Vidunat Wadil Nsaa Leba Rwotu

Dedi Kusuma Wijaya 9 September 2011

 

Kalimat di atas bukan salah ketik, saudara saudari. Itu adalah sederet kata yang terpampang di gerbang masuk ke Desa Wadankou yang terletak di tepi pantai. Saya sampai ke Wadankou dengan perjuangan yang cukup berat. Saya sebenarnya sudah sampai di Pulau Molu sejak sebulan sebelumnya, tepatnya di desa Adodo Molu yang adalah ibukota kecamatan Molu Maru. Hanya saja waktu itu karena ombak tinggi, speedboat kecamatan yang mengantarkanku ke Wadankou tidak bisa lewat. Alhasil saya harus tinggal di Adodo Molu lagi, dan kemudian karena dua teman saya sakit, saya harus kembali ke Saumlaki lagi untuk menemani berobat, kurang lebih tiga minggu. Genap sebulan, saya pun kembali lagi ke Pulau Molu. Kali ini saya sudah pasti akan sampai ke Wadankou, karena di ferry yang saya tumpangi ke Molu ada Bapak Kades dan Kepala Sekolah SD Wadankou. Katanya akan ada kapal motor yang menjemput dari ferry nanti, untuk kemudian langsung ke Wadankou. Sampai di Adodo Molu, benar saja sudah ada motor yang menjemput. Selain penumpang, dimuat juga tumpukan semen dan beras untuk kepentingan desa. Sayang sekali karena saat itu air sudah surut (perjalanan harus menunggu air pasang, karena ombak yang tinggi sehingga motor berjalan di tepian agar tidak terhantam gelombang), kami harus tinggal lagi di Adodo dan baru berangkat esok subuh. Perjalanan ke Wadankou ternyata tidak mudah, walau sudah menyusuri tepi laut gelombang tetap tinggi, sehingga kami sempat melempar sauh di perjalanan sambil menunggu gelombang sedikit reda.

Akhirnya setelah hampir sejam perjalanan dari Adodo Molu, tibalah saya di Wadankou yang sudah sekian lama kunanti-nantikan.  Turun dari motor, saya langsung diminta menempelkan pasir pantai ke dahi, simbol penghormatan kepada tanah negri (di sini desa disebut dengan negri). Tepat di depan pantai tempat saya turun, berdirilah gerbang negri yang bertuliskan kalimat di atas. Kata bapak Kades, tulisan itu kira-kira berarti ‘Pintu kota terbuka lebar bagi siapa saja tamu yang datang’. Beliau sangat bangga dengan kalimat yang katanya ciptaannya sendiri. Katanya, di Wadankoulah satu-satunya desa di Molu Maru yang gerbangnya memakai kata-kata yang tidak standar. Yang lain standar-standar saja, hanya menuliskan kalimat selamat datang belaka.

Saya mendengar dari beberapa orang sebelumnya, bahwa dari lima desa yang ada di Molu Maru, warga Wadankoulah warga desa yang paling rame. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa berbeda dari orang Maluku kebanyakan, warga Molu Maru terkenal dengan budaya malu hati, yang mirip-mirip dengan ewuh pakewuh milik orang Jawa. Pak Camat pernah bercerita, di Adodo Molu pada saat pertama dia datang, saking malunya orang-orang pada tamu yang baru datang itu, mereka tidak menegur Pak Camat, bahkan saat beliau lewat semua orang langsung buru-buru masuk rumah. Di Adodo budaya itu sangat terasa, desanya senyap, anak-anaknya juga tidak berlarian di jalan-jalan, anak kecil lebih cenderung anteng anteng saja. Kadangkala orang-orang masih jalan dengan menundukkan kepala. Butuh waktu dan pendekatan intens barulah mereka mulai menyapa duluan. Nah, pemandangan seperti itu tidak saya temukan di Wadankou. Penduduk terlihat lebih aktif, mereka lebih dulu menyapaku. Bahkan baru hari-hari pertama sudah ada beberapa warga yang mengajak ngobrol dan mengajakku untuk pergi memancing bersama. Anak-anaknya juga sudah berkerumun dan langsung datang ke rumahku pada jam-jam pertama saya di sana. Berbeda dengan di desa Adodo, di desa ini jalan-jalan lebih rame, anak-anak memenuhi jalan desa sepanjang hari, orang-orang juga lebih ekspresif. Lucu juga, padahal dua desa ini hanya saling bertetangga saja namun karakter penduduknya bisa begitu berbeda.

Seperti desa-desa lain di Molu Maru, luas Desa Wadankou tidak terlalu luas, hanya seluas sebuah kompleks perumahan kecil saja. Total Kknya 150, itupun dalam satu rumah bisa ada dua KK, sehingga jumlah rumahnya tidak terlalu banyak. Rumahnya pun berdekatan satu sama lain, sehingga untuk mengelilingi satu desa cukup berjalan kaki tidak lebih dari 10 menit seluruh desa telah dikitari. Sesungguhnya daerah petuanan (tanah adat) Wadankou sangat luas, tapi yang ditinggali mungkin hanya seperseratus bagiannya saja. Desa yang sekarang ini adalah desa pindahan, sebelumnya warga Wadankou sejak turun temurun sampai di tahun 1960an tinggal di daerah hutan, sekitar 8 kilometer dari lokasi yang sekarang. Hanya saja menurut petua adat, di jaman itu tingkat kematian warga sangat tinggi. Tiap minggu ada saja warga yang meninggal, sehingga angka mortalitas lebih tinggi dari natalitasnya. Di jaman itu katanya kekuatan gaib masih sangat kuat, sehingga kematian seringnya terjadi karena jampi-jampi dari orang tertentu, baik itu warga desa, desa tetangga, maupun dari para makhluk-makhluk gaib. Katanya di malam hari seringkali tifa dan piring belek (simbal) berbunyi, itu menandakan tidak lama lagi sudah ada yang meninggal. Akhirnya menurut petunjuk dari datuk-datuk (arwah para leluhur yang dipercaya masih hadir  melindungi desa), mereka diminta untuk pindah ke lokasi baru yang terletak di pesisir pantai. Setelah pindah sampai sekarang, katanya kondisi sudah membaik, warga yang sakit dan meninggal sudah berkurang. Di daerah Wadankou lama sebelumnya juga ada tiga desa lain, yaitu Wunla, Abad, dan Kilon. Hanya saja di tahun 1950an ketiga desa itu juga sudah pindah ke daerah lain, yang lalu diikuti Wadankou beberapa tahun kemudian. Kemungkinan besar, selain karena masalah gaib tadi, kondisi alam saat itu sangat sulit sehingga semua desa itu kemudian pindah. Karena kepindahan tiga desa tadi ke daerah dekat pulau Yamdena (pulau terbesar di MTB), otomatis daerah yang mereka tinggalkan langsung dianggap masuk petuanan Wadankou. Ini yang membuat Wadankou adalah desa dengan areal terluas di Molu Maru. Saat ini daerah desa-desa lama itu menjadi lokasi pertanian rumput laut warga Wadankou.

