ilustrasi singkat tentang bagaimana buku, bahkan hanya dari bentuknya saja, sudah membawa secercah peradaban adalah ketika salah seorang teman Pengajar Muda yang pernah melakukan pertukaran pelajar di Amerika Serikat (AS) juga mendapatkan bantuan buku dari Ibu angkatnya di AS. Salah satu dari buku-buku cerita berbahasa Inggris itu adalah Pop-up book. Buku yang lembaran-lembarannya jika dibuka membentuk model tiga dimensi. Teman saya bercerita bahwa buku itu menceritakan tentang helikopter. Dalam lembaran-lembarannya muncul model helikoper tiga dimensi yang awaknya bisa memakai dan membuka helmnya. Tidak hanya itu baling-baling helikopter itu juga bisa berputar lengkap dengan pintu darurat yang bisa membuka dan menutup. Saya tidak pernah bisa lupa cerita ketika adik angkatnya yang pertama kali melihat buku itu menatap dengan kagum buku pop-up itu.
“It’s beyond their imagination!”
Begitu teman saya menggambarkannya dengan bahasa Inggris yang fasih. Ia pun berencana untuk menjadikannya alat peraga di sekolah. Ya...a glimpse of modern civilization through the pages of book. I’m Care bahkan bertanya bagaimana kalau pemberian sumbangan berupa komputer, yang tentunya saya sambut dengan baik dan antusias sekali jika memang bisa diberikan.
Saya sangat bahagia sekaligus bangga karena benar-benar tidak menyangka bahwa teman saya sampai membuat komunitas I’m Care dan berniat tidak hanya membantu saya tetapi juga SD-SD yang ditempati Pengajar Muda lainnya. Tangan ini bahkan tidak dapat melukiskan dengan kata-kata bagaimana perasaan saya saat ini. Tangan yang jari-jarinya saat ini sedang menghormat salut kepada mereka dan siapapun yang ingin mengikuti jejak mereka, memberi dan membantu siapapun yang membutuhkan.Ini membuktikan bahwa setiap orang dapat berbuat kebaikan dan berkontribusi bagi negeri ini. Bagi anak-anaknya, bagi masa depannya, bagi kemajuan dan kebangkitannya, bagi kesejahteraannya.
How?
The limit is just ur imagination....
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda