Behind The Scene Liputan Trans TV (Part 2)
Diah Setiawaty 8 Mei 2011
Peringatan: Tulisan di bawah ini adalah sejenis spoiler karena liputannya sampai hari ini belum tayang.
Karena kesibukan sehari-hari membuat saya agak sulit melakukan kegiatan menulis disini. Selalu saja ada excuse untuk tidak menulis. Mulai dari kelelahan, tidak ada waktu, sampai ketiadaan ide. Padahal kalau dipikir-pikir saya masih harus menyelesaikan beberapa tulisan di blog ini, salah satunya adalah hutang tulisan ini
Ya, tanggal 8 dan 9 maret lalu saya di liput oleh Trans TV, cerita sebelumnya adalah ketika saya panik menghadapi anak murid yang menangis di dalam kelas karena tertinggal ketika mencatat. Sepanjang kegiatan yang membuat panik itu kamera tidak henti-hentinya menshoot saya. Belum lagi dengan segala kesibukan, anak-anak yang lalu lalang di perpustakaan, dan otak saya masih baru recover dari shock yang dipicu dari tangisan manic-depression Riansyah kru Trans mewawancarai saya tentang kenapa saya masuk IM dan sistem pendidikan Indonesia. Sistem pendidikan Indonesia, can you imagine? Saat itu saya hanya menjawab sekilas apa yang terlintas di kepala saya dan saya menyesal setelahnya..saya bisa saja menjawab dengan jawaban yang lebih sistematis, analitis, atau birokratis. Saya bisa menjawabnya dengan elegan, dimulai dari.. ”Sistem pendidikan Indonesia memiliki masalah yang kompleks bla...blaa..bla...yang tidak bisa ditinjau dari satu sisi...bla..bla..bla...alih-alih menjawab dengan apa yang ada di kepala saya saat itu...Aah andai saya bisa mengulang waktu. Tapi sebodoh apapun jawaban saya saat itu, saya percaya saya bicara jujur.
Anyway setelah itu mereka mengikuti saya pulang kerumah mengikuti kegiatan solat dan makan. Ini bagian yang paling tidak saya sukai sejujurnya.. ketika sholat mereka juga menshoot mulai dari wudhu sampai solat..Astaga...kalau teman-teman tidak pernah di shoot ketika sholat biar saya ceritakan bagaimana rasanya..Rasanya aneh, kikuk, dan tentunya tidak khusyuk. Mulut saya yang biasa komat-kamit jika solat tiba-tiba malu untuk bergerak..tentunya jika nanti kawan melihat adegan saya sedang solat mulut saya mungkin hanya sedikit bergerak-bergerak, tidak seperti solat sehari-harinya bibir itu biasanya lebih aktif bergerak. Ketika saya sujud dan kameramen ada di depan saya, saya tiba-tiba merasa seperti berada dalam sinetron hidayah atau sejenisnya... Ketika makan pun terekam oleh kameramen ketika saya (dengan tidak tahu malu) menambah. Setelah selesai shoot saya baru tahu ternyata sang reporter dan kameramen juga kelaparan dan segera menyerbu makanan yang terhidang...mungkin selera mereka bertambah ketika melihat saya dan keluarga makan dengan lahap hehe..
Selesai sholat dan makan kami kembali ke sekolah, mereka menshoot saya memberikan les sebentar dan kemudian kembali ke Tanah Grogot untuk istirahat di hotel sejenak. Mereka berjanji akan kembali ke sekolah untuk melihat adegan saya joging bersama. Saat itu saya memberikan les pararel, Les matematika UASBN untuk anak kelas enam dan setelah itu les matematika dan bahasa Inggris untuk anak kelas lima SD. Ketika memberikan les matematika kepada anak kelas lima saya menyadari bahwa hp saya tidak ada, di waktu istirahat les saya segera kembali kerumah tanpa memakai alas kaki karena dari tadi kaki saya sakit memakai sepatu formal. Tadinya saya ingin memakai sandal seperti yang biasa saya lakukan jika saya mengajar les, tetapi pihak kru film melarang, mungkin karena estetika ketika di shoot, walaupun mereka beralasan demi konsistensi karena sebelumnya saya di shoot menggunakan sepatu ketika di kelas. Terpaksa saya harus menenteng sepatu berujung lancip seharga lima puluh ribu rupiah yang saya beli di Pasar Senaken, Tanah Grogot itu. Sampai salah seorang murid saya membantu saya mengambilkan sandal di rumah, Terima kasih Ita.