Sejak sebelum saya tiba di Wadankou memang sudah banyak informasi yang saya dengar bahwa kepercayaan-kepercayaan kuno masih dipegang kuat oleh warga Molu Maru. Kepercayaan yang paling fundamental adalah adanya datuk-datuk yang tetap hidup dan melindungi desa. Karena itulah setiap warga pendatang yang akan menetap di desa sebelum beraktivitas di daerah desa harus terlebih dahulu melakukan sumpah adat. Prosesi sumpah adat ini sudah saya jalankan di empat desa di kecamatan ini, termasuk tentunya di desaku. Dalam prosesi sumpah adat hadir para petua adat dan orang-orang yang berkaitan. Misalnya dalam kasus kehadiranku, orang yang berkaitan adalah kepala desa selaku bapak piara (bapak asush)ku dan juga guru-guru di sekolah. Prosesi sumpah adat cukup sederhana, di meja diletakkan sebotol sopi (tuak yang dibuat dari sulingan kelapa), secangkir gelas dengan uang 20ribuan yang ditaruh di bawahnya. Setelah semua orang berkumpul, seorang petua adat berdiri, mengikatkan tenun khas Tanimbar ke kepalanya, dan menuangkan sedikit sopi ke lantai. Setelah itu beliau berdiri dan berbicara dalam bahasa Fordata (satu dari tiga bahasa daerah yang ada di Tanimba) kepada para datuk-datuk. Saya tidak paham apa yang dikatakan, tapi kata orang-orang kurang lebih isinya adalah menginformasikan bahwa saya datang dengan niat yang baik dan ingin membantu warga Wadankou, karena itu mohon diberi ijin untuk beraktivitas di desa dan mendapat perlindungan. Prosesi berbicara ini memakan waktu sekitar 5-10 menit, setelah itu sopi dalam botol itu dituangkan ke gelas dan secara bergiliran semua tamu di situ ikut meminum. Tidak harus ditenggak katanya, paling tidak untuk membasahi bibir saja. Ada cerita tentang prosesi adat yang menenggak sopi ini. Baru-baru ini di desa sebelah akan dibangun dermaga, untuk itu ada sekelompok pekerja dari Sulawesi Utara yang datang mengerjakan proyek itu. Seperti biasa diadakanlah upacara adat yang diakhiri dengan menenggak sopi itu. Dasar di Manado mereka sudah terbiasa minum Captikus (tuak khas Manado) yang keras, sopi katanya terasa seperti air teh saja, dan alih-alih membasahi bibir, mereka menandaskan sebotol dalam sekejap sampai akhirnya minta tambah lagi. Saya yang tidak biasa sih, cukup minum seteguk saja.

Kembali ke cerita tentang perlindungan datuk-datuk tadi, ada cerita warga tentang peran para datuk sewaktu jaman kerusuhan dulu. Konon katanya di tahun 2000 dulu, sudah ada sekelompok orang dari Kepulauan Kei yang sudah naik kapal untuk menyerbu Molu Maru. Karena perlindungan para datuk, kapal dari rombongan itu tidak pernah sampai ke Molu Maru, mereka malah dibelokkan sampai ke perairan Banda, dan akhirnya pulang kembali ke Kei. Saya jadi ingat kejadian waktu di Saumlaki, saat saya dan teman saya Matilda diajak oleh seorang bapak yang kami kenal di gereja untuk berjalan-jalan ke patung Kristus Raja yang letaknya cukup jauh dari pusat kota. Sepulang dari sana, kami harus melintasi tanjakan tinggi yang kiri kanannya hutan. Tiba-tiba mobil yang sebelumnya baik-baik saja mogok. Didorong, distarter, tetap saja kembali mogok. Akhirnya bapak itu keluar dari mobil dan berjalan ke arah hutan, berbicara sesuatu dalam bahasa daerah. Kembali ke mobil, mobil bisa distarter dan berjalan dengan normal lagi. Katanya dia meminta ijin pada para leluhur sembari menjelaskan bahwa kami adalah pendatang yang tidak punya niat jahat. Yah, ini suatu fenomena yang lazim kita kenal dengan ‘boleh percaya, boleh tidak’.

Dibanding warga-warga di desa lain di Molu Maru, warga Wadankou terkenal karena karakter mereka yang lebih keras, baik di depan maupun di ‘belakang’. Di jaman dulu jika terjadi perselisihan mereka sampai menyerang desa tetangga. Untungnya sejak tahun 1980an kebiasaan buruk ini sudah hilang, paling mereka hanya menggerutu saja kalau ada yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Ini yang disebut keras di depan. Kalau keras di belakang, banyak cerita tentang orang-orang yang saling mendoti-doti (jampi-jampi) orang yang lain. Ada seorang guru yang konon keluarganya diserang doti-doti sehingga dua anaknya meninggal.  Katanya pada jaman dulu, kehidupan warga desa masih sulit, sehingga banyak terjadi kecemburuan pada para PNS sehingga terjadilah doti mendoti itu.

