info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Amuba

Devi Ulumit Tias 24 Februari 2013

Kamu sangat berarti..

Istimewa di hati..

Slamanya rasa ini...

Jika tua nanti kita tlah hidup masing-masing..

Ingat lah hari ini...

 

Hampir 8 bulan di desa penempatan, tapi belum satu pun tulisan yang aku hasilkan. Gabut banget yak? hehe. Dan ini lah tulisan perdanaku. Padahal aku susah sekali menyampaikan sesuatu melalui tulisan. Haha, dengan sangat terpaksa aku mengakui bahwa mereka sumber inspirasi.

Aku (kami) menyebutnya AMUBA dengan kepanjangan Anak MUsi BAnyuasin. Kami adalah bagian dari 71 Pengajar Muda IV lain yang sedang berkarya di wilayah-nya masing-masing. AMUBA terdiri dari Adji Prakoso, Agung Cahya Nugraha, Fini Rayi Arifiani, dan aku. Mereka (kecuali aku) adalah makhluk aneh.

“Saya lahir dan besar di Jakarta, kuliah di Bali”, itu adalah perkenalan pembuka yang selalu diucapkan Adji. Haha, kami akan langsung berpandangan dan menahan senyum jika Adji mengucapkannya. Dia ini Sarjana Hukum Universitas Udayana, mantan ketua BEM. Gaya bicaranya sangat menggebu-gebu, maklum sudah biasa ber-orasi. Selain itu, Adji juga fans berat Ir. Soekarno, coba aja tanya makanan kesukaan Pak Soekarno apa? Pasti Adji tau. Sangat pelupa kalo urusan ATM, sudah 3 kali kartu ATM-nya hilang dan harus bolak balik ngurusin surat kehilangan. Tapi kalo urusan politik, hadeuuuh jangan tanya, mulai dari nama gubernur 33 propinsi di Indonesia sampai kasus-kasus struktur organisasi desa, Adji hapal mati!! Dan dia selalu mengeluarkan nama-nama asing tokoh politik, yang kami semua tak mengetahuinya. Gileeee.

Adji adalah Bapak Koordinator AMUBA. Dia ditugaskan di SDN Kepayang, Bayung Lencir. Jumlah guru di sekolahnya sangat minim, satu orang PNS (kepala sekolah merangkap sebagai guru) dan 2 orang guru kelas. Bangunannya pun memprihatinkan. Aku pernah berkunjung ke sana, miris. Pecahan keramik ada di sudut kelas, selebihnya tanah. Dinding sudah tak berbentuk, apalagi meja dan kursi. Karena itu lah, Adji susah sekali keluar desa. Meskipun sudah tahu kondisinya, kami masih tetep sering kesal urusan ini “gantian dong keluar desa-nya”, selalu saja begitu, haha.

Dengan segala ciri yang melekat di dirinya, aku tak menyangka kalau Adji bisa jadi seorang guru plus teman bagi anak-anak. Pertama kali aku melihat dia beraksi di Kegiatan Belajar dan Bermain Pelatihan Pengajar Muda di Waduk Jatiluhur Purwakarta. Saat itu, kami satu pos, olahraga. Aku dibuat tercengang dengan keluesannya mendekati anak-anak demi menyampaikan materi sepak bola, kejar-kejaran, tertawa terbahak, menggendong. “wow, seorang orator bisa berubah begini ternyata”, sangat mencengangkan untukku yang ketika itu masih benci anak-anak.

Begitu pun sekarang, di desa penempatan, Adji adalah sosok yang dirindukan oleh mereka, anak-anak dusun Kepayang. Adji berperan sebagai guru di sekolah, sebagai polisi togel, sebagai wartawan organ tunggal, sebagai ustadz, kadang juga sebagai teman curhat anak-anak. Kalau Adji tak pulang karena urusan di kabupaten, anak-anak pasti ngambek. Baru-baru ini, Adji bahkan mendapat kejutan kue ulang tahun dari gadis-gadis desa (harus bilang wow untuk ini).

