Cerita SD Kami

dela anjelawati 11 Agustus 2012

Putaran waktu telah memasuki pekan ke 8 pasca penempatan saya sebagai Pengajar Muda Indonesia Mengajar, Pulau Bawean Gresik Jawa Timur. Hari-hari bergulir dengan penuh cerita. Hampir 4 minggu sudah saya resmi menjadi guru di SDN 04 Tanjungori. Lengkapnya saya menjadi guru mata pelajaran Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Bahasa Inggris untuk kelas 3,4,5 dan 6. Meski tidak menjadi wali kelas, saya sudah sangat bersyukur diberikan jam mengajar yang memungkinkan saya mengenal lebih banyak anak. Tidak hanya tersentral di satu kelas saja, selayaknya wali kelas.

Jika di-flashback saat awal deployment, saya sempat merasa aneh dengan lokasi penempatan saya yang sangat dekat dengan kota kecamatan. Sebagai Pengajar Muda, biasanya lokasi Sekolah Dasar (SD) penempatannya terbilang terpencil atau pelosok. Seperti halnya ke 5 teman Pengajar Muda yang juga ditempatkan di Pulau Bawean. Lokasi penempatan mereka terbilang jauh dari kota kecamatan, rata-rata ditempuh hingga ± 1 jam perjalanan darat. Lalu, apa yang menjadi pertimbangan Indonesia Mengajar menempatkan salah satu Pengajar Muda-nya di sebuah sekolah yang hanya berjarak 20 menit dari kota kecamatan. Padahal dari informasi yang saya dapat, masih ada beberapa sekolah terpencil, kekurangan guru dengan fasilitas yang  sangat minim.

Saya mulai mencari tahu lalu menyusun beberapa kesimpulan yang masih bersifat tentatif. Diawali dengan membandingkan SDN 04 Tanjungori dengan ketiga sekolah dasar lain yang sama-sama berlokasi di Desa Tanjungori. Saya fikir dengan cara itu bisa terlihat perkembangan atau kemajuan sekolah dari awal berdirinya hingga sekarang. Kesimpulan saya mulai mengerucut pada satu asumsi yakni karena SD kami berbeda. Hasil yang mengejutkan memang. Terdapat perbedaan yang cukup signifikan terutama pada kondisi sekolah (bangunan, fasilitas penunjang KBM dan sumber daya pendidik).

SDN 04 Tanjungori, sekolah dasar yang dibangun sejak tahun 1987 ini hanya memiliki jumlah siswa sebanyak 68 orang. Trend penurunan jumlah siswa mulai bergulir beberapa tahun kebelakang. Jika dahulunya SDN 04 Tanjungori bisa mempunyai siswa hingga 100 orang, lain halnya sekarang. Bahkan, di awal tahun ajaran ini, jumlah siswa baru tercatat hanya 9 orang. Dan 5 orang diantaranya masih usia pra-sekolah yakni 5 tahun, yang lebih cocok masuk ke taman kanak-kanak terlebih dahulu.

Kondisi diatas terjadi karena minimnya calon siswa yang ingin bersekolah di SDN 04 Tanjungori. Banyak orangtua yang lebih memilih menyekolahkan anaknya kesekolah lain meski jaraknya lebih jauh. Khawatir dengan berkurangnya jumlah siswa baru yang berimbas dengan penurunan jumlah dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Kepala Sekolah mengambil kebijakan dengan memasukkan anak-anak yang “belum cukup umur”. Alhasil, suasana belajar dikelas 1 layaknya taman kanak-kanak. Anak-anak itu lebih senang bernyanyi, naik ke atas meja, berteriak penuh gaduh dan akhinya menangis karena berebut buku bergambar. Jam efektif belajar mungkin hanya 2 jam. Setiap 30 menit sekali, anak-anak meminta untuk istirahat (red:bermain). Gurunya-pun hanya mengajar baca, tulis, hitung (calistung) sederhana seperti mengenal huruf A-Z dan berhitung angka-angka kecil.

Selain itu, kondisi bangunan sekolah yang tidak memadai turut melengkapi perbedaan itu. Persisnya 1 tahun lalu, sebelum Pengajar Muda angkatan II memulai tugasnya disini, hanya terdapat 1 ruang kelas yang permanen, selebihnya memprihatinkan. Ruangan kelas penuh debu, lantai semen pecah-pecah dan lebih banyak tertutup tanah, hingga tembok dan atap yang bolong. Keadaan akan jauh lebih parah jika musim hujan tiba. Angin kencang membuat atap menghasilkan bunyi yang mencekam. Tidak jarang anak-anak memilih absen  karena takut sekolah mereka roboh. Ya, kondisi yang memang tidak bersahabat untuk sebuah proses belajar mengajar.

Seiring bergulirnya bantuan renovasi gedung sekolah dari pemerintah 7 bulan yang lalu, SDN 04 Tanjungori mulai berbenah. Proses renovasi 4 ruangan-pun hampir selesai dikerjakan. Sekarang pembagian kelas menjadi jauh lebih mudah. 1 ruangan untuk kelas 1 dan 2, ruang lain untuk kelas 3 dan 4, sedangkan kelas 5 dan 6 menempati ruang kelas yang berbeda. Pasca liburan Hari Raya Idul Fitri nanti, sebuah ruangan perpustakaan dan UKS Insya Allah akan segera “di-launching”. Meski tidak begitu luas karena ruangannya masih berbagi dengan kantor guru, anak-anak tetap terlihat antusias dengan rencana ini. Saya menangkap nuansa bahagia dari raut wajah mereka. Sepertinya sudah lama mereka memimpikan bangunan sekolah yang nyaman.

Kebahagian mempunyai bangunan sekolah yang ‘nyaman’ ini secara sederhana bisa dilihat setiap pagi hari. Jadwal piket dirasa tidak begitu urgent lagi sekarang. Seringkali saya takjub melihat kemandirian anak-anak untuk membersihkan lingkungan sekolah sebelum jam pelajaran dimulai. Jadwal membersihkan sekolah dimulai sejak pukul 06.00 s/d 06.45 WIB. Perbedaan gender, antara siswa laki-laki dan perempuan-pun secara tidak langsung turut mempengaruhi pembagian tugas membersihkan sekolah. Siswa perempuan lebih senang membersihkan ruang kelas; menyapu, mengepel, mengelap kaca, hingga menyiram bunga. Sedangkan siswa laki-laki seringkali berebutan sapu lidi lalu menyapu halaman sekolah yang memang rindang dengan pepohonan. Berebut sapu lidi, bukanlah tanpa alasan. Secepat mereka menyapu lapangan, secepat itu pula mereka bisa mencuri waktu bermain bola sebelum jam pelajaran dimulai. Ah..anak-anak..

Singkatnya, saat ini mereka sedang dilanda euforia memiliki gedung sekolah baru. Saya berharap kegembiraan ini segera disusul dengan peningkatan kinerja para guru yang selama ini semakin menurun seiring dengan dihentikannya insentif dari kabupaten untuk para tenaga honorer (sukwan).......


Cerita Lainnya

Lihat Semua