Di jaman sekarang, kehidupan warga sudah tidak sesulit dulu lagi. Rumput lautlah yang menjadi jalan keluar mereka untuk menyambung hidup. Pertama kali mulai ditanam tahun 2007, saat ini hampir semua warga berprofesi menjadi petani rumput laut. Rumput laut sangat mudah ditanam, cukup dengan menggunakan seutas tambang sintetis yang diikatkan dengan potongan-potongan rumput laut kecil, lalu dibentangkan di dalam laut yang tak berkarang (agar tidak banyak ikan yang memakan rumput laut), hanya dengan dibersihkan secara rutin dalam sebulan orang sudah bisa memanen rumput laut. Rumput laut lalu cukup dijemur di bawah terik matahari saja selama beberapa hari, sesudah itu sisa dimasukkan di dalam karung dan disetorkan ke pengusaha. Harga jualnya lumayan, sekitar 9000/kg. Dengan areal laut yang luas dan tidak perlu adanya ijin penanaman, siapapun bisa menanam rumput laut sebanyak apapun sesuai kerajinannya. Hal ini membuat ada beberapa warga yang dalam sebulan bisa memanen beratus-ratus kilogram, yang membuatnya bisa mendapat penghasilan lumayan besar. Maraknya penanaman rumput laut lalu membuat beberapa warga tampil menjadi pengusaha, yang mengepul rumput laut dari warga-warga lalu menjualnya lagi ke pedagang di Kota Larat. Hanya sayang sekali karena manajemen keuangan yang belum baik, para warga seringnya terjerat utang oleh para pengusaha yang membuat penghasilan mereka tidak bisa dimanfaatkan secara maksimal. Inilah salah satu hal yang membuat saya percaya bahwa usaha pencerdasan warga adalah usaha yang sangat dibutuhkan desa ini.

Maraknya pengerjaan rumput laut membuat warga desa banyak yang tidak terlihat di hari-hari kerja. Beberapa petani yang rajin sampai membuat gubuk di daerah teluk tempat mereka memasang tali, dan lalu tinggal di sana selama hari senin-jumat, agar mereka tidak repot lagi pulang balik desa. Beberapa malah sudah membawa genset lengkap dengan televisi dan parabola ke gubuk-gubuk di teluk itu. Desa baru penuh di hari sabtu dan minggu, waktu ketika oleh gereja mereka tidak diijinkan bekerja.

Kalau rumput laut menjadi mata pencaharian, untuk memenuhi kebutuhan makan warga semuanya mempunyai kebun masing-masing di hutan. Sekali lagi, tidak ada batasan tentang areal kebun, semuanya berdasarkan siapa cepat dia dapat dan tidak ada plang penanda kepemilikan kebun, hanya berbasis tahu sama tahu saja. Di kebun biasanya ditanam berbagai jenis umbi-umbian, pisang hutan dan juga kelapa. Ada juga yang memasang jerat di sekitar kebunnya untuk mendapatkan babi. Selain kebun, warga Wadankou juga sering mencari ikan di laut yang terbentang luas di hadapan mereka. Metodenya mulai dari memancing di laut lepas, menjaring, memancing di tepi laut,menombak, sampai menyelam dan memanah ikan.

Hal lain yang terkenal dari Wadankou adalah warganya yang terbuka pada pendatang. Hal ini sudah menjadi tradisi sejak dulu, yang lalu membuat orang Wadankou banyak juga yang merantau ke daerah-daerah lain. Tempat favorit adalah Timika, di sana sampai bisa dibentuk satu RT sendiri karena ada sekitar 50 KK Wadankou di Timika. Selain Timika, ada juga warga yang merantau ke Kaimana, Merauke, Tual, Ambon, dan satu dua di kota-kota lain. Setiap saya bertamu ke rumah warga, pasti ada saja yang bercerita tentang keluarganya yang merantau ke Timika. Pada saat Natal, desa akan menjadi sangat ramai dengan warga perantau yang sedang mudik.

Begitulah sejenak perkenalan dengan Desa Wadankou, semoga selain saya yang diterima dengan pintu terbuka di sini, banyak di antara anda yang juga jadi lebih tahu tentang desa kecil nan indah ini.


Cerita Lainnya

Lihat Semua