Satu lagi personil yang masih tetangga Adji, baik desa penempatan (SDN Muara Medak, Bayung Lencir) maupun asal daerah, yaitu Jakarta. Seorang perempuan cantik, lucu, dengan lesung di dekat dagu yang sesekali muncul ketika dia tertawa. Sarjana Humaniora yang sangat random. Bahkan, sebagai anak sastra dan bahasa Universitas Indonesia, bahasa yang dia gunakan acak. Gaya berbicaranya super cepat, kadang saat dia sadar, dia akan memelankan bicara dengan mengeja, misalnya: Anak Musi Banyuasin, akan dieja menjadi A Nak Mu Si Ba Nyu A Sin, dengan sangat pelan, begitu. Di antara kami ber-empat, dia lah yang paling sering salah pelafalan maupun penulisan kata, hadeuuh. Perempuan; selain aku di AMUBA; ini bernama Pini.

Dia phobia peniti, entah apa sebabnya. Dia juga phobia rel kereta api. Dan karena peristiwa pencopetan di Tanah Sriwijaya beberapa hari lalu, dia mungkin akan phobia bus kota.

Selama penempatan, sudah empat kali dia terjatuh. Di depan Pak Bupati, di rumah Wakil Bupati, di “sepit”, dan yang paling memukau itu..saat perjalanan darat di Lalan, jatuh dari motor saat motor dalam keadaan berhenti, ouwh. Mungkin salah satu penyebabnya adalah HP, hidupnya tak pernah lepas dari HP. Di angkot, di motor, di jalan, saat berbicara dengan orang, mau tidur, bangun tidur, pokoknya semua HP, HP, HP.

Dia juga makhluk yang paling heboh kalo kami akan kumpul di kabupaten, koordinasi sana sini, memastikan, telpon, sms, what’s up. Oia, satu lagi, sebelum dia membeli tas baru merek terkenal, Pini kemana-mana selalu membawa tas dari Indonesia Mengajar yang guuuede-nya segambreng tapi isinya sedikit. Sangat tidak matching dengan tubuhnya yang mungil.

Pini adalah Pengajar Muda yang aku kenal sejak awal, bahkan saat masih proses pendaftaran. Kami Direct Assesment Jakarta 1 (salah satu proses seleksi Indonesia Mengajar), aku dan dia duduk satu bangku saat psikotes, aku ingat saat itu Pini menggambar seorang Ibu berjilbab dengan banyak anak digandengan tangannya. Wajah yang terpancar sangat bahagia. Meskipun tak mengerti ilmu psikologi, dari gambar itu aku meyakini bahwa Pini adalah seorang yang sangat sayang sama anak-anak, “pasti dia akan ketrima” batinku dulu. Dan ternyata benar, Pini orang ketiga yang menerima pengumuman bahwa dia dapat melanjutkan tes ke tahap berikutnya sampai kami bertemu lagi di Pelatihan Pengajar Muda IV di Waduk Jatiluhur. Di barak, kami mendapat nomor kamar mandi yang sama, kamar mandi 3. Hari piket yang sama, selasa. Kelompok micro teaching yang sama. Dan akhirnya kami mendapat daerah penempatan yang sama, Musi Banyuasin.

Selama kebersamaan itu, aku menyadari bahwa Pini adalah seorang sahabat yang sangat pengertian, tidak mudah marah seperti aku. Meskipun usianya masih belia (tsaaaah), dia cukup bijaksana. Dia jarang mengeluarkan ketidaksukaannya secara langsung, paling cuma diem dan menghilang sejenak. Dia juga seorang pendengar yang baik, tahu kapan saatnya berbicara dan kapan saat dia berhenti untuk mendengar, plus memberikan saran saat dibutuhkan. Dia punya semangat besar untuk maju, selalu berapi-api mengahadapi apa pun, dan menularkan energi positif untuk kami. Tanpa dia, AMUBA nggak rame..

Naaah, satu lagi. Teman se-kecamatan dengan tingkat ke-pede-an tingkat Arjuna. Selalu mengatakan di depan khalayak bahwa “saya ganteng”, plis deeeh. Dia salah satu orang yang masuk list agar tidak sepenempatan. Entah kenapa aku nggak suka sama dia dulu, pernah sekelompok (aku lupa) dan dia cuma diam, tidak memberikan kontribusi apa pun. Huft.

Sekarang, kalo dia udah ngomong, sedikit sih, tapi langsung “mak jleb moment”.

Namanya, Agung atau Aa’, seorang Sarjana Ekonomi dari Institut Pertanian Bogor. Mungkin karena bekal keilmuannya ini, dia sangat pandai mengatur keuangan. Diantara kami berempat, dia lah yang paling kaya raya.

Dia ditempatkan di SDN Karang Agung, kami biasa menyebut daerahnya Sungai Kubu. Salah satu desa bagian dari kecamatan Lalan (kecamatanku), dengan tingkat kriminal lumayan tinggi, togel, narkoba, biduan, adu ayam, ilegal logging, minuman keras, penggal kepala, dan banyak lagi. Mirip desa Adji. Letak desanya paling dekat denganku, jadi aku sering berkunjung ke sana.

Semakin aku sering ke desanya, semakin aku mengerti dia (aseek). Ternyata dia hanya ngomong doang, terlalu banyak merendah. Katanya, dia Pengajar Muda paling gabut (gaji buta) di antara kami, nyatanya dia sudah melakukan banyak hal di sana. Bahkan salah satu anak didiknya jadi delegasi Sumatera Selatan dalam Konferensi Anak Indonesia di Jakarta. Wow banget kaan? Nggak mungkin lah tanpa arahan dari si Bapak Guru. Nenek angkatnya sangat sayang, sampai ikut cuti ke Bogor, satu-satunya Pengajar Muda yang cuti bersama housefam. Tak pernah ada masalah dengan pihak sekolah maupun masyarakat.

Aku juga melihatnya sebagai seorang bapak yang sayang sama anak, tapi nggak bisa mengekspresikannya. Kesimpulan ini kudapat saat melihat moment dia bersama salah satu balita di Kepayang, keliatan banget kalo sayangnya tulus, meluk geregetan gitu ke si balita. Lalu, moment di Palembang, saat dia memberiku segepok uang untuk mengurus segala keperluan anak didik yang akan pergi ke Jakarta, membawa ke salon, membelikan vitamin, roti dan segala macam keperluan tanpa diminta, tanpa banyak bicara. Ouuuwh manis sekali.

Dalam intern AMUBA, Aa’ adalah penyeimbang di antara kami semua. Pembawaannya yang tenang dan terkesan “lempeng” membuat kami (kadang) terbawa santaiii. Dia tak pernah terlibat ribut-ribut urusan pengaturan jadwal “gw sih terserah aja”, begitu.

Oia, aku berkali-kali merasakan betapa dia mempesona saat muncul sebagai “Malaikat Penolong”.

Satu, aku pernah dalam kondisi down banget di desa, tak ada yang menganggap aku ada, saat itu. Bisanya nangis dan meratapi nasib, emosiku naik sampai ubun-ubun. Nah, aku pun menelponnya untuk curhat. Setelah panjang lebar bercerita, Aa’ menanggapi “memangnya ada yang bilang kalo lu dateng ke sini sebagai Tamu Istimewa? Enggak kan? Lu dateng untuk membantu, kalo yang dibantu nggak mau, yaudah”. Jleb!!

Kedua, ketiga, dan banyak lagi. Dia selalu menyediakan tempat rehat saat aku ingin berhenti (cieee).

Ya, itulah AMUBA.

Mungkin setelah saya posting ini, kami masih akan “gontok-gontokan” untuk perkara yang tidak jelas lagi. Tapi apapun keadaannya, saya bersyukur akan dan telah menghabiskan satu tahun bersama mereka.


Cerita Lainnya

Lihat Semua