Ok, karena keteledoran saya, saya pun tidak bisa menemukan Hp saya di rumah , Yuhuuu... semua yang mengenal saya pasti mengerti kenapa kejadian seperti ini menimpa saya. Orang tua dan teman-teman saya biasa mengatakan kalau saya tidak menghargai barang. Beberapa orang juga mengatakan saya lost, absent minded, etc intinya mereka tidak akan kaget jika saya bercerita bahwa barang-barang saya hilang. Sebelum Deployment saja saya sudah menghilangkan kamera digital dan MP3 saya. Kali ini saya segera pinjam Hp Ibu angkat saya, yang kebetulan saat itu juga sedang terburu-buru ingin menghadiri hajatan. Saya meminta tolong murid-murid saya yang kebetulan sedang bermain-main berjaga-jaga di depan pintu tiga ruangan utama. 1. Perpustakaan, 2. Ruang guru, 3. Ruang kelas satu. Sedangkan saya sendiri berjaga di depan tas saya. Ternyata benar murid-murid yang berada di depan kelas satu berteriak-teriak mengatakan ada suara dari kelas satu. Untungnya salah satu murid saya adalah murid guru di SD saya dan kebetulan bertetanggan dengan rumah saya yang jaraknya tidak jauh dari sekolah. Sekali lagi saya meminta bantuan dirinya untuk meminjam kepadanya kunci kantor agar saya dapat membuka kunci kelas satu. Bersamaan ketika saya membuka pintu kelas satu, rasanya keteledoran saya terbuka di depan anak-anak.
Setelah les kita melakukan jogging seperti yang biasanya saya lakukan. Hanya saja kali ini anak-anak yang berpartisipasi menjadi begitu banyak dari biasanya. Mungkin mereka mengetahui bahwa ada trans TV yang akan men-shooting mereka. Kru trans TV yang membawakan minuman pun akhirnya membeli minuman tambahan di warung Bu Kades. Track lari saya saat itu hanya sekitar satu kilometer. Kami berlari ke hutan luas di belakang sekolah yang lahannya dibuka untuk dijadikan bandara. Sebuah lokasi yang pas untuk berkemah, dikanan-kiri jalan yang dibuka terdapat sungai kecil yang jernih dan tidak terlalu deras aliran airnya. Sebuah gambaran sungai yang sering muncul dalam pikiran saya ketika dihadapkan pada tes psikologi. Dalam kokologi sungai sering diibaratkan sebagai masalah dan itu berarti masalah yang ada dalam hidup saya tidak begitu lebar, arus tidak begitu deras, dan dapat disebrangi dengan mudah seperti sungai kecil di sini. Tempat ini merupakan tempat favorit anak-anak. Karena tidak ada pemukiman mereka merasa bebas mengekspresikan diri. Sering kali kita bermain peran menjadi suku purba yang hidup nomaden. Mencari buruan, pergi berperang, dan mengeluarkan suara-suara aneh. Kerbau-kerbau yang mencari rumput di sekitar sini sering ikut dalam permainan tersebut. Kami melihat ikan-ikan di sungai yang jernih itu dan menganguminya. Suatu hari Yudi menemukan satu ikan gabus besar tergelepar sekarat jauh di pinggir sungai. Ia langsung berteriak “Ibu, kita kembalikan ya biar habitatnya tetap ada.” Saya merasa sangat bersyukur walaupun saya berkata, Bukan Habitat Yudi melainkan komunitas atau populasi Gabus disini.
Saat di shoot kami melakukan salah satu ritual bersama yaitu bermain perang-perangan di sungai kecil itu. Murid-murid berada di tiap sisi sungai lalu mulai melempar satu sama lain dengan tanah gambut, batu, atau apapun yang dapat mencipratkan air sebanyak-banyaknya ke wajah atau tubuh lawannya. Menggelikan ketika melihat dua orang murid saya yang tubuhnya sangat kecil berusaha mengangkat batu untuk menggempur pasukan lain dipinggir sungai. Akhirnya kami menutup acara hari itu dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya di pinggir sungai. Lagu yang hampir membuat air mata saya menetes bercucuran. Hanya saja saya menutupinya dengan tawa lebar, mengingat semangat dan masa depan yang terbentang luas di hadapan anak-anak saya sekejap benar-benar menutupi segala kesulitan dan masalah di hadapan saya. Masalah akses pendidikan, orang tua, kesadaran orang tua tentang pendidikan dan lain-lain.
Tidak percaya? Coba lihat senyum mereka :)
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda