Tinggal Bersama Raja

Dedi Kusuma Wijaya 9 September 2011

Wadankou, 22 Juli 2011

Di Indonesia Mengajar, salah satu hal yang tidak boleh ditawar terkait tempat tinggal kami selama di desa adalah kami harus tinggal di sebuah hostfamily (ini bahasa keren aja dari keluarga piara). Tujuannya tentunya mirip dengan program homestay, agar kami belajar bagaimana makan, minu, tidur, seperti orang desa dan kami belajar bagaimana menyesuaikan tingkah laku kami dengan kebiasaan rumah tempat kami tinggal. Kebetulan saya ditentukan tinggal bersama Pak Kepala Desa Wadankou, hal yang membuat saya sudah sedikit bersyukur, karena pasti mendapat ‘perlindungan’ , dan mungkin kehidupan di desanya akan sedikit lebih terjamin,hehe.

Saya berkenalan dengan Pak Athus Sainlia sewaktu saya belum sampai ke desa dan masih berada di Saumlaki. Sebelumnya saya sudah mendengarkan cerita tentang beliau dari beberapa orang. Pak Kades pernah merantau di Jakarta selama 11 tahun, dan beristrikan wanita Probolinggo yang ia temui di Priok, tempat tinggalnya di Jakarta. Beliau terkenal karena adalah seorang ahli bela diri. Katanya, kalau di kampung itu ia memukul orang selalu pake kayu, karena kalau dengan tangan kosong niscaya si korban akan luka dalam dan sejenisnya. Bertemu dengan orangnya langsung (saat itu di kos-kosan anaknya di sebuah gang kecil di Gunung Nona, Saumlaki), kesan yang pertama adalah bahwa cerita tentang si bapak yang pebela diri ini langsung terbuktikan. Walau sudah uzur, badannya tegap dan kokoh. Jika digambarkan dengan kata-kata, bapak kades ini seperti Barry Prima di waktu uzur, masih menyisakan ketampanan dan ketegapan di masa muda. Wajahnya seperti paduan antara Arifin Panigoro dan George Toisutta, yah coba dibayangkan sendiri lah bnetuknya seperti apa. Aura pemimpinnya begitu kuat terasa, dipadukan dengan keramahan dna sifat kebapakan, di pertemuan pertama saya merasa bersyukur, di tengah kebutaan saya terhadpa Wadankou, saya setidkanya mengetahui bahwa bapak piara dan bapak kadesku adalah orang yang dapat kuandalkan.

Perkenalan sesungguhnya baru bisa terceritakan saat kami sudah berada di Wadankou. Sampai di Adodo Molu, kami sudah dijemput dengan kapal motor dari Wadankou. Sempat tinggal di Adodo Molu menunggu subuh (menunggu air pasang), kami lalu menuju Wadankou. Satu hal yang menarik adalah pada saat berjalan menuju kapal, si bapak dibopong oleh seorang pemuda agar kakinya tidak basah. Saya semakin penasaran, bagaimana kira-kira keberadaan bapak saya ini di desa kami. Sampai di rumahnya, rumahnya tergolong rumah terbesar di desa. Ada lima kamar di rumahnya, ruang tamunya sudah ditutupi dengan keramik, dan saya ditempatkan di kamar tidur depan yang lumayan lah untuk ukuran desa terpencil. Ada kasur yang walau keras tapi setidaknya tidak seperti teman-teman lain yang hanya tidur di atas kasur setipis karton yang sudah berasa tidur di papan.

Kembali ke cerita tentang bapak piara saya ini. Ternyata dia adalah Raja Wadankou. Jadi ceritanya, sebagaimana kebiasaan di  sini, setiap orang baru yang datang akan melaksanakan prosesi adat terlebih dahulu. Pada prosesi adat ini para pemuka adat datang, di meja telah diletakkan segelas sopi (minuman keras khas Maluku yang rasanya dan tendangannya mirip banget dengan XO atau Vodka) di atas uang kertas 20ribu. Seorang pemuka adat lalu berdiri dan berbicara kepada datuk-datuk yang telah meninggal dengan menggunakan bahasa lokal yang saya tidak tahu maknanya. Kurang lebih isinya meminta ijin kepada para leluhur agar mengijinkan saya hidup di desa dengan aman. Setelah itu sopinya diminum secara bergilir. Nah, saat acara adat itu ada seorang bapak tua yang memperkenalkan dirinya sebagai bapak tuan tanah. Si bapak inilah yang berulang-ulang menyebut bapak kades sebagai ‘bapak raja’. Ternyata memang jabatan kepala desa ini seperti tahta ningrat, hanya boleh diturunkan dari trah Sainlia saja secara turun temurun. Secara tidak langsung, saya sudah tinggal di istana dong! Walau malam hanya ditemani pelita dan headlamp, tapi yah setidaknya saya tidur di kamar tamu kerajaan. 

Sebagaimana seorang raja, bapak kades sangat superior. Dari istri pertama yang orang Jawa itu ia sudah mempunyai banyak anak (saya sendiri tidak tahu berapa), dan dari istri keduanya yang dinikahi setelah istri pertama meninggal ia mempunyai enam anak dan lima cucu. Jika ditotal dengan istri pertama, anak cucunya konon bisa mencapai lima puluh. Wow, mereka sudah seperti para raden mas dan raden roro dong, atau para duke dan lady di Inggris. Mungkin karena kedudukan yang tinggi di desa, si bapak juga untuk beberapa hal agak keningrat-ningratan. Saya paling ngeh waktu saya mencuci baju. Saya bertanya pada mama piara saya, ‘ma, kalau mau cuci di mana ka? Ada ka perigi (sumur) di sini?’ Mama bingung dengan pertanyaanku, karena ternyata laki-laki di desa ini tidak mencuci baju. Mencuci adalah tugas anak putri. Ia menyampaikan bahwa biar bajunya ditatuh di belakang saja lalu dicucikan, namun saya tetap mencuci. Dan jadilah saya merasa seperti di dalam kebun binatang. Orang-orang seperti tidak percaya saya mampu menimba air di sumur, dan sangat excited melihat saya mencuci. Saya tahu rasanya menjadi bintang iklan Attack, diliatin banyak orang pada saat ngucek ngucek. Saya sampai sangat berhati-hati dan sedikit grogi, apakah teknik mencuci saya sudah benar? Apakah saya harus membilas lebih dari dua kali? Apakah saya harus menggunakan papan penggilesan? Dll. Setelah mencuci, bapak kades bertemu denganku di ruang tamu, dan saya bercerita bahwa saya baru saja mencuci. Ia tampak kaget sepertiga marah dan dengan nada tegas berkata: ‘hah, seng boleh cuci lagi yah. Bapak seng mau seperti itu. Ada adik-adik cewek di belakang, biar mereka yang cuci, nak Dedi. Yah?’ Saya manggut-manggut saja mengikuti titah raja.

Satu hal menarik lainnya adalah pada saat makan. Dengan jumlah orang segitu banyaknya, saya pikir makannya pasti akan rame sekali. Makan siang pertama saya sekitar jam 2 siang, bapak datang dan berkata, ‘nak dedi, ayo ke belakang’. Sampai ke meja makan, di situ sudah ada dua kursi, dengan dua piring dan mangkok makanan di depannya. Ternyata makannya sudah disiapkan untuk saya dan bapak saya saja. Dengan canggung duduklah saya, dan setelah bapak juga duduk, dia lalu menundukkan kepala dan berdoa. Saya lalu tergopoh-gopoh ikut berdoa juga. Setelah berdoa, kami lalu makan. Menunya memang hanya Mie Sedap Kuah dan ikan goreng, tapi cara makan yang formal seperti ini membuatku teringat lagi pelajaran table manner di tempat kerjaku yang dulu. Yang membuatku semakin kikuk, mama sudah bersiap di belakang, seperti waitress di restoran Cina. Saat air mulai kosong di gelas, langsung dituangkan air lagi dari ceret aluminium. Kalau D’Cost punya menu harga kaki lima rasa bintang lima, ini ada menu kaki lima kemasan bintang lima...:p Apalagi setelah makan sudah disiapkan sebaskom air dengan sabun batangan biru di sampingnya, untuk cuci tangan. Aahhh...ini suatu kemewahan yang harus kuceritakan ke teman-teman yang lain...

Dari pulau kecil bernama Molu ini, ratusan kilometer dari kerajaan-kerajaan besar yang berkeraton megah, saya sedang duduk di istana tanpa listrik, dengan para pangeran yang di tengah malam ini selalu memutar lagu Maluku dan House Music di HP Mito sampai saya tidak bisa tidur. Sehingga saya bisa menulis untuk anda semua...:)


Cerita Lainnya

Lihat Semua