Malam Istimewa

Dhini Hidayati 14 Oktober 2012

 

Pangkalan Nyirih, 8 Juni 2012

 

Hampir pukul 9 malam ketika ada seorang bapak dengan jas hujan datang mencari saya. Wajahnya tidak asing, sepertinya beberapa kali pernah berjumpa di jalan dan bertukar sapa.

"Istri saya baru melahirkan bu, bayinya perempuan.." ujarnya tanpa berpanjang lebar.

"Wah, alhamdulillah selamat ya pak.." saya menanggapi ringan.

"Kalau boleh saya mau minta izin untuk mengambil nama ibu buat anak saya, supaya besar nanti cantik dan pandai seperti ibu guru.."

"Oh, iya bapak..silahkan saja..."

Dan kami berbincang, tidak lama.

Bapak itu adalah orang tua Nanda (7 th), salah satu siswa yang mengikuti Semifinal Olimpiade Sains Kuark tempo hari.

Malam ini begitu istimewa, hujan turun dengan lebatnya setelah satu bulan desa kami bersahabat erat dengan teriknya matahari. Seolah tak mau jatuh sendiri, hati ini pun di hujani rasa syukur yang tak kalah lebat malam ini.

Tubuh dan jemari saya bergetar. Perasaan haru dan malu bercampur menjadi satu, bergolak di dalam hati ketika di datangi salah seorang bapak yang berbahagia, meminta izin menamai putri ke-2 nya dengan nama saya. Penuh harap dan doa agar sang putri tumbuh berkembang seperti Ibu Guru Dhini yang katanya begini dan katanya begitu. Sang Ibu Guru yang kelihatannya begini dan begitu.

Sesungguhnya jauh di lubuk hati, saya malu. Sang ibu guru bukanlah siapa-siapa dengan perilaku seadanya, akan tetapi keluarga itu percaya. Si bapak hanya mengenal Ibu Guru Dhini sebagai Pengajar Muda dengan segala cerita tentangnya. Sedang Dhini di dalamnya masih mencari-cari siapa diri sesungguhnya.

Malam ini begitu istimewa, rasa syukur memenuhi hati saya, naik ke kepala memilukan mata.

Setelah berbulan tak berbincang, diiringi gemuruh lagit dan riuh hujan, semesta kembali menyapa. Membisikkan jiwa muda yang angkuh untuk sejenak menengadah kepada langit sembari berlutut di atas tanah, setelah sekian lama melayang di antara hampa.  Tuhan menyapa saya dengan begitu anggunnya, mengingatkan saya untuk sekedar introspeksi diri dan berkontemplasi, melalui kelahiran seorang bayi.

Apakah saya layak untuk kehormatan itu?

Entah apa jawabannya, saya tidak perduli dengan skala ukur jika kelayakan itu bisa diukur, yang pasti setelah malam ini saya harus lebih baik.

Seringkali saya mengeluh kepada diri sendiri ketika jerih payah ini tidak dihargai.

Seringkali air mata mengalir tanpa terasa ketika tangan dan kaki lelah berjuang sendiri.

Seringkali saya bertanya di dalam hati, untuk apa saya ada disini?

Tapi malam ini begitu istimewa, pertanyaan-pertanyaan itu lenyap sudah. Bukankah ketulusan tidak kenal penghargaan?  Dihargai atau tidak, jawabannya bukan lagi urusan saya. Kembali saya ingat pesan Pak Hikmat Hardono kepada para pengajar muda beberapa minggu sebelum kami ditugaskan, untuk selalu yakin bahwa sekecil apapun kebaikan yang kami lakukan akan bermanfaat untuk sesama. Ya!malam ini saya percaya.

Berbulan merasa belum melakukan sesuatu yang berarti, berjalan sejauh kaki mampu melangkah, mengajar sekuat tangan mampu menggores kapur tanpa ada keinginan diperhatikan oleh selain murid saya. Tanpa disadari berpasang mata dari kejauhan memperhatikan gerak gerik diri yang tidak seberapa ini.

Malam ini, sekali lagi sebuah kepercayaan yang besar diletakkan diatas pundak saya, melalui seorang ayah yang mangambil nama Dhini untuk putri tercintanya. Tanggung jawab langkah dan tutur yang kelak akan jadi panutan dalam cerita sang ayah kepada si putri.

Putri kecil itu diberi nama Dhini Nursoleha, semoga ia benar-benar tumbuh menjadi putri soleha dengan keanggunan perilaku, menjadi penerang bagi keluarga dan sekitarnya.

Ambillah semua (hanya) kebaikan yang kiranya ada dalam diri Si Ibu Guru Dhini Hidayati, sisanya biar jadi pelajaran bagi Dhini sebagai seorang pribadi. Saya tidak berjuang sendiri, saya belajar banyak malam ini.

Terima kasih telah lahir, semoga Tuhan melimpahkan kebaikan buatmu, nak.


Cerita Lainnya

Lihat